Mengunjungi Gasteig: Pusat Kebudayaan di München
10 April 2020Membaca buku di perpustakaan, ngobrol dengan kolega, konsultasi dengan professor, ikut dalam kelas mata kuliah tertentu atau menyimak ceramah pakar dalam forum kolokium/ seminar isu-isu kontemporer, itu pastinya merupakan menu wajib mahasiswa yang sedang studi lanjut S-3 di Jerman. Bahkan bisa jadi, rutinitas ini jamak adanya di semua kampus di Eropa Barat.
Saya, sejak memulai kuliah S-3 di Institut Studi Komunikasi dan Media, University of Munich 1 Oktober 2015 hingga lulus tanggal 18 Juli 2019 yang lalu, merasa sangat beruntung menikmati berbagai kegiatan ini. Namun, sebagai manusia biasa, apalagi sudah berusia di atas kepala empat, sederet kegiatan ini acapkali tidak selalu menggembirakan untuk dilakukan. Ada masa-masa (hari atau minggu) tertentu dimana saya merasa jenuh, terutama ketika semua kegiatan ini dilakukan setiap hari, tanpa jeda yang cukup. Daya serap otak dan energi fisik manusia pasti ada batasnya. Nah, jika ini terjadi, bagaimana saya melakukan 'terapi' ditengah keterbatasan isi dompet dan sempitnya waktu luang?
Dalam tradisi masyarakat Jerman (sejauh pengetahuan saya), weekend/akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk mereka relaksasi, break mengisi 'bahan bakar'. Bagi yang sudah berkeluarga, maka akan full-day jeda urusan pekerjaan, pergi keluar kota, menikmati hiburan dan liburan sepenuh raga, biayanya tentu besar.
Nah, bagi mahasiswa perantau dari luar Jerman dengan modal beasiswa seperti saya, pilihan paling realistik tentu adalah tetap di dalam kota, sebab ada banyak menu aktifitas murah meriah, yang memicu relaksasi otak. Bahkan kita tidak harus menunggu akhir pekan untuk melakukannya.
Di kota Munich, Bavaria, arena relaksasi bagi publik termasuk mahasiswa tersedia sangat banyak, dan salah satu yang paling menyenangkan bagi saya adalah menonton konser musik klasik, jazz atau menonton film gratis. Kota besar seperti Munich, memiliki banyak pilihan ruang publik kebudayaan berkelas. Antara lain Gasteig yang selalu menjadi tujuan mingguan saya untuk sekedar menikmati musik jazz, klasik atau film selama Oktober 2015 hingga Maret 2018. Tulisan ini merupakan catatan kenangan.
Pusat kebudayaan masyarakat
Gasteig adalah pusat kebudayaan terbesar di Munich, dibuka sejak 1985, terdiri dari puluhan ruang pemutaran film, panggung musik terbuka dan musik kamar, rumah opera dunia Philharmonic, perpustakaan kota terbesar, dilengkapi beberapa kafe yang menyuguhkan menu Asian cuisine, Eropa dan kopi aneka rasa. Hampir seluruh even tahunan seperti Munich Film Festival, book fair, Munich Art Biennale digelar disini. Lokasinya di kawasan bersejarah Rosenheimer Strasse di bibir sungai Isar, berjarak 5 km dari gedung pusat LMU, tempat saya kuliah. Hampir setiap Rabu sore dan Jumat siang saya singgah, bukan hanya untuk menikmati sajian musik berkelas, tapi untuk duduk santai sambil membuka akses Wifi gratis supercepat. Oh ya, gedung Gasteig bersebelahan dengan masjid kecil milik warga Turki, tempat sholat Maghrib dan Isya favorit saya. Menumpang kereta bawah tanah jalur Ostbahnhof dari halte Universität, lewat Marienplatz, 10 menit sayapun sampai disini.
Memasuki kompleks Gasteig, di lobi lantai dasar kita akan mendapati ruang transit yang nyaman, cafe, loket penjualan tiket konser, deretan locker berisi ratusan brosur, leaflet, poster dan kartupos berisi informasi peristiwa seni, jadwal pertunjukan, detail agenda bulanan pusat kebudayaan dan beragam informasi terkait, umumnya berbahasa Jerman.
