1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengurai Rasa Bosan Atas Pilkada

11 September 2017

Pilkada serentak 2018 dianggap sebagai ajang “pemanasan” menuju Pemilu 2019, apa yang terjadi pada Pemilu 2019, sudah terbayangkan pada pilkada tahun depan. Opini Aris Santoso.

Indonesien Wahlen Jakarta
Foto: picture alliance/Zumapress

Kira-kira begitulah argumentasi generik mengapa Pilkada 2018 mulai ramai di ruang publik, khususnya bagi yang berkepentingan.

Pada era pemerintahan Jokowi sekarang, kata-kata mutiara dari Bung Karno kembali sering dikutip banyak orang. Untuk itu saya ingin ikut-ikutan juga, sekadar meramaikan wacana Pilkada 2018. Pada Pidato 1 Juni 1945 yang sangat monumental itu, selain mengintrodusir gagasan Pancasila, Bung Karno juga menyebut bahwa Kemerdekaan merupakan "jembatan emas” menuju kesejahteraan.

Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Cuma masalahnya sekarang, apakah benar masyarakat sudah sejahtera setelah 72 tahun kemerdekaan. Bila saya diminta menjawab pertanyaan ini, saya lebih baik diam atau meninggalkan arena diskusi. Sungguh pertanyaan yang teramat sulit.  Saya memilih menjawab secara melingkar, bahwa jembatan emas imajinasi Bung Karno, masih dibutuhkan, dan bila perlu jembatan itu diperpanjang terus. Penanda zaman seperti reformasi, pemilu langsung, desentralisasi, otonomi daerah dan seterusnya, bisa dianggap sebagai perpanjangan dari jembatan emas, yang dulu pernah dibayangkan Bung Karno.

Kehilangan daya tarik

Pilkada langsung sebagai buah dari semangat  reformasi sebenarnya sudah kehilangan daya tariknya, salah satu alasannya karena begitu banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik produk pilkada. Kasus korupsi pejabat daerah yang sedang ditangani KPK, seandainya  dibuat grafisnya, kita akan lelah membacanya, sebab daftar namanya sangat panjang. Apa yang terjadi pada Bupati Pamekasan baru-baru ini hanyalah puncak dari gunung es, pada kenyataannya akan lebih parah lagi.

Perhelatan pilkada selama ini mengingatkan kita kembali pada istilah filsuf Inggris, Thomas Hobbes, yakni homo homini lupus, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain. Konsep Hobbes masih relevan, ketika kita menyaksikan para elite saling memangsa, saling sandera satu sama lain. Hobbes menulis itu berdasarkan kesaksian dia melihat fenomena di Inggris abad pertengahan, dengan kata lain dari segi peradaban kita juga telah tertinggal sangat jauh.

Dalam setiap pilkada dan pilpres, posisi rakyat hanya sekadar penggembira, sebagai obyek "serangan fajar” atau pembagian paket sembako, sebagai cara instan untuk mendulang suara. Dan rakyat rupanya semakin cerdas merespons fenomena ini, dengan menerima paket sembako serta insentif lainnya, dari parpol atau figur manapun, namun siapa yang benar-benar dipilih ditentukan di bilik suara. Penerimaan bingkisan seperti itu wajar diterima rakyat dengan suka cita, sebagai salah satu cara menyambung hidup.

 Bila saat menjelang pilkada para elite daerah menjadi "serigala”, ketika kemenangan sudah diraih, dengan segala maaf, saya menyebut mereka tak ubahnya sebagai predator. Mereka dengan dingin memangsa alokasi anggaran yang seharusnya diproyeksikan bagi kesejahteraan rakyatnya. Kemudian ketika sudah memakai rompi oranye KPK, masih sempat-sempatnya mereka cengar-cengir di depan awak media, entah manusia macam apa ini.

Sungguh di luar perkiraan, ketika imajinasi jembatan emas yang dulu digagas Bung Karno sama sekali tidak terlihat jejaknya hari ini, meski sudah diperpanjang berkali-kali. Secara riil memang banyak jembatan yang telah  ambrol sebelum waktunya, karena kualitas  teramat buruk, itu karena sebagian (besar) anggaran pembangunannya menjadi "bancaan” pejabat derah.

Bila pilkada selama ini hanya menghasilkan pemimpin berkelas medioker, perhelatan lima tahunan sejatinya menjadi sangat membosankan. Pencerahan atau pengetahuan macam apa yang akan ditawarkan pada publik, bila hasilnya hanya serendah itu.  Sebagai agenda berskala besar, nilainya masih jauh di bawah kegiatan budaya semacam Festival Lima Gunung (Magelang) atau Jember Fashion Carnival, yang sudah terbukti gaungnya.

Evolusi tipe pemimpin

Dengan kualitas pilkada seperti itu,  tanpa capaian berarti, opsi yang bisa ditempuh adalah memotong satu generasi. Benar, generasi kepemimpinan produk pilkada anggap saja sebagai residu dari era reformasi. Secara alamiah mereka akan sirna.

Saya sendiri masih memiliki harapan pada generasi baru, yang biasa dikenal sebagai generasi milenial atau Generasi Y, mereka yang lahir pada tahun 1990-an dan sesudahnya. Waktu terus berganti, pada saatnya nanti, elite-elite politik yang sekarang masih berkuasa akan digantikan generasi baru, generasi yang tidak terlalu terpesona pada kekuasaan.

Kita boleh merasa tenang bila melihat persepsi generasi milenial tentang kekuasaan. Bagi generasi ini kekuasaan bukanlah sesuatu yang harus dipuja dan disembah, bahkan dari segi makna, posisi kekuasaan tidak lebih tinggi dari aktivitas lain  seperti ketika membuat film dokumenter, diskusi buku, atau outbound.

Generasi inilah yang akan menjadi pemimpin Indonesia masa depan, yang tipenya sangat jauh dengan elite politik sekarang. Pemimpin Indonesia dua dekade ke depan bukanlah mereka yang tiap hari rajin sowan kiri-kanan sembari membawa sekadar "mahar” memohon dukungan petinggi partai. Generasi milenial yang kelak memimpin negeri, adalah mereka yang hari ini masih fokus di habitat masing-masing.

Zona nyaman

Calon pemimpin itu bisa ditemukan di segala lini. Bisa jadi dia seorang pemuda yang hari ini masih menjadi  petani kopi arabica di dataran tinggi Flores, sementara kandidat lain adalah anak muda pelaku bisnis start up,  atau mereka yang  bekerja dalam profesi yang sama sekali di luar nalar kita, semisal sebagai montir sepeda.  Sekadar ilustrasi bisa disebutkan di sini, orang muda seperti Gibran Rakabuming Raka, bila kelak terpilih menjadi pejabat publik,  bukan karena dia anak seorang Presiden (Jokowi), tapi karena kerja keras dia dalam mengembangkan bisnis kulinernya.

Bila generasi milineal terkesan biasa-biasa saja dalam merespons pilkada, tentu bisa dimengerti, mereka telah berada di zona nyaman pada aktivitas masing-masing. Namun kita tidak perlu khawatir, pada saatnya nanti sosok yang paling cerdas atau unggul di antara mereka akan melesat. Mereka tidak perlu lagi memburu kekuasaan, dengan modal kecerdasan yang berpendar, justru kekuasaan yang akan menghampiri mereka.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat sosial dan militer. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis