Menhan AS Lakukan Kunjungan Mendadak ke Afghanistan
22 Maret 2021
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin lakukan kunjungan mendadak ke Kabul di tengah tenggat waktu penarikan pasukan Washington dari Afghanistan. Austin membahas eskalasi kekerasan di negara itu dengan Presiden Ghani.
Iklan
Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat (AS) Lloyd Austin melakukan kunjungan mendadak ke Afghanistan pada Minggu (21/03). Kunjungan ini dilakukan beberapa pekan menjelang tenggat waktu terakhir penarikan pasukan Washington di negara itu. Sebelumnya, kesepakatan penarikan pasukan telah dicapai oleh bekas Presiden AS Donald Trump dengan Taliban tahun lalu.
Kepala Pentagon itu mengadakan pembicaraan dengan Presiden Ashraf Ghani dan pejabat senior lainnya di Kabul.
Menurut istana kepresidenan Afghanistan, kedua belah pihak mengutuk eskalasi kekerasan di negara yang dilanda perang tersebut dan menekankan perlunya proses perdamaian yang tahan lama dan adil untuk mengatasi situasi saat ini di sana.
"Jelas sekali bahwa tingkat kekerasan masih cukup tinggi di negara ini," kata Austin. "Kami benar-benar ingin melihat kekerasan diredam dan saya pikir jika kekerasan benar-benar bisa diredam, kita bisa mulai mengatur kondisi untuk pekerjaan diplomatik yang benar-benar bermanfaat."
Austin yang sedang melakukan kunjungan Asia, tiba di Afghanistan setelah mengunjungi Jepang, Korea Selatan, dan India.
Tidak ada diskusi tentang penarikan pasukan
Kunjungan Menhan AS ke Kabul dilakukan tak lama setelah Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa tenggat waktu 1 Mei untuk penarikan pasukan, akan sulit untuk dipenuhi.
Iklan
Menanggapi pernyataan Biden, Taliban memperingatkan AS tentang "konsekuensi" jika tentara AS melewati batas waktu.
"Itu akan menjadi semacam pelanggaran perjanjian. Pelanggaran itu bukan berasal dari pihak kami. ... Pelanggaran mereka akan mendatangkan konsekuensi," kata Suhail Shaheen dari tim negosiasi Taliban kepada wartawan, Jumat (19/03).
Tahun lalu, pemerintahan Trump dan Taliban telah mencapai kesepakatan di Doha, Qatar, yang menyebutkan bahwa AS berjanji untuk menarik kembali semua pasukan AS dan internasional dari Afghanistan. Sebagai gantinya, Taliban berjanji untuk memutuskan hubungan dengan kelompok teroris seperti al-Qaeda dan duduk di meja perundingan perdamaian intra-Afghanistan.
Kebangkitan Taliban Bayangi Afghanistan
Enam belas tahun setelah invasi AS, Afghanistan kembali tenggelam dalam jerat terorisme kelompok Islam. Serangkaian serangan teror baru-baru ini semakin memperkuat pengaruh Taliban dan ISIS.
Foto: picture alliance/Photoshot
Stabilitas Yang Rapuh
Rangkaian serangan teror di Afghanistan selama beberapa bulan terakhir menempatkan negeri tersebut dalam posisi pelik dan menggarisbawahi kegagalan pemerintah memperbaiki kondisi keamanan pasca penarikan mundur pasukan perdamaian internasional.
Foto: Reuters/M. Ismail
Kampanye Tanpa Hasil
Serangan tersebut juga menjadi catatan muram kampanye militer Amerika Serikat selama 16 tahun di Afghanistan. Meski serangan udara terhadap Taliban meningkat tiga kali lipat selama 2017, kelompok teror tersebut mampu menggandakan kekuasaannya dan kini aktif di 70% wilayah Afghanistan. Islamic State yang terusir dari Suriah mulai giat menebar teror di negeri tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Hossaini
Darah di Musim Semi
Pekan lalu Taliban mendeklarasikan dimulainya serangan musim semi yang sekaligus menampik tawaran perdamaian dari Presiden Ashraf Ghani. Kaum militan itu beralasan meningkatnya intensitas kampanye bersenjata adalah reaksi terhadap strategi militer AS yang lebih agresif. Pentagon ingin mendesak Taliban agar menerima perundingan damai dengan meningkatkan serangan udara.
Foto: Reuters
Janji Donald Trump
Tahun lalu Presiden AS Donald Trump mengumumkan strategi baru dengan menambah jumlah pasukan untuk melatih militer Afghanistan. Saat ini sekitar 11.000 pasukan AS bertugas sebagai pelatih atau konsultan keamanan. Trump juga berjanji akan membantu Afghanistan memerangi Taliban dan mempertahankan keberadaan pasukan AS selama dibutuhkan.
Foto: Getty Images/AFP/B. Smialowski
Damai yang "Konspiratif"
Meski mendapat tawaran perundingan damai "tak bersyarat" dari Presiden Ghani Februari silam, Taliban tetap bergeming dan malah menyebut upaya perdamaian sebagai "konspirasi." Pengamat meyakini kelompok teror tersebut tidak akan bersedia mengikuti perundingan damai selama mereka masih lemah. Wilayah kekuasaan Taliban saat ini jauh lebih besar ketimbang sebelum berkecamuknya perang 2001 silam.
Foto: Getty Images/AFP/N. Shirzad
Sikap Ambigu Pakistan
Pakistan mendapat tekanan dari Kabul dan Washington agar tidak lagi melindungi militan dari Afghanistan. Islamabad sejauh ini menepis tudingan tersebut dan mengklaim pengaruhnya di wilayah perbatasan telah banyak berkurang. Situasi tersebut menambah ketegangan antara Pakistan dan Afghanistan.
Foto: DW/H. Hamraz
Nasib Bangsa di Tangan Penguasa Daerah
Selain Taliban, penguasa daerah alias warlords memiliki pengaruh besar di Afghanistan. Tahun lalu, pemimpin Hizb-i-Islami Gulbuddin Hekmatyar kembali ke arena politik di Kabul setelah masa pengasingan selama 20 tahun. Kembalinya Hekmatyar adalah berkat perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan yang ditandatangani pada September 2016. Langkahnya diharapkan dicontoh oleh warlords lain.
Foto: Reuters/O.Sobhani
Sikap Galau Asraf Ghani
Di tengah konflik kekuasaan tersebut, popularitas Presiden Ghani terus menyusut di mata penduduk. Maraknya korupsi dan cekcok tanpa henti di tubuh pemerintah mempersulit upaya Afghanistan menanggulangi terorisme. Terkait serangan Taliban, Ghani mengatakan kelompok teror tersebut "sudah melampaui batas," meski tetap membuka pintu perundingan damai.
Foto: Reuters/K. Pempel
8 foto1 | 8
Namun, pemerintahan Presiden Biden sedang meninjau kembali keputusan penarikan pasukan.
Batas waktu 1 Mei tidak disebutkan selama pembicaraan pada hari Minggu (21/03). Austin juga menolak pertanyaan wartawan seputar tenggat waktu tersebut.
"Itu ranah atasan saya," kata Austin kepada wartawan.
"Itu adalah ... keputusan yang akan dibuat oleh Presiden (Biden) suatu saat nanti, dalam hal bagaimana dia ingin melakukan pendekatan terhadap hal ini di masa mendatang,‘‘ tambahnya.
Austin yang merupakan seorang pensiunan jenderal bintang empat, dikerahkan di Afghanistan sebagai komandan Divisi Gunung ke-10.
Dia juga memimpin Komando Pusat AS dari 2013 hingga 2016.