Bagi warga Munich dan umumnya di Jerman, sistem informasi kegiatan kebudayaan terbentuk rapi lewat produk publikasi bulanan poster dan booklet, informasi anjungan komputer di lobi dan tentu saja lewat websites yang melayani pembelian tiket. Di Gasteig, setiap hari kita dapat memilih menu acara budaya, mulai yang bergenre musik klasik, tarian, film, diskusi budaya, hingga konser berskala besar dengan ribuan pemain. Mulai yang bertarif 150 euro atau setara Rp 2 juta per-konser hingga yang gratis (kostenloss). Pada booklet tertulis: eintrit frei (gratis) atau tertulis angka tertentu merujuk harga tiket dalam mata uang euro.
Saya biasanya memilih konser musik klasik berskala kecil melibatkan 2-5 pemain atau konser jazz yang dimainkan musisi lokal yang sedang uji pentas, karena cenderung gratis atau hanya memberikan sumbangan sukarela di akhir pentas. Mereka adalah siswa sekolah musik yang wajib tampil didampingi professornya. Misalnya setiap hari Jumat minggu pertama dan kedua ada Mittagsmusik, musik tengah hari usai lunch yang diisi konser jazz.
Sebagai contoh, tanggal 18 Januari 2016, saya nonton Jazz Barockboenklasse Saskia Fikentscher di aula kecil Konzertsaal, berdurasi 2 jam. Meski gratis, para musisi tampil atraktif di panggung tertutup, menghibur ratusan penonton berbagai usia, jeda 15 menit manggung lagi, diselingi riuh tepuk tangan apresiasi penonton. Sebelumnya, 7 Januari saya ikut Literakino atau film club yang memutar biopik Cleopatra, berdurasi 3 jam, dan gratis.
Lewat konser dan pemutaran film ini, saya juga belajar memahami bagaimana manajemen pentas musik klasik yang efisien, budaya apresiasi publik atas acara budaya di Jerman. Selebihnya, saya tentunya terhibur dan dapat menikmati sisa waktu pasca kuliah sebelum pulang ke flat.
Dalam kesempatan lain tanggal 28 Juni 2017, saya menikmati glamour festival film tahunan di Munich (Muenchen Film Festival 2017). Dengan membeli tiket secara online 6,5 euro, saya bisa bergabung menikmati premier sebuah film komedi terbaru Jerman di studio teater yang megah. Meski tanpa subtitle bahasa Inggris, film berdurasi 90 menit ini tetap bisa saya ikuti dari alur gerak pada pemain dan setting lokasi yang berubah-ubah. Di open stage, ada ratusan jurnalis hiburan Jerman sibuk mengabadikan deretan selebriti Jerman, berlenggok di atas karpet merah, mereka juga melakukan wawancara dengan latar satu mobil Mercedez Benz yang jadi sponsor utama perhelatan tahunan ini. Bagi peminat kajian akademik, diskusi aktual perfilman dan kebudayaan Jerman juga digelar. Waktu tiga jam sejak jam 7 hingga 10 malam rasanya berlalu cepat. Kepala jadi lebih fresh...
Manajemen dan infrastruktur mendukung
Dari beberapa kali kunjungan, saya menemukan pola yang sama di setiap pentas. Jika jadwal konser dimulai jam 8 malam, maka jam 7.45 para penonton sudah duduk rapi di dalam ruangan, pintu masuk ditutup 10 menit sebelum acara dimulai. Tiba waktunya pentas, pidato pengantar disampaikan professor musik sekitar 2 menit, sekedar mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada penonton. Selanjutnya, musisi muda tampil secara individual, lantas berkelompok, individual lagi dan seterusnya. Jika ini pentas musik klasik, maka busana yang dipakai cenderung rapih, elegan meskipun tidak selalu memakai jas. Sebelum mulai, musisi berdiri ditengah panggung dan membungkukkan badan tanda hormat, penonton menyambut mereka dengan tepuk tangan. Lalu organ tunggal-pun mulai ditabuh. Ketika semua menu musik telah tersaji, para penyanyi dan pemain organ tampil ke panggung melakukan selebrasi dengan membungkukkan badan, kami pun betepuk tangan.
Bagaimana dengan sistem ticketing? Berlaku hukum pasar dengan beberapa indikator. Semakin terkenal musisi yang akan manggung, semakin mahal. Semakin besar dan mewah ruang/lokasi pentas semakin mahal. Di Gasteig, opera house adalah lokasi termahal. Semakin mendekati akhir pekan, misalnya Jumat sore, tiket semakin mahal.
Penting dicatat, semahal apapun harga tiket, ia tidak mencakup snack atau makanan berat, alias tiket murni untuk biaya menyaksikan acara. Cafe untuk makan atau minum tersedia di lobbi Gasteig. Maka jika ingin sekedar menyimak karya musik atau film secara gratis, datanglah di awal atau pertengahan pekan dan booklet yang terbit tiap bulan pasti memuat informasinya. E-booklet jadwal konser atau diskusi di Gasteig juga bisa diunduh di https://www.gasteig.de.
Bagi yang ingin menikmati buku-buku klasik hingga terbaru, maka perpustakaan kota adalah tujuan yang pas, lokasinya di lantai 2-3. Untuk warga pendatang seperti saya, registrasi dapat dilakukan online dan ada biaya kartu anggota sebesar 10 euro atau sekitar 150 ribu yang berlaku selama 1 tahun. Meskipun berada dalam kompleks Gasteig, manajemen perpustakaan memiliki ruang pemutaran film tersendiri, ruang koleksi analog dan digital, ruang seminar dan area pameran karya seni luas yang pasti bisa memanjakan mata wisatawan buku seperti saya yang tujuannya tidak selalu untuk belajar, tetapi sekedar melihat-lihat koleksi. Pada setiap akhir pekan, manajemen membuka kursus gratis metode mencari koleksi pustaka, baik untuk orang dewasa, remaja maupun anak-anak, dalam bahasa Jerman.
Konsep yang paripurna
Singkatnya, sebagai pusat kebudayaan, Gasteig memiliki konsep yang paripurna. Ada perpustakaan (Münchner Stadtbibliothek) dan sekolah musik (Münchner Volkshochschule) sebagai arena proses kreatif, eksplorasi ide-ide karya budaya, ada ruang-ruang apresiasi berupa panggung terbuka dan tertutup untuk eksebisi karya budaya, ada ruang sosialisasi dan interaksi di cafe dan lobbi area yang luas, layanan informasi dan ticketing yang memudahkan apresian menghargai karya dengan membaca atau membeli tiket.
Kebudayaan adalah alur kerja yang terdiri dari proses kreatif, supervisi, eksebisi, evaluasi dan apresiasi, melibatkan banyak orang dan infrastruktur. Budaya juga merupakan pertemuan karya seni lintas disiplin, lintas generasi bahkan lintas geografi negara, yang direpresentasi dalam variasi konser musik, film, tari-tari, lukisan, poster lokal dan internasional. Kalau diamati, cukup sulit menebak apa saja karya budaya asli warga Munich. Bagi saya, apresiasi tinggi dari publik yang datang ke Gasteig sudah merupakan tradisi lokal yang menarik.
Untuk mendukung Gasteig sebagai pusat interaksi publik warga kota, otoritas Munich membangun transportasi yang terkoneksi langsung dengan Gasteig. Baik Tram, kereta bawah tanah, bus memiliki layanan menuju halte Gasteig. Semenit sebelum tiba, ada informasi lisan yang terdengar menyebutkan kalimat: 'Halte berikutnya adalah Rosenheimer Strasse, disini ada Gasteig yang bisa anda kunjungi'. Keluar dari kereta bawah tanah menuju ke Gasteig, saya kerap menemukan ciri khas: pengamen berjas rapi menyambut dengan main gitar atau saksofon, seakan berkata ramah:. selamat datang di Gasteig.
Di seberang jalan menuju Gasteig, ada restoran Asia yang selalu menjadi langganan saya mengisi perut sebelum nonton konser. Biasanya disini saya pesan sepiring nasi goreng plus ikan asin atau nasi ayam bakar campur tahu dengan tarif 6,5 euro. Yummy! Nah, Anda tertarik?
* Masduki adalah salah satu pemenang kompetisi Blog DWNesia 2020
** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.