1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjelang Referendum Konstitusi Mesir

Cornelia Wegerhoff14 Desember 2012

Pemerintah Mesir tetap melaksanakan referendum sekalipun oposisi menentang. Banyak warga miskin yang mendukung rancangan konstitusi baru karena percaya pada Presiden Morsi dan Ikhwanul Muslimin.

Kawasan miskin di Kairo
Kawasan miskin di KairoFoto: AFP/Getty Images

Umm Mohammed duduk di pinggiran trotoir di daerah Imbaba. Bagian bawah baju panjangnya sudah berwarna hitam terkena jalanan yang kotor. Imbaba adalah kawasan kumuh di Kairo. Sampah terlihat berserakan. Tidak jauh dari situ, air kotor mengalir keluar dari rumah-rumah tua dan tidak terawat. Umm Mohammed menyusun koran-korannya dengan rapih di atas selembar karton. Selain menjual koran, sejak beberapa hari wanita ini juga menjual buku kecil yang berisi rancangan konstitusi. Para penjual koran lain juga menjajakan buku ini. ”Orang-orang membeli buku itu untuk mengerti apa yang sedang didiskusikan”, kata Umm Mohammed. ”Jadi mereka tahu bahwa semua itu baik dan benar.

Penjual koran Umm Mohammed belum pernah membaca rancangan konstitusi itu. Ia termasuk salah satu dari 40 persen warga Mesir yang tidak bisa membaca. Di lembar formulir suara dalam referendum ada simbol dengan warna khusus untuk membantu pemilih yang tidak bisa membaca. Umm Mohammed sudah tahu apa yang akan ia pilih. Ia akan memberi suara ”Ya”. Alasan mengapa ia mengambil keputusan itu: ”supaya negara ini jadi lebih baik”. Ia mengatakan, presiden Morsi adalah orang yang baik, yang benar-benar tahu apa artinya Islam. Penentang Morsi hanya menyebarkan rumor yang memprovokasi kekacauan. Ia yakin, Morsi bermaksud baik untuk rakyat.

Kemiskinan dan Buta Aksara

Presiden Morsi memang populer di Imbaba. Sedangkan para penentangnya tidak disukai. Kawasan kumuh ini adalah salah satu kawasan penting bagi kubu islamis. Ini kawasan miskin, berpendidikan rendah, namun sangat relijius. Morsi dan kelompok Ikhwanul Muslimin tidak punya kesulitan mengumpulkan pendukung dan meyakinkan mereka agar menerima rancangan konstitusi dan Syariah Islam sebagai landasan hukum. Kelompok Salafi menolak diskusi tentang konstitusi dan menyatakan bahwa ini adalah hukum Tuhan. Mereka menuduh para penentang rancangan konstitusi hanya memperpanjang krisis ekonomi yang melanda Mesir dengan aksi protesnya. Hal yang menurut mereka tidak perlu.

Demonstrasi mendukung referendum konstitusiFoto: Matthias Sailer

Kami tidak mau ada bentrokan. Kami ingin hidup tenang”, kata seorang pria yang mengeluh tentang rendahnya gaji dan harga pangan yang terus naik. Ia akan memberi suara setuju pada rancangan konstitusi yang diajukan kelompok Islam. Ia percaya, hanya dengan langkah itu situasi ekonomi bisa membaik. Seorang pekerja sampah yang baru saja muncul setuju dengan pandangan itu. ”Saya ingin ada konstitusi baru. Sudah cukuplah semua diskusi dan perang satu sama lain. Sekarang harus ada ketertiban di negara ini.” Ia juga mengeluh karena gajinya terlalu kecil. Hanya sekitar 40 Euro sebulan. Ia punya masalah memberi makan keluarganya, kata pekerja sampah itu. Anak perempuannya merencanakan pernikahan, tapi ia sama sekali tidak bisa membiayai.

Media Asing Sebagai Bagian Konspirasi

Di Imbaba, orang harus mencari cukup lama untuk menemukan seseorang yang menolak rancangan konstitusi, misalnya seorang dokter. Ia menyadari bahwa pandangannya hanya minoritas di kawasan miskin ini. Ia menuduh kelompok islamis menyogok pemilih. ”Kalau diberi hadiah cokelat, satu kilo gula dan satu kilo mentega, tentu saja mereka akan menjawab setuju,” kata dokter ini. Selain itu, kelompok pro referendum berargumentasi, setuju terhadap referendum adalah sejalan dengan Islam. Sang dokter berkeluh, „seharusnya mereka tidak bercerita pada orang-orang, bahwa yang setuju dengan referendum akan masuk sorga“. Ia terlibat debat dengan seorang perempuan pendukung referendum. Sang perempuan balas menjawab: ”Supaya Mesir bergerak maju, harus ada Syariah.” Tapi sang pria bertanya, apa hubungannya Syariah dengan kemajuan ekonomi. Warga Mesir sampai sekarang juga bukan orang kafir, tambahnya.

Perdebatan di tengah jalan langsung menarik perhatian. Seorang wanita lain yang sampai saat itu tidak ikut perdebatan, mengancam akan memanggil polisi. Dari reporter warga asing dia meminta alat perekam dan mikrofon. Ia mengatakan, sebagai warga Mesir, sudah menjadi kewajibannya melakukan hal itu. Kelompok islamis berulangkali menerangkan, media asing adalah bagian dari konspirasi menentang presiden Morsi. Propaganda ini tampaknya berhasil. Suasana di jalan mulai tegang. Beberapa anak muda dengan janggut muncul. Mereka melarang para pejalan kaki berbicara. Mereka sendiri menolak memberikan wawancara.