Jaga Momentum Pendanaan di Konferensi Perubahan Iklim 2017
13 November 2017
Dunia sepakat batasi pemanasan global tidak lebih dari dua derajat Celcius dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Bagaimana soal pendanaannya yang tak sedikit itu? Opini Suzanty Sitorus.
Iklan
Pertemuan puncak negara-negara Pihak UNFCCC 2017 (COP 23) dilaksanakan di akhir tahun, seperti di tahun-tahun sebelumnya. Ini merupakan saat yang tepat juga untuk melakukan refleksi tentang berbagai tantangan dan hasil sepanjang tahun yang berpengaruh terhadap target-target yang harus dicapai pada tahun 2020 dan persiapan pelaksanaan Kesepakatan Paris yang akan dimulai di tahun 2020. Dunia telah bersepakat untuk bersama-sama membatasi pemanasan global tidak lebih dari dua derajat Celcius dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Salah satu tantangan terbesar adalah perkembangan politik dan ekonomi, domestik dan internasional, yang memicu dinamika pelaksanaan kesepakatan global tersebut. Meskipun sudah tercapai kesepakatan, kemungkinan perubahan komitmen selalu terbuka. Keputusan Presiden Donald Trump tentang penarikan diri Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris dan hasil pemilihan umum di berbagai negara-negara kunci memercikkan keraguan akan efektivitas pembahasan persiapan teknis untuk Kesepakatan Paris selama tahun 2017 hingga 2019. Perubahan komitmen semacam itu juga dikhawatirkan menimbulkan efek psikologis bagi aktor politik, bisnis, dan masyarakat di berbagai negara sehingga enggan berkontribusi untuk penanganan perubahan iklim.
Aliran pendanaan iklim di tingkat global
Dalam konteks ini, para juru runding yang akan menghadiri COP 23 dan juga publik internasional dapat memetik pelajaran dari laporan yang diluncurkan oleh Climate Policy Initiative (CPI) minggu ini tentang aliran pendanaan iklim di tingkat global. Laporan Lanskap Pendanaan Iklim Global 2017 merupakan yang paling komprehensif dengan data dari tahun 2015 dan 2016 yang juga menyajikan untuk pertama kalinya tren lima tahun tentang bagaimana, dimana dan dari mana pendanaan berasal. Laporan ini juga mengidentifikasi kesenjangan dan peluang untuk meningkatkan investasi.
Lanskap Pendanaan 2017 tersebut mengindikasikan bahwa dua tahun sejak dicapainya Kesepakatan Paris, masyarakat global masih menghadapi tantangan yang signifikan dalam memobilisasi investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi Kesepakatan Paris. Pemerintah sedang memusatkan perhatian pada cara-cara yang efektif untuk membiayai pelaksanaan Nationally Determined Contribution (NDC)—kontribusi yang dijanjikan oleh setiap negara sebagai bagian dari Kesepakatan Paris. Sementara itu, lembaga-lembaga keuangan publik dan swasta berupaya untuk memanfaatkan sinyal politik yang kuat yang disampaikan oleh Kesepakatan Paris untuk mengembangkannya menjadi peluang investasi hijau.
Pemenang dan Pecundang Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim tak hanya merugikan keragaman hayati. Ada juga yang diuntungkan. Serangga adalah indikator dari pemenang dan pecundang dampak perubahan iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul
Tawon Kepanasan
Pemanasan global menciutkan habitat tawon besar di Amerika Utara dan Eropa. Hewan penyerbuk ini gampang kepanasan dan mati gara-gara tubuhnya yang berbulu dan elatif lebih besar ketimbang lebah serta warna gelapnya. Tawon besar juga sulit melakukan migrasi ke kawasan lebih sejuk karena pakannya tergantung pada spesies tanaman tertentu.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul
Lebah Madu Bersaing Ketat
Lebah madu bisa selamat dalam ekosistem lebih panas. Tapi dampak perubahan iklim bisa membingungkan lebah madu, karena tanaman berbunga jauh lebih awal. Jika terlambat bereaksi, jumlah nektar yang tersedia di saat lebah aktiv mengumpulkan madu sudah jauh menurun. Akibatnya terjadi persaingan ketat dengan serangga jenis lain dalam memanen nektar.
