1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Menjadi Orang Tua Tunggal di Jerman

18 Juli 2020

Berstatus janda sekaligus orang tua tunggal, Rey yang berasal dari Indonesia lebih memilih hidup di Jerman ketimbang di tanah airnya sendiri. Mengapa demikian?

 Rey Clausnitzer
Rey Clausnitzer, ibu tunggal di JermanFoto: privat

Agustus 2008, Rey Clausnitzer yang berasal dari Indonesia memutuskan bercerai dari suaminya yang merupakan warga negara Jerman. Saat itu mereka tinggal di Shanghai dan ia menemukan bukti perselingkuhan sang suami. “Pada waktu itu anak saya Tristan masih berumur enam bulan, jadi perselingkuhan itu sudah berlangsung sekitar satu tahun, berarti ketika suami berselingkuh itu, Tristan masih dalam kandungan saya.“

Bagi Rey, keputusan yang ia ambil sangat berat, karena memikirkan untuk masa depan masa depan Tristan dan masa depannya sendiri. Namun ia berpikir jika anaknya tumbuh di dalam keluarga atau pasangan yang tidak bahagia, maka ia khawatir putranya tumbuh menjadi anak yang bahagia. “Tidak. Saya tidak mau itu terjadi. Oleh sebab itu saya putuskan bercerai dan kembali ke Jerman.“

Alasannya antara lain, ia tidak mau hidup dari bantuan siapa pun dalam mengurus anaknya semata wayang, “Kalau di Indonesia saya bisa bilang ke ibu saya: anak saya tinggal, saya kerja sore balik semua sudah beres. Tidak, tidak mau seperti itu. Anak tanggung jawab saya. Saya mau semua pendidikan, perhatian 100% itu ada di tangan saya.” Dengan bulat tekad ia memutuskan membesarkan anaknya sendirian di Leverkusen, Jerman. 

“Di Jerman itu kita masih bisa kerja paruh waktu, perusahaan mengerti status ‘single mother’. Perusahaan memberikan kesempatan kepada ‘single mother’ untuk bisa memilih antara 15 jam, 20 jam, 25 jam dan 30 jam, (per minggu),” tambah Rey. 

Rey Clausnitzer dan putra semata wayangnya, TristanFoto: privat

Kesejahteraan anak

Penitipan anak usai jam belajar di sekolah membantunya mengatur waktu sehari-hari. Pekerjaan rumah (PR) dilakukan anak-anak di tempat penitipan tersebut dengan bimbingan tenaga terdidik. Selain itu mereka juga bisa diberikan ekstrakurikuler sesuai bidang yang diminati anak-anak tersebut. “Untuk yang orang tua yang bekerja, mereka ada pilihan. Sekolah sampai jam 13.00, tapi di sekolah ada kegiatan ekstra kurikuler sampai jam 15.00 di antaranya olahraga, musik, teater juga… tapi Tristan lebih senang ke arah yang olahraga.” 

Berkat pelatihan olahraga di jam ekstra kulikuler tersebut, kini Tristan, putra Rey yang telah berusia 12 tahun menjadi atlet berprestasi. Ia berhasil mengumpulkan puluhan piala dan ratusan medali dari berbagai cabang olahraga, mulai dari marathon, sepeda, renang, triathlon, basket, bola tangan dan lain sebagainya. 

“Kebetulan saya memberi pengertian sejak dia masih kecil saat umur 3 tahun, karena saya melihatnya pertama, dia tumbuh keluarga single parent, dan kedua, half Asia (campuran Asia), jadi saya tidak mau kalau dia sudah besar nanti ia merasa minder: 'Ah saya bukan 100 persen Jerman, ah saya cuma diasuh oleh seroang ibu`. Tidak! Saya mau memberikan pengertian kamu diasuh oleh seorang ibu tapi kamu tidak kalah dengan yang yang diasuh keluarga lengkap dan kamu sepenuhnya warga Jerman,” tandas Rey.


Beban menyandang status janda

Faktor lain yang membuat Rey memilih di Jerman adalah menghindari tekanan sosial. “Kalau di Indonesia mungkin orang selalu berpikir tentang single mother itu pelakor, janda genitlah …tapi kalau di sini (di Jerman), mereka selalu open minded. Anak-anak di sini juga mereka bukan merasa minder kalau mereka hanya punya seorang ibu atau seorang bapak, buat mereka itu biasa. Kalau diundang oleh keluarga teman saya yang lengkap, suami-istri, istrinya itu tidak merasa ketakutan. Tidak pernah yang misalnya, nanti goda suami saya lagi…tidak begitu. Sama sekali tidak pernah. Mereka menerima saya dengan open heart, open hand, open mind.”

Seorang penulis feminis yang bermukim di Amerika Serikat Uly Siregar mengungkapkan keheranannya bagaimana bisa janda menanggung beban stereotipe negatif yang jauh lebih berat dibandingkan dengan duda. Padahal kecuali karena kematian, dalam kasus perceraian baik janda maupun duda sama-sama mengalami kegagalan dalam pernikahan. Menurutnya, budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak yang salah. “Kalau perceraian disebabkan oleh suami yang selingkuh, reaksi yang muncul seringkali malah menyalahkan sang istri. "Ah, pasti istrinya tidak becus melayani suami. Jelas saja suami lari ke perempuan lain” atau "Ya, ampun. Bagaimana suami tidak lari, badan dia sekarang hancur begitu. Tak jaga badan, sih,” dan beragam komentar lainnya yang menyudutkan perempuan,” demikian disampaikan Uly.

Dalam pengamatan Uly Siregar, seorang janda umumnya menanggung beban dan tanggung jawab yang lebih berat daripada duda. Ia mengemban peran ibu juga ayah dalam merawat anak-anak yang tak jarang ditelantarkan oleh mantan suami. “Jika dalam rumah tangga suami menjadi pencari nafkah, maka perceraian menjadi semakin menakutkan. Tak hanya sang janda harus berpikir keras bagaimana menafkahi diri sendiri, tapi jika hak asuh ada di tangan ibu maka ia pun harus bertanggung jawab membiayai hidup sang anak.”

Dari dulu hingga sekarang, stigma status janda tak juga membaik, papar Uly. “Tak hanya di kehidupan nyata, pandangan negatif pada janda ini bahkan bisa ditemukan di dalam film, lagu, sindiran-sindiran tak bermutu berbentuk meme di media sosial, dan banyak lagi. Padahal di luar beragam pandangan negatif ini, bagi janda masih ada lagi persoalan yang lebih krusial yang masyarakat justru tak begitu peduli.”

Daripada menambah beban para janda dengan memperlakukan mereka secara tak menyenangkan dan menghakimi secara tak adil, Uly berharap masyarakat bisa lebih bersimpati pada nasib mereka. “Bila ada keluarga dan teman perempuan yang baru bercerai, daripada bergunjing tentang siapa yang bersalah, dan menuduh dia pantas ditinggalkan suami, lebih baik bantu dia untuk mengatasi masa transisi dari seorang istri dan ibu menjadi seorang janda dan ibu tunggal. Bila memungkinkan, bantu juga untuk dia mendapatkan hak-haknya. Atau, lakukan saja hal yang paling minimal: jangan mengusili, jangan mengganggu, dan biarkan mereka mengatasi permasalahan pelik yang harus mereka hadapi, tanpa ditambah pandangan-pandangan negatif yang melekat pada status janda,” pungkasnya.