Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memprediksi WHO bakal menaikkan transmisi atau penularan COVID-19 di Indonesia ke level 2. Namun, pemerintah memastikan akan terus memonitor dengan ketat perkembangan kasus harian.
Iklan
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin memperkirakan bakal ada kenaikan COVID-19 dalam beberapa waktu ke depan. Bahkan level transmisi atau penularan juga mengalami peningkatan.
"Kan kita ada level 1, level 2, seperti PPKM lah, tetapi ini standarnya WHO. Itu di 20 kasus per 100 ribu penduduk per hari," terang Budi di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (16/06).
"Itu kalau diartikan itu untuk penduduk Indonesia 7.700 per hari. Itu adalah threshold pertama, di mana level transmisi berdasarkan WHO Indonesia akan naik ke level 2," sambung dia.
Oleh karenanya, Menkes Budi menyebut pemerintah bakal terus memantau seberapa signifikan peningkatan yang terjadi. Ia juga mengingatkan untuk selalu mengenakan masker, bahkan saat di luar ruangan jika memang ada kerumunan atau merasakan gejala COVID-19.
"Pesan Pak Presiden itu yang harus kita laksanakan," katanya.
Kabar baiknya, kenaikan kasus COVID-19 kali ini tidak akan berlangsung lama. Menkes meyakini, tren penurunan akan mulai terjadi menjelang bulan Agustus.
"Jadi kita percaya bahwa nanti akan ada kenaikan, kira-kira maksimalnya mungkin 20 ribu per hari satu bulan setelah (Omicron BA.4 dan BA.5) diidentifikasi, jadi sekitar minggu ketiga minggu keempat Juli dan kemudian nanti akan turun kembali," katanya.
Waspadai 10 Varian SARS-CoV-2 Hasil Mutasi
Pertama kali terdeteksi di Cina akhir tahun 2019, COVID-19 terus bermutasi, 10 varian saat ini menjadi Variant of Concern (VoC) yang dicemaskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Foto: Waldemar Thaut/Zoonar/picture alliance
Varian Alpha mutasi dari Inggris
Varian dengan nama ilmiah B.1.1.7 ini terdeteksi pertama kali di Kent, Inggris Raya. Beberapa peneliti menganggap varian ini jauh lebih menular dibanding virus asli SARS-CoV-2 di Wuhan, Cina. Peneliti Lembaga Molekuler Eijkman Prof. Amin Subandrio sebut varian ini sudah ditemukan pada awal Maret 2021 di Jakarta.
Foto: Hasan Esen/AA/picture alliance
B.1.351 atau Varian Beta
Mutasi jenis ini ditemukan pertama kali di Afrika Selatan pada Oktober 2021. Varian ini disebut-sebut 50% lebih menular. Vaksinasi menggunakan Novavax dan Johnson & Johnson dianggap tidak efektif menghadapi varian ini. Delirium atau kebingungan menjadi salah satu gejala varian Beta.
Foto: Nyasha Handib/AA/picture alliance
Mutasi P.1 di Brasil
Varian ini diberi nama varian Gamma oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mutasi berasal dari kota Manaus, provinsi Amazonas, Brasil. Virus ini pertama kali terdeteksi oleh ilmuwan Jepang yang meneliti sampel seorang warga yang pulang dari Manaus pada Desember 2020.
Foto: Bruna Prado/AP Photo/picture alliance
Delta, mutasi paling menular asal India
Dengan nama B.1.167.2, Delta dianggap 50% lebih menular dibanding varian Alpha yang disebut 50% lebih menular dari virus aslinya. Varian ini pertama kali ditemukan di India pada Oktober 2020. Mutasi ini memicu gelombang kedua COVID-19 di India.
Foto: Satyajit Shaw/DW
Mutasi dari Amerika latin, Lambda
Bernama ilmiah C.37, Lambda pertama kali terdeteksi di Peru pada Agustus 2020. Pada 15 Juni 2021, WHO menetapkannya sebagai varian yang menjadi perhatian. Tercatat 81% kasus aktif di Peru pada musim semi 2021 akibat varian ini.
Foto: Ernesto Benavides/Getty Images/AFP
Mutasi varian Kappa asal India
Pada Oktober 2020, terdeteksi varian 1.167.2 di India. Gejalanya tidak berbeda jauh dengan gejala varian asli COVID-19. Namun, pakar epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman, menyebut gejala campak muncul pada awal infeksi varian ini.
Foto: Adnan Abidi/REUTERS
Eta, varian yang sama dengan Gamma dan Beta
Varian ini membawa mutasi E484-K yang juga ditemukan di varian Gamma dan Beta. Kasus pertama varian ini dlaporkan di Inggris Raya dan Nigeria pada Desember 2020. Ditemukan di 70 negara di dunia, Kanada mencatat rekor 1.415 kasus Eta pada Juli 2021.
Foto: Adeyinka Yusuf/AA/picture alliance
Varian asal New York, B.1.526
Iota merupakan satu-satunya Variant of Concern (VoC) WHO di Amerika Serikat. Dideteksi pada November 2020, jenis virus ini disebut lebih menular dari varian sebelumnya. Para peneliti menyebut varian Iota meningkatkan angka kematian 62-82% bagi para penderita COVID-19 yang berusia lebih tua.
Foto: Wang Ying/Xinhua/imago images
Varian Mu asal Kolumbia di awal tahun 2021
Dengan nama ilmiah B.1.621, varian Mu ditemukan pertama kali di Kolumbia pada Januari 2021.Varian ini sempat dikhawatirkan dapat kebal dari vaksin. Bahkan WHO memperingatkan varian ini memiliki mutasi yang lebih tahan vaksin.
Foto: AGUSTIN MARCARIAN/REUTERS
Ditemukan di Afrika Selatan, Omicron lebih gampang menular
Varian ini ditemukan di Afrika Selatan pada November 2021. Ketua Asosiasi Medis Afrika Selatan sebut gejala dari varian ini sangat ringan. Dilaporkan tidak ada gejala anosmia pada varian ini. Namun, 500 kali lebih cepat menyebar dibanding varian lain. (Berbagai sumber) (mh/ha)
Foto: Fleig/Eibner-Pressefoto/picture alliance
10 foto1 | 10
Protokol kesehatan sudah mulai longgar
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Maxi Rein Rondonuwu menuding meningkatnya mobilitas dan menurunnya kepatuhan protokol kesehatan sebagai biang kerok kenaikan COVID-19.
"Penyebabnya protokol kesehatan sudah mulai longgar," tegasnya saat dihubungi detikcom Kamis (16/06).
Berdasarkan data surveilans genomik subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, kasus transmisi atau penularan lokal sudah terjadi setidaknya di tiga wilayah yakni Banten, DKI Jakarta, hingga Jawa Barat.
Selain itu, kemunculan subvarian BA.4 dan BA.5 disebutnya juga turut mempengaruhi tren kenaikan. Karenanya, ia menyarankan untuk selalu mengenakan masker termasuk di luar ruangan jika memang ada kerumunan.