Hubungan Memburuk, Menlu AS Pompeo Temui Diplomat Top Cina
18 Juni 2020
Pertemuan antara Menlu Mike Pompeo dan diplomat top Yang Jiechi di Hawaii pada Rabu (17/06) berlangsung saat hubungan kedua negara dinilai telah mencapai titik paling rendah.
Iklan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menggelar pertemuan dengan diplomat top Cina, Yang Jiechi, di Hawaii pada hari Rabu (17/06), demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS. Pertemuan ini berlangsung di tengah makin memburuknya hubungan antara kedua negara kekuatan ekonomi terkuat di dunia itu.
Surat kabar resmi Partai Komunis Cina, The People’s Daily, melaporkan seperti dikutip dari kantor berita Reuters bahwa kedua pihak telah menegaskan posisi masing-masing dan setuju untuk mengambil tindakan yang diperlukan, guna mengimplementasikan kesepakatan yang telah dicapai oleh Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump.
Tidak disebutkan secara detail hal-hal yang dibahas selama pertemuan yang berlangsung di Honolulu tersebut. Namun dalam pertemuan itu Yang Jiechi mengatakan kepada Pompeo bahwa kerja sama antara kedua negara adalah satu-satunya pilihan yang tepat, kata Kementerian Luar Negeri Cina dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Kamis (18/06).
Diplomat top Cina itu mengatakan kepada menlu AS, bahwa Washington perlu menghormati posisi Beijing dalam masalah-masalah utama, menghentikan intervensi dalam masalah-masalah seperti Hong Kong, Taiwan dan Xinjiang serta berupaya memperbaiki hubungan bilateral.
Sementara Pompeo menekankan "perlunya kesepakatan timbal balik di antara kedua negara dalam bidang interaksi komersial, keamanan, dan diplomatik," ungkap juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus dalam sebuah pernyataan.
"Dia juga menekankan perlunya transparansi penuh dan pemberian informasi untuk memerangi pandemi COVID-19 yang sedang berkecamuk saat ini dan mencegah wabah di masa depan."
Hubungan diplomatik di titik nadir
Saat pertemuan berlangsung, Presiden Trump secara terpisah menandatangani undang-undang yang menyerukan dijatuhkannya sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab atas penindasan muslim Uighur di wilayah Xinjiang, Cina.
Para ahli mengatakan bahwa hubungan AS-Cina telah mencapai titik terendah dalam beberapa tahun terakhir. Pada pertengahan Mei, Presiden Trump bahkan sempat melontarkan ancaman untuk memutuskan hubungan dengan Beijing.
Kedua negara saat ini bersilang pendapat tentang penanganan pandemi virus corona. Pertemuan ini menjadi kontak pertama yang dilakukan Pompeo dengan Yang Jiechi sejak mereka membahas virus corona melalui telepon pada 15 April lalu. Pompeo dikenal sangat keras mengkritik kebijakan Beijing terkait penanganan penyebaran wabah corona.
Ketegangan antara dua raksasa ekonomi ini juga makin parah karena langkah Cina yang memberlakukan undang-undang keamanan baru di Hong Kong, serta terkaitsituasi di semenanjung Korea. Kedua negara sama-sama khawatir pada program nuklir Korea Utara.
ae/as (Reuters)
Hong Kong: 20 Tahun Setelah Dikembalikan ke Cina
Hong Kong dikembalikan ke bawah kekuasaan Cina 20 tahun lalu, setelah dikuasai Inggris selama 156 tahun. Sejarah kawasan itu selama ini sudah ditandai sejumlah aksi protes terhadap Cina.
Foto: Reuters/B. Yip
1997: Momentum Bersejarah
Penyerahan Hong Kong dari Inggris kepada Cina terjadi tanggal 1 Juli 1997. Wilayah Hong Kong menjadi koloni Inggris tahun 1842 dan dikuasai Jepang selama Perang Dunia II. Setelah Hong Kong kembali ke Cina, situasi politiknya disebut "satu negara, dua sistem."
Foto: Reuters/D. Martinez
1999: Tidak Ada Reuni Keluarga
Keluarga-keluarga yang terpisah akibat perbatasan Hong Kong berharap akan bisa bersatu lagi, saat Hong Kong kembali ke Cina. Tetapi karena adanya kuota, hanya 150 orang Cina boleh tinggal di Hong Kong, banyak yang kecewa. Foto: Aksi protes warga Cina (1999) setelah permintaan izin tinggal ditolak oleh Hong Kong.
Foto: Reuters/B. Yip
2002: Harapan Yang Kandas
Masalah izin tinggal muncul lagi April 2002 ketika Hong Kong mulai mendeportasi sekitar 4.000 warga Cina yang "kalah perang" untuk dapat izin tinggal di daerah itu. Keluarga-keluarga yang melancarkan aksi protes di lapangan utama digiring secara paksa.
Foto: Reuters/K. Cheung
2003: Pandemi SARS
2003, virus SARS yang sangat mudah menular mencengkeram Hong Kong. Maret tahun itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan adanya pandemi di kawasan itu. Pria ini (foto) hadir dalam upacara penguburan Dokter Tse Yuen-man bulan Mei. Dr. Tse secara sukarela menangani pasien SARS dan tertular virus itu. Hong Kong dinyatakan bebas SARS Juni 2003. Hampir 300 orang tewas akibat penyakit ini.
Foto: Reuters/B. Yip
2004: Demonstrasi bagi Demokrasi
Politik Cina "satu negara, dua sistem" kerap sebabkan ketegangan. 2004, dalam peringatan ke tujuh penyerahan kembali Hong Kong, ratusan ribu orang memprotes, dan menuntut reformasi politik. Mereka menyerukan demokrasi dan pemilihan pemimpin Hong Kong berikutnya.
Foto: Reuters/B. Yip
2008: Tidak Ada Tempat Tinggal
Harga properti yang sangat tinggi sebabkan biaya sewa yang juga tinggi. 2008 rasanya tak aneh jika melihat orang seperti Kong Siu-kau tinggal di apa yang disebut "rumah kandang." Besarnya 1,4 m persegi, dikelilingi kawat besi, dan dalam satu ruang biasanya ada delapan. Sekarang sekitar 200.000 orang menyebut sebuah "kandang" atau satu tempat tidur di apartemen yang disewa bersama, sebagai rumah.
Foto: Reuters/V. Fraile
2009: Mengingat Lapangan Tiananmen
Saat peringatan 20 tahun pembantaian brutal pemerintah Cina di Lapangan Tiananmen (4 Juni 1989), penduduk Hong Kong berkumpul dan menyalakan lilin di Victoria Park. Ini menunjukkan perbedaan besar antara Hong Kong dan Cina. Di Cina pembantaian atas orang-orang dan mahasiswa yang prodemokrasi hanya disebut Insiden Empat Juni.
Foto: Reuters/A. Tam
2014: Aksi Occupy Central
Sejak September 2014, protes skala besar yang menuntut lebih luasnya otonomi mencengkeram Hong Kong selama lebih dari dua bulan. Ketika itu Beijing mengumumkan Cina akan memutuskan calon pemimpin eksekutif Hong Kong dalam pemilihan 2017. Aksi protes disebut Revolusi Payung, karena demonstran menggunakan payung untuk melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata.
Foto: Reuters/T. Siu
2015: Olah Raga Yang Penuh Politik
Kurang dari setahun setelah Occupy Central berakhir, Cina bertanding lawan Hong Kong dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia sepak bola, 17 November 2015. Para pendukung Cina tidak disambut di Hong Kong. Para fans Hong Kong mengejek dan berteriak-teriak ketika lagu kebangsaan Cina dimainkan, dan mengangkat poster bertuliskan "Hong Kong bukan Cina." Pertandingan berakhir 0-0.
Foto: Reuters/B. Yip
2016: Kekerasan Baru
February 2016 tindakan brutal polisi Hong Kong kembali jadi kepala berita. Pihak berwenang berusaha singkirkan pedagang ilegal di jalanan dari kawasan pemukiman kaum buruh di Hong Kong. Mereka mengirim polisi anti huru-hara, yang menggunakan pentungan dan semprotan merica. Bentrokan ini yang terbesar setelah Revolusi Payung 2014. Penulis: Carla Bleiker (ml/hp)