Mengunjungi Opera Dido dan Aeneas di Festival Ruhrtriennale
13 September 2019Ruhrtriennale berasal dari kata Ruhr, daerah dataran di negara bagian Nordrhein-Westfalen di bagian barat Jerman, dan Triennale, berarti tiga tahun. Festival seni ini diselenggarakan setiap tahun, tapi disebut Triennale karena direktur festival Ruhrtriennale dipilih setiap tiga tahun, yang berarti masa kerjanya selama tiga tahun. Kali ini yang menjadi direkturnya adalah Dr. Stefanie Carp, seorang literaris, penulis sandiwara dan seniwati. Tempat pementasannya semua hanya di daerah Ruhr, yang mencakupi antara lain kota-kota Dortmund, Bochum, Essen und Duisburg yang ada di daerah ini. Ciri khas nya adalah, semua tempat pementasan berada di bekas fabrik atau bangunan yang sebelumnya termasuk pengolahan atau produksi industri yang berhubungan dengan batu bara, industri baja, listrik dan mesin-mesin industri.
Karena industri baja atau pengerukan dan pengolahan batu bara sudah tidak modern dan tidak lagi memberi keuntungan, akhirnya banyak industri ditutup dan tidak bekerja lagi. Disamping itu ada rencana pemerintah setempat untuk mengurangi pengotoran udara melalui CO2, maka terbitlah innovasi untuk menggunakan bangunan ini sebagai platform untuk seni dalam arti luas.
Ruhtriennale menampung dan menunjukkan seni dalam berbagai hal, mulai dari seni lukis, seni modern antara lain dengan video installation, ballet, konser (klassik dan pop atau jazz, modern music), opera, sandiwara atau teater, pembacaan buku oleh penulis sendiri; podium diskusi dengan seniwan dan seniwati, sutradara, filsuf atau dengan penulis dan juga workshops.
Dengan banyaknya jenis seni yang ditawarkan, Ruhrtriennale selalu mencoba menarik dan menginspirasi pengunjung terutama generasi muda. Dengan adanya internet tentu saja Ruhrtriennale menjadi terkenal paling tidak se Eropa, boleh dikatakan sedunia. Yang jelas seniwati dan seniman yang datang dan diundang ke Ruhrtriennale datang dari berbagai pelosok dunia.
Festival Ruhrtriennale selalu berlangsung pada musim panas, tahun ini dari 21 Agustus hingga 29 September.
Kali ini kami mengunjungi Opera Baroque komposisi dari Henry Purcell asal Inggris. Para artis dan solis nya tahun ini dari Lyon, Perancis: dari Opera House Lyon, diiringi oleh Orchestre de l'Opera Lyon serta penyanyi paduan suara dari rumah pagelaran opera yang sama. Dido and Aeneas adalah cerita dongeng antik Junani dengan dasar text nya dari Vergil. Opera ini menceritakan tentang para protagonis yang hidup berdampingan, saling menyentuh, berbicara berkali-kali, tapi anehnya tidak berbicara satu sama lain.
Dalam kolase yang terbentuk dari text tertulis oleh Vergil, Opera yang dikomposisi oleh Purcell, komposisi yang disumbangkan Kalle Kalimas (gitar) dan interlude dinyanyikan oleh Erika Stucky. Dalam kesatuan ini terbentuk semacam karpet dari lagu-lagu, monolog, komposisi baroque dan bunyi-bunyian yang menjadi interaksi diatas panggung.
Dido (sekarang hidup di Khartago setelah menjadi janda) dan Aeneas (yang harus pergi membalas dendam karena kekalahan Troya, dan diperintahkan oleh ibu nya Venus untuk membangun Roma).
Dalam perjalanannya mengarungi Samudra Aeneas terdampar di Khartago yang dihempas oleh badai dan taufan ke pantai Khartago. Awalnya Dido curiga terhadap Aeneas, tapi dengan bujukan Belinda, teman dan pelindung Dido, dia mau menerima dan memberikan tempat untuk Aeneas dengan awak kapalnya. Bahkan akhirmya Dido dan Aeneas saling jatuh cinta. Mereka harus berpisah setelah menikah hanya satu hari, dan kepergian Aeneas menyebabkan kesedihan dan kepedihan bagi Dido yang juga menyebabkan kematiannya.
Kisah Dido dan Aeneas mencerminkan konflik antara kebahagiaan pribadi dengan tugas yang lebih penting untuk suatu politisi atau pembentukan negara.
Dapatkah kita mengimajinasi pada masa abad pertengahan yang didominasi oleh keputusan dewa-dewa, atau pemikiran rasionalis kita abad ke 21 lebih berarti untuk kehidupan kita?
Aeneas mengaku sebagai keturunan kerajaan Troya dan menjadi pendiri Roma, karena itu dia harus meninggalkan Dido, yang kehilangan suaminya disebabkan oleh intrik-intrik abang kandungnya. Dido amat sangat sedih dan pilu dan menyimpan dendam, karena itu ia menginginkan kekuasaan, atau apakah dia menyadari bahwa kedua hal itu hanya mengandung kepedihan yang menyebabkan kematian?
Saya tambahkan kutipan dari Claude Lévi-Strauss, Filsuf Perancis: "Dengan mulainya manusia bernafas dan makan, sejak diketahui adanya api sampai dengan penemuan bangunan atau pemakaian atom dan thermo nuklir, manusia yang sama – kecuali pada saat memproduksi generasi berikutnya - tidak kurang dan lebih, telah merusak trilliun struktur yang mengubah keadaannya sehingga tidak dapat diintegrasi kembali. Tidak diragukan, manusia yang sama telah membangun kota-kota, padang-padang ditanam dan dipelihara serta dituai hasil nya; tapi ini hanyalah bagian dari sistem bersifat mesin yang menyebabkan kemalasan, dihasilkan dari ritme dan situasi yang lebih besar daripada jumlah kota-kota dan padang-padang.”
Melihat pementasan ini seperti memandang sebuah cermin antara penonton dan panggung. Pemirsa diajak untuk melihat cermin masing-masing, melalui hasil karya sutradara dan kerjasama antara solis, artis, orkes dengan musisinya, serta penyanyi paduan suara. Mereka bukan hanya menceritakan suatu kisah, tapi membangun cermin untuk kita semua setelah kita selesai menyaksikan pementasan opera ini.
Dalam perjalanan kembali ke rumah kami berdisuksi mengenai konflik yang dialami oleh Dido dan Aeneas. Dan menjadi terdiam membiarkan pemikiran dan analisa berjalan sendiri, mengambil kesimpulan masing-masing.
Dengan kata lain kisah atau bahkan benda-benda di museum itu ternyata bukan hanya kisah dan benda-benda, tetapi mengandung cerita tentang manusia di masa lalu. Kisah Aeneas dan Dido masih aktuil.
Opera Dido dan Aeneas kali ini dipentaskan di Kraftzentrale di Kota Duisburg, Jerman, yang mencakup 2,5 Jam atau 150 Menit nonstop. Remembered dimaksudkan sebagai penggabungan dongeng antik Yunani dengan kehidupan abad 21.
Saat Dido menyanyikan aria yang menghujat nasibnya dan ingin bunuh diri, dan mengeluh serta meraungkan thunder and lightning, tepat tiga detik kemudian terdengar petir dan guntur diatap bangunan Kraftzentrale. Suatu pertanda? Siapa tahu. Yang jelas, hari Sabtu itu temperatur mencapai 34°C di Duisburg, malam hari menjadi berawan tebal dan hujan turun dengan derasnya.
*Gratcia Erlemeier-Siahaan adalah guru bahasa Inggris dan Jerman dan seorang pecinta musik klasik. Lahir di Bandung dan sekarang tinggal di Jerman.
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.