AS dan ASEAN sebelumnya mendesak Cina untuk menghentikan pembangunan. Awalnya, Cina menolak untuk mendiskusikan hal yang menyebabkan keresahan negara tetangganya, dalam forum keamanan regional.
Iklan
Rabu (05/08), dalam pertemuan menteri-menteri luar negeri ASEAN, pemerintah Cina menyatakan telah menghentikan pembangunan di Laut Cina Selatan. Cina dan ASEAN sepakat untuk mempercepat konsultasi akan kode etik bagi Laut Cina Selatan.
"Cina sudah berhenti", ujar Menlu Cina Wang Yi. "Silahkan melihatnya sendiri dari udara."
Sebelumnya, Cina sebabkan ketegangan di Asia Tenggara dengan memperluas sejumlah terumbu karang dan mendirikan pos-pos militer di atasnya, untuk memperkuat klaimnya atas salah satu perