Setidaknya secara tersurat, tidak ada hal yang salah ketika Prabowo mengemukakan bahwa Indonesia terancam bubar pada tahun 2030 kelak. Sayangnya, retorika semacam itu sudah klise. Simak opini Rahadian Rundjan.
Iklan
Saya merasa, setidaknya secara tersurat, tidak ada hal yang salah ketika Prabowo Subianto, pemimpin Partai Gerindra dan pentolan kelompok oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo, mengemukakan bahwa Indonesia terancam bubar pada tahun 2030 kelak. Ketimpangan kepemilikan tanah, kesenjangan kemakmuran masyarakat, dan masalah lenyapnya kekayaan Indonesia ke tangan asing disebutnya akan menjadi sebab musabab bencana politik maha dahsyat tersebut. Dan kata seruan ‘Bung!' yang ia pakai sedikit banyak mengingatkan pada gaya retorik Sukarno yang berapi-api.
Sayangnya, retorika semacam itu sudah klise. Bahkan, lebih terlihat sebagai langkah panik dari oposisi yang tengah kehabisan akal dalam upaya meningkatkan daya tawar politiknya. Terlebih ketika pernyataan yang beratmosfir menegangkan tersebut ternyata dikutip dari sebuah karya fiksi; meskipun para penulisnya adalah pakar politik asal Amerika Serikat yang cukup mumpuni.
Kemungkinan besar, sebelumnya kita tidak pernah mendengar nama Ghost Fleet, novel karangan P.W. Singer dan August Cole, yang menjadi rujukan pernyataan Prabowo akan nasib malang Indonesia 12 tahun mendatang tersebut, kecuali mungkin sebagian pakar politik internasional dan penggemar novel-novel politik dan sains-militer serupa di dalam negeri. Dari ulasan-ulasan yang saya temukan di internet, banyak yang membandingkan Ghost Fleet dengan novel-novel Tom Clancy, yang penuh trik-intrik politik internasional dan spionase militer.
Novel-novel Clancy terjual lebih dari 100 juta kopi ketika ia meninggal tahun 2013 silam. Clancy dikenal karena mampu mengombinasikan latar tegang Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan pengetahuan akuratnya akan teknologi militer untuk menghasilkan drama fiksi yang menggugah para pembaca, dan penikmat film-film adaptasinya. Sebut saja judul-judul seperti The Hunt for Red October (1984), Patriot Games (1987), Clear and Present Danger (1989), dan The Sum of All Fears (1991).
Mungkin bagi politisi, karya-karya fiksi Clancy dan Singer bukanlah fakta, namun ia tetaplah hal yang layak dilirik. Sebuah dokumen yang dipublikasikan lembaga arsip nasional Inggris tahun 2015 mengemukakan bahwa presiden ke-40 Amerika, Ronald Reagan, pernah merekomendasikan kepada Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, untuk membaca novel Clancy, Red Storm Rising (1986). Novel tersebut, yang secara fiktif menggambarkan perang antara negara-negara NATO dan Pakta Warsawa, sengaja Reagan rekomendasikan karena menurutnya memberikan gambaran yang cukup baik mengenai tabiat politik Soviet.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Novel-novel politik ala Clancy memang menampilkan potret realistis politik dalam balutan konflik fiksi. Reagan cukup berhasil mencerna hal tersebut untuk mengilhami visi politik luar negerinya yang terkenal agresif terhadap musuh-musuh Amerika. Namun masalahnya, glorifikasi dan retorika berlebihan terhadap skenario politik imajinatif dalam karya-karya fiksi tetap saja adalah sebuah kegegabahan, bahkan paranoid, terlebih jika dikemukakan dalam iklim politik dan opini publik yang tidak berpihak kepada pandangan orang tersebut.
Dalam hal itulah Reagan dan Prabowo berbeda. Reagan dan gaya komunikasinya yang keras terhadap Soviet melalui dukungannya terhadap karya-karya Clancy (yang bahkan diundangnya ke Gedung Putih) saat itu memang tengah dibutuhkan publik Amerika yang ingin mengakhiri ancaman Soviet. Karenanya, ketika Reagan mengemukakan retorika yang terinspirasi dari produk-produk budaya populer seperti "Star Wars” (sistem pertahanan roket Amerika) dan "Evil Empire” (frasa cemoohan untuk Soviet), hal itu terdengar wajar saja dan dapat diterima publik Amerika.
Sedangkan saat ini Prabowo seakan menakut-nakuti dan menebar pesimisme; terang saja karena wajah Indonesia saat ini adalah wajah pembangunan. Jokowi cukup berhasil mencitrakan Indonesia sebagai negara yang berpotensi melangkah lebih jauh dalam berbagai aspek di masa depan dengan serangkaian proyek pembangunannya, utamanya infrastruktur. Hal itu disambut optimis baik oleh masyarakat Indonesia maupun pakar di luar negeri. Sehingga, gagasan kegagalan monumental pembangunan Indonesia lebih terlihat sebagai nyinyir daripada ajakan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap segala kemungkinan terburuk.
Dan ini bukan pertama kalinya Prabowo mengutarakan kekhawatirannya terhadap ancaman serupa, yang diilhami dari skenario fiksi. Allan Nairn, jurnalis Amerika, dalam salah satu tulisannya menyinggung bahwa pada 2001 Prabowo pernah menyinggungnya untuk membaca buku Special Forces: A Guided Tour of U.S. Army Special Forces yang ditulis oleh Clancy. Buku tersebut memuat skenario invasi Amerika terhadap Indonesia yang dipicu oleh huru-hara teroris di Maluku. Namun sampai saat ini, hal itu tidak pernah terjadi. Ancaman fiksi tinggalah fiksi.
Nama-Nama Besar Dalam Dokumen Paradise Papers
Ratusan wartawan bekerjasama mengolah dokumen rahasia yang jatuh ke tangan media Jerman. Bagaimana kiat para miliuner dan perusahaan besar menghindari pajak? Dari Indonesia antara lain ada nama Prabowo dan Tommy Suharto.
Foto: Imago/STPP
Prabowo Subianto
Prabowo Subianto (tengah) muncul dalam Paradise Papers sebagai pengusaha yang mencoba melarikan kekayaan dari kejaran petugas pajak Indonesia. Rasa nasionalisme politisi Prabowo ternyata tidak sebesar kecintaannya akan uang.
Paradise Papers memuat nama-nama orang kaya, artis terkenal, politisi ternama dan perusahaan-perusahaan besar, yang melarikan uangnya ke luar negeri untuk menghindari pajak di negaranya. Dari Indonesia ada juga nama Tommy Suharto.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Perusahaan Ratu Elizabeth berinvestasi di sektor air panas
Selain mendapat tunjangan besar dari negara, Ratu Elizabeth II juga punya pendapatan dari perusahaan pribadinya Duchy of Lancaster. Menurut data-data Paradise Papers, perusahaan itu menginvestasikan sekitar 10 juta Poundsterling di rekening luar negeri di Bermuda dan Kepualauan Cayman. secara hukum, investasi itu legal. Namun secara moral patut dipertanyakan.
Foto: picture-alliance/dpa/D.-L. Olivas
Juara dunia Formula-1 Lewis Hamilton
Di sirkuit balap mobil, Lewis Hamilton boleh merajai arena dan dipuja-puja fans Inggris. Tapi soal pembayaran pajak, dia terus berusaha mengelak. Dokumen yang dibocorkan menunjukkan bahwa Hamilton menerima pengembalian pajak sebesar 3.3 juta Poundsterling tahun 2013, karena menempatkan pesawatnya di Pulau Isle of Man, yang pajaknya jauh lebih rendah dari Inggris.
Foto: Reuters/A. Boyers
Bono investasi di bisnis properti Nude Estates
Vokalis U2 yang juga aktivis, Bono, disebut dalam Paradise Papers karena menginvestasikan uangnya di Malta dalam bisnis properti dengan perusahaan Nude Estates. Perusahaan itu terlibat dalam bisnis gelap pembangunan pusat perbelanjaan di Lithuania. Jurubicara Bono menegaskan, penyanyi tersohor itu tidak melakukan pelanggaran hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Gombert
Madonna masuk bisnis medis
Mega bintang Madonna juga disebut dalam Paradise Papers karena berinvestasi di perusahaan pemasok di bidang medis. Sedangkan artis terkenal lain, Keira Knightley punya saham di perusahaan properti.
Foto: Picture alliance/AP Photo/K. Wigglesworth
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross terdaftar sebagai pemilik saham di perusahaan gas Rusia Sibur. Ross pernah diberitakan sebagai salah satu tokoh penting dalam keterlibatan Rusia di kampanye pilpres AS yang memenangkan Donald Trump. Selama pemeriksaan, Ross tidak pernah mengungkapkan keterlibatannya di perusahaan Rusia.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Harnik
Mantan Kanselir Jerman Gerhard Schröder
Gerhard Schröder, Kanselir Jerman dari 1998 sampai 2005, disebutkan terlibat dalam manajemen di perusahaan energi Rusia-Inggris TNK-BP tahun 2009. Perusahaan tersebut terdaftar di surga pajak British Virgin Islands. Tahun 2013, TNK-BP dibeli oleh raksasa energi Rusia Rosneft - di mana Schröder sekarang menjadi salah satu direktur.
Foto: Reuters/O. Astakhova
Presiden Kolumbia Juan Manuel Santos
Menurut dokumen Paradise Papers, Presiden Kolombia Juan Manuel Santos terdaftar sebagai direktur pada dua perusahaan di Barbados. Padahal ketika menjadi Menteri Keuangan Kolombia tahun 2000, Santos menyatakan sudah melepaskan semua jabatannya di perusahaan swasta.
Foto: picture-alliance/Photoshot
9 foto1 | 9
Indonesia sebenarnya sudah pernah "bubar” setidaknya satu kali ketika negara-negara federal dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk pasca Perjanjian Meja Bundar tahun 1949 memutuskan untuk membubarkan diri dan membentuk negara kesatuan Indonesia pada 1950, yang masih bertahan sampai saat ini. Namun, pembubaran tersebut lebih mirip reorganisasi struktural daripada perceraian politik seperti yang dialami Yugoslavia dan Uni Soviet.
Lantas, apakah Indonesia akan bubar sepenuhnya pada 2030? Saya sudah cukup banyak membaca kisah-kisah fiksi populer yang menyiratkan muramnya masa depan Indonesia (atau negara-negara lain yang kalah bersaing secara global) untuk mengatakan hal tersebut adalah sebuah kemungkinan tak terbatas. Namun, tidak bijak untuk mempolitisir isu tersebut secara tendensius, terlebih jika tidak ada kajian serius dan kritik mendalam mengenai faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan pembubaran tersebut.
Jika ada yang perlu dikhawatirkan dari tahun 2030 maka itu adalah beban-beban prediksi positif yang diterbitkan lembaga-lembaga think tank internasional yang tak ayal menjadi ujian bagi keseriusan kita dalam melaksanakan pembangunan. Lembaga audit PricewaterhouseCoopers (PwC) memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-5 di dunia, sedangkan McKinsey Global Institute memberikan peringkat ke-7. Lantas, untuk menggapai beban berat tersebut masih perlukah kita untuk mempersulit diri sendiri dengan kecemasan-kecemasan yang rasionalitasnya minim?
'Nyoblos' Capres Pilihan
Perang dingin di media sosial, berangkat dengan semangat ke tempat pemungutan suara, penghitungan cepat, pemilu kali ini tampak berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Lebih membuat penasaran dan dinanti.
Foto: Reuters
Tokoh bertolak belakang
Yang satu dari dunia militer, yang satunya lagi dulunya pengusaha mebel. Ketika nama Joko Widodo dicalonkan PDI Perjuangan, ia diduga akan bisa menang mudah. Namun dalam jajak-jajak terakhir, perbandingan suaranya dengan Prabowo Subianto terus mendekat.
Foto: ROMEO GACAD/AFP/Getty Images
Sebelum hari H
Media sosial jadi bulan-bulanan curahan hati para pendukung capres. Tak sekedar menyatakan dukungan, tak jarang pendukung berkampanye hitam, atau sekedar menumpahkan kekesalan terhadap pendukung lain. Perang antar pendukung bisa dilihat setiap hari terjadi di sosmed dalam bulan-bulan terakhir.
Foto: Twitter
Hari yang dinanti pun tiba
Sejak pagi hari jelang pemilu, petugas pemilihan duduk dekat kotak suara di tempat pemungutan suara di samping jalur kereta api, kawasan kumuh Jakarta.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Datang ke TPS
Akhirnya tiba juga hari yang dinanti. Pemilih menyalurkan suara mereka untuk calon yang mereka dukung. Setelah saling perang di sosial media gara-gara beda dukungan capres, apakah dalam kehidupan nyata mereka kembali berteman?
Foto: Reuters
'Nyoblos'
Sambil menggendong bocah, seorang ibu memberikan suaranya di Tempat Pemungutan Suara TPS, Menteng, Jakarta Pusat, dimana Joko Widodo dan istrinya Iriana juga memberikan suara.
Foto: Reuters
Pesta demokrasi
Dari Sabang sampai Merauke, mendapat kesempatan untuk menyalurkan suara mereka. Demikian pula dengan pemilih di mancanegara yang sudah terlebih dahulu memberikan suaranya, baik secara langsung maupun lewat pos.
Foto: picture-alliance/dpa
6 foto1 | 6
Antara kecemasan dan keemasan
Menurut saya, yang paling berbahaya dari masa depan adalah ketidaksiapan dalam menyambutnya. Para peneliti telah memaparkan bahwa Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi pada 2030. Di tahun yang sama, diperkirakan 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam akibat dampak perubahan iklim. Indonesia juga kini terikat dalam kesepakatan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk memberantas kemiskinan dan melestarikan lingkungan, dengan tahun 2030 sebagai target penyelesaian program-programnya.
Dengan kata lain, memang akan terjadi sesuatu yang cukup berbahaya pada 2030 nanti jika kita tidak mempersiapkan diri dari sekarang. Perbedaannya, 2030 hadir sebagai tenggat waktu nyata berlandaskan kepada kajian-kajian ilmiah, yang saya yakin jauh lebih komprehensif daripada sekedar novel-novel fiksi yang tujuan utamanya untuk menghibur pembaca, bukan untuk secara substansial mendikte kebijakan publik.
Kesimpulannya, kini sebaiknya kita menyambut rencana Indonesia Emas (perayaan seabad Indonesia) pada 2045 nanti dengan hasil kerja nyata yang dibalut dengan optimisme, bukan dengan menghamba pada ketakutan dan pesimisme yang ditularkan dari skenario-skenario fiktif.
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Artis dan Kampanye
Pemilihan Presiden 2014 diwarnai dukung-mendukung para artis dan orang beken terhadap calon presiden, baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo. Kreatifitas dan kontroversi mewarnai kampanye para selebritas.
Foto: YouTube
Dikecam gara-gara baju Nazi
Untuk mendukung Prabowo, Ahmad Dhani dan kawan-kawan sempat meluncurkan Video musik di Youtube. Namun video protes, karena pakaian yang dikenakan oleh Dhani mirip dengan serangan komandan paramiliter SS, Heinrich Himmler.
Foto: YouTube
Magnet dalam kampanye
Artis masih menjadi magnet dalam menggaet pemilih. Di beberapa media nasional diberitakan deretan nama artis yang disebut-sebut mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta, di antaranya Nurul Arifin, yang ikut menggandeng Luna Maya, Mulan Jamela, dan Raffi Ahmad.
Foto: picture alliance/ASIAN NEWS NETWORK
Dukungan sang Raja Dangdut
Sempat digadang-gadang sebagai calon presiden Partai Kebangkitan Bangsa PKB, pada akhirnya Rhoma Irama secara resmi menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
Dukungan dari pembalap dan bintang iklan
Sebagai anggota Partai Gerindra, Ananda Mikola mengaku mendukung Prabowo Subianto menjadi presiden pada 2014. Dukungan dari pembalap yang juga bintang iklan itu juga tertera dalam situs resmi Partai Gerinda.
Gaet pemilih muda
Untuk menarik pemilih muda Indonesia, Slank yang mendukung Jokowi mempopulerkan lagu “Salam Dua Jari“ . Hampir sepertiga dari 187 juta pemilih di Indonesia berusia antara 17 dan 29 tahun. Jumlah ini sangat penting dalam menentukan siapa pemenang dalam pemilu.
Foto: JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images
Turun gunung
Slank "turun gunung" untuk mendeklarasikan dukungannya terhadap Jokowi. Bersama para seniman nasional lainnya --seperti Sarah Sechan, Cinta Laura, Sandhy Sandoro, Glenn Fredly-- Slank menggelar konser gratis di Gelora Bung Karno tanggal 5 Juli 2014. Acara bertajuk #Ngabuburit2jari itu selain menampilkan acara seni, juga menggelar acara buka puasa bersama.
Foto: Twitter
Trio Lestari
Bersama Glenn Fredly dan Sandy Sandoro, secara sukarela Tompi mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Tompi mengatakan dukungannya itu berangkat dari kepercayaan terhadap pengalaman pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam memimpin.
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
#AkhirnyaMilihJokowi
Sepanjang Kamis (3/7), Twitter ramai dipenuhi tagar #AkhirnyaMilihJokowi. Hashtag itu bahkan menduduki posisi pertama trending topic atau topik terpopuler dunia. Selain Sherina; Gita Gutawa, Afgan, Sophia Latjuba, Acha Septriasa, Andien, Tika Panggabean, Ringgo ikut dalam aksi #AkhirnyaMilihJokowi juga.
Foto: Twitter
Kecaman Anggun
Meski tak terang-terangan mendukung Jokowi, artis yang terkenal di Perancis ini sempat mengkritik tajam video musik kampanye Prabowo, terkait kostum yang dipakai Ahmad Dhani yang mirip dengan seragam komandan SS Nazi. Lewat Twitter Anggun bercuit: “Aku berdoa semoga Indonesia tidak jatuh ke tangan fasisme!”