Foto: Colourbox.com
Kupu-Kupu Menderita
Kupu-kupu bersayap motf kotak (lat. Euphydryas editha) habitatnya di kawasan pantai Pasifik di Amerika Utara, dan makanan utamanya adalah bunga tumbuhan semak. Akibat pemanasan global, tumbuhan ini dewasa lebih dini. Akibatnya ulat yang akan jadi kepompong terlambat menggemukan diri. Dampakny, populasi kupu-kupu menurun drastis.
Center for Biological Diversity memprediksi lalat glasial (Zapada glacier) akan terancam musnah. Habitat serangga ini adalah aliran air lelehan glasial di taman nasional Montana AS. JIka kualitas air memburuk, serangga ini bisa terancam musnah.
Foto: picture-alliance/dpa/Joe Giersch/U.S. Geological Survey via AP
Belalang Kritis
Belalang Beydaglari (lat. Psorodonotus ebneri) kondisinya kini kritis. Hewan ini habitatnya sempit di Gunung Tantali pada ketingian 1.800 meter. Belalang ini tidak bisa terbang hingga sulit melakukan migrasi ke kawasan lain yang masih menunjang kehidupannya.
Foto: Battal Ciplak
Kutu Sengkenit Berkembang Biak
Perubahan iklim juga bisa menguntungan serangga tertentu. Kutu sengkenit (lat. keluarga Ixodes ) justru berkembang biak lebih cepat pada kondisi suhu lebih hangat. Vektor penyakit Lyme yang berbahaya bagi manusia, kini habitatnya makin meluas di kawasan bermusim empat. Penyebabnya, musim dingin yang makin pendek. Pengidap Lyme di AS kini berlipat dua.
Semut Merak Merebak
Pemanasan global juga mendorong perkembangbiakan semut merah (lat. genus: Solenopsis). Semut omnivora ini terkenal agresif dengan mangsa dari mulai serangga, cacing, kutu serta laba-laba. Teritorial semut merah makin meluas, karena perubahan iklim memungkinkan binatang ini hidup di kawasan yang dulunya mematikan mereka.
Foto: Colourbox/P. Chaisanit
Hama Kepik Rakus
Kepik hijau (lat. familiy Pentatomidae.) habitat aslinya adalah kawasan hangat di Laut Tengah, Timur Tengah, Afrika, Australia dan Amerika Utara. Tapi beberapa tahun silam, binatang hama ini ditemukan di Inggris yang habitatnya lebih dingin dan secara teoritis tidak memungkinkan kehidupannya. Hama ini merugikan petani Inggris karena menggagalkan panen.
Foto: imago/blickwinkel
Nyamuk Aedes Berkembang Pesat
Nyamuk Aedes yang jadi vektor penyakit demam berdarah Dengue, chikungunya, dan West Nile diuntungkan dengan makin hangatnya temperatur global. Populasi nyamuk meningkat drastis dan habitatnya juga meluas hingga ke kawasan Eropa. wabah penyakit yang dulunya khas Asia atau Afrika kini juga mulai jadi masalah di Eropa.
Foto: picture alliance/Mary Evans Picture Library
9 foto1 | 9
Berikut beberapa intisari dari Lanskap Pendanaan Iklim Global 2017:
• Aliran pendanaan iklim mencapai rekor tertinggi sebesar 437 miliar dollar AS pada tahun 2015, diikuti oleh penurunan 12 persen di tahun 2016 menjadi 383 miliar dollar AS, meskipun masih lebih tinggi daripada tahun 2012 dan 2013. Dengan memperhitungkan fluktuasi tahunan, aliran pendanaan rata-rata di tahun 2015/2016 sebesar 12 persen lebih tinggi daripada di tahun 2013/2014.
• Kenaikan pada tahun 2015 didorong oleh lonjakan investasi untuk energi terbarukan, terutama di China, dan untuk panel surya atap rumah di AS dan Jepang.
• Meningkatnya investasi oleh sektor swasta menunjukkan pasar yang mulai berkembang untuk energi terbarukan dari angin dan surya, sehingga kebutuhan dukungan pemerintah tidak lagi sebesar sebelumnya. Meskipun demikian, secara umum, investasi pemerintah tetap menjadi landasan bagi investasi swasta dari tahun ke tahun.
Paviliun Indonesia di Konferensi Ikilm Bonn
Dengan mengusung sejumlah isu dan tema perlindungan iklim, Indonesia tampil dengan paviliun bergengsi di arena COP 23 di Bonn. Berseberangan dengan paviliun tuan rumah Jerman dan presiden konferensi iklim COP23, Fiji.
Foto: DW/A. Setiawan
Tampil di Lokasi Bergengsi
Lokasinya tepat berseberangan dengan paviliun tuan rumah Jerman dan presiden konferensi iklim tahun 2017, Fiji. Di paviliun Indonesia juga siap digelar sejumlah pembahasan tema utama, seperti deforestasi, lahan gambut, kawasan hutan mangrove dan target penurunan emisi hingga 2020.
Foto: DW/A. Setiawan
Diresmikan Ketua Delegasi Indonesia
Paviliun yang akan menjadi wajah Indonesia selama berlangsungnya konferensi iklim COP23 di Bonn dari 6.11 hingga 17.11 diresmikan ketua delegasi Indonesia, Dr. Nur Masripatin. Selain peresmian dengan pemukulan gong, juga dilakukan acara pemotongan tumpeng. Sekitar 400 "stake holder" dari Indonesia mengikuti keonferensi iklim COP23 di Bonn, Jerman.
Foto: DW/A. Setiawan
Diramaikan Musik Angklung Nusantara
Warga Indonesia di Bonn tampil dengan musik angklung dan nyayian Indonesia mengiringi pembukaan paviliun. Pavilin Indonesia juga menampilkan berbagai produk ekspor unggulan serta kekayaaan alam.
Foto: DW/A. Setiawan
Lindungi Iklim Dengan Target Ambisius
Indonesia berkomitmen pada konvensi iklim Paris 2015 dengan target penurunan emisi CO2 secara sukarela sebesar 29 perse hingga tahun 2030. Jika program didukung dengan pendanan internasional, target penurunan emisi CO2 bahkan dinaikkan menjadi sebesar 41 persen. Sebagai negara kepulauan, Indonesia diakui rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Foto: DW/A. Setiawan
Mengerem Laju Pemanasan Global
Dunia lebih cerdas dengan aksi kreatif untuk hadapi perubahan iklim. Motto ini terutama akan diwujudkan lewat komitmen Indonesia di bidang kehutanan, pertanian, energi, pengolahan limbah dan proses industri. Indonesia yang negara kepulauan, juga terancam oleh naiknya muka air laut, sama seperti Fiji. Karena itu targetnya kini menahan kenaikan suhu hanya di kisaran 1,5°C
Foto: DW/A. Setiawan
5 foto1 | 5
• Selama tahun 2015-2016, 79 persen pendanaan digalang dari negara dimana investasi dilakukan. Tren investasi domestik yang terus meningkat menunjukkan pentingnya kerangka kebijakan dan peraturan yang kuat oleh pemerintah nasional untuk mendukung proyek-proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
• Peningkatan drastis investasi untuk energi surya dan energi angin lepas pantai memberikan harapan bahwa pergeseran dari energi berbasis fosil ke arah energi terbarukan mulai terjadi dan akan membantu dunia menahan laju pemanasan global. Meskipun demikian, investasi untuk teknologi terbarukan dan sektor lain masih jauh dari kebutuhan yang nilainya sekitar 1 triliun dollar AS per tahun. Sektor lain yang masih sangat membutuhkan investasi antara lain kelistrikan, efisiensi energi industri, transportasi, pertanian, air, pengurangan deforestasi, dan adaptasi.
• Total investasi untuk bahan bakar berbasis fosil masih jauh lebih besar dibandingkan investasi pro-iklim. Hal tersebut mengurangi efektivitas investasi hijau dan juga meningkatkan risiko dalam sistem keuangan, misalnya aset perusahaan minyak atau batubara akan menjadi "stranded asset”—aset yang mengalami penurunan atau kehilangan nilai secara prematur.
• Meskipun aliran pendanaan masih jauh dari yang dibutuhkan, laporan mencatat beberapa tren positif yang dapat mempengaruhi prospek peningkatan pendanaan iklim di tahun-tahun mendatang: Beberapa negara mulai menjabarkan rencana NDC mereka sehingga memberikan kejelasan mengenai peluang investasi untuk mewujudkannya; pemerintah dan lembaga keuangan berinisiatif untuk menghijaukan aliran keuangan publik yang ada; diskusi di seluruh industri tentang keterbukaan dalam pelaporan mengenai risiko keuangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim; dan penggunaan lebih luas berbagai jenis pendanaan campuran dan inovatif.
Transportasi Hijau Dalam Konferensi Iklim di Bonn
Konferensi iklim di Bonn COP 23 hendak menunjukkan citra hijau dan melindungi iklim. Untuk transportasi 25.000 peserta di arena konferensi yang luasnya puluhan hektar, panitia menyediakan kendaraan "zero emission".
Foto: DW/A. Setiawan
Bus Hidrogen
Energi untuk menggerakkan bus ini diperoleh lewat sel bahan bakar, yang memproduksi Hidrogen dan kemudian diolah menjadi energi listrik. Teknik ini tergolong rumit dan mahal. Tapi para peneliti Jerman berusaha menerapkannya untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca. Seperti juga e-Bus yang digunakan dalam arena konferensi, bus Hidrogen masuk kategori kendaraan "zero emission."
Foto: DW/A. Setiawan
Bus Hybrida
Sebetulnya bus ini tidak bisa dibilang memenuhi kriteria "zero emission", tapi tergolong beremisi amat rendah. Energi listrik yang digunakan menggerakan bus diperoleh dari pembakaran diesel. Padahal target sejumlah negara peserta konferensi iklim COP23 di Bonn adalah menghentikan total penggunaan bahan bakar fossil untuk kendaraan umum maupun pribadi hingga 2030 mendatang.
Foto: DW/A. Setiawan
Mobil Elektrik
Juga mobil elektrik digunakan untuk transportasi anggota delegasi maupun peserta konferensi iklim di Bonn. E-Car yan digunakan di arena COP 23 di Bonn ini hampir seluruhnya buatan Korea. Walaupun menjadi tuan rumah konferensi iklim dunia, yang salah satu targetnya mendoron e-mobility, pabrikan otomotif terkemuka di Jerman kalah langkah dari produsen mobil Korea, Cina dan Jepang.
Foto: DW/A. Setiawan
Sepeda
Alat transportasi klasik ini kembali naik daun sebagai kendaraan murah, ramah lingkungan dan sehat. Perusahaan Nextbike menyiapkan 600 sepeda yang bisa digunakan gratis selama konferensi iklim COP 23. Calon pengguna hanya perlu mengunduh app, dan akan diberi kode PIN untuk membuka kunci sepeda. Sayangnya udara dingin saat konferensi, banyak menyurutkan minat peserta untuk menggowes sepeda.
Foto: DW/A. Setiawan
Mengirim Surat Ramah Lingkungan
Perusahaan pos Jerman juga tidak mau ketinggalan tren dalam perlindungan iklim. Mobil pos ini menggunakan penggerak elektrik dan berkategori zero emission. Yang juga ditonjolkan adalah, e-car ini 100 persen buatan Jerman dan diproduksi sebuah perusahaan kecil dengan dukungan universitas terkemuka di Aachen.
Foto: DW/A. Setiawan
5 foto1 | 5
Menanti komitmen pemerintah
Perkembangan positif yang terjadi dalam investasi pro-iklim menegaskan bahwa keteguhan komitmen dan ambisi pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim perlu terus dijaga karena hal tersebut menjadi dasar pertimbangan investasi hijau oleh swasta dan masyarakat.
Kebijakan dengan target yang jelas dan ambisius ditambah dengan dukungan insentif akan memicu derasnya investasi oleh swasta dan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan yang tidak pro-iklim akan dipahami oleh sektor swasta sebagai risiko untuk investasi hijau. COP 23 di Bonn, Jerman, harus mampu mempertahankan momentum Kesepakatan Paris agar investasi hijau terus meningkat dan makin pesat.
Penulis: Suzanty Sitorus, Direktur Climate Policy Initiative Indonesia
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Fiji - Firdaus Dalam Bahaya
Fiji dulu identik dengan surga tropis. Tapi pemanasan global dan badai parah kini mengancam keberadaan kepulauan itu. Fotografer kelahiran Fiji Aaron March menangkap situasi kritis tempat lahirnya.
Foto: DW/A. March
Firdaus dalam bahaya
Terumbu karang di Pulau Mamanuca di Fiji adalah tujuan impian para penyelam. Tapi menyelam melalui air jernih dan ikan berwarna akan makin langka. Karena meningkatnya suhu samudra mematikan terumbu karang di Fiji. Hilangnya ekosistem yang rapuh berdampak buruk bagi perikanan dan pariwisata - dua sumber pendapatan utama negara ini.
Foto: DW/A. March
Erosi pantai
Dua gadis berjalan menyusuri pantai di desa Namatakula. Badai dan naiknya permukaan air laut telah menyapu sebagian besar pantai di selatan pulau Viti Levu. Pohon palem, yang membantu melindungi pantai dari erosi, telah tercabut saat air laut naik. Untuk melawan dampak perubahan iklim, penduduk desa mendirikan kelompok lingkungan dan membahas apa yang bisa mereka lakukan sendiri.
Foto: DW/A. March
Sebuah desa berjuang menghadapi perubahan iklim
Melihat permukaan air laut naik dan badai mengikis pantai, penduduk desa Namatakula memutuskan untuk bertindak. Tahun 2017 mereka mendirikan proyek pemuda masyarakat untuk menangani pembangunan ramah lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Fokusnya pada upaya pembersihan dan mekanisme penanganan, seperti penanaman pohon. Anggota proyek ini hadir di Konferensi Iklim COP23 di Bonn, Jerman.
Foto: DW/A. March
Relokasi desa
Pada Februari 2016, Topan Winston menghantam desa Vunisavisavi di pulau terbesar kedua di Fiji, membanjiri sebagian besar pantai dan menghancurkan bangunan. Sejak itu, laut terus merayap naik. Lahan desa secara rutin dibanjiri air asin dan rumah-rumah roboh ketika air pasang. Banyak keluarga meninggalkan rumah mereka atau dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi.
Foto: DW/A. March
Pindah ke tempat yang lebih tinggi
Sepesa Kilimo Waqairatavu adalah salah satu penduduk desa dari Vunisavisavi yang mempertimbangkan untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi. Anggota keluarganya pindah setelah rumah mereka rusak pada 2016. Pindah ke lokasi yang lebih tinggi dan lebih jauh dari pantai memang menawarkan perlindungan yang lebih baik.
Foto: DW/A. March
Meninggalkan tanah leluhur
Banyak tetua desa Vunisavisavi menolak meninggalkan rumah mereka. Karena percaya bahwa nenek moyang mereka telah mempercayakan tanah itu kepada mereka untuk dilindungi. Namun penduduk tertua, Maria Lolou Waqairatavu yang berusia 85 tahun, memutuskan untuk pindah pada Mei 2016. Di foto ini dia bersama cucunya di rumah baru yang dibiayai dari bantuan pembangunan AS.
Foto: DW/A. March
Hilangnya atraksi wisata
Coral Coast adalah tujuan liburan yang populer di pulau Viti Levu. Terkenal dengan terumbu karangnya yang luas dan dangkal, yang mudah dijangkau dari pantai. Tapi kenaikan suhu air laut telah merusak terumbu, memusnahkannya di beberapa bagian. Industri pariwisata khawatir, tanpa karang wisatawan tidak akan datang lagi.
Foto: DW/A. March
Pulau Fantasi menggantikan pulau yang lama
Seiring hilangnya terumbu karang hilang, para pengembang Fiji mulai mencari cara untuk membuat wisatawan datang lagi. Salah satu solusinya adalah pulau buatan. Contohnya Pulau Fantasi dari reklamasi tanah dari laut. Dengan membuat saluran besar dan mengubah "lahan rawa kurang produktif" menjadi lahan tepi pantai, proyek ini berhasil menarik serangkaian resor bintang lima. Ed.: hp/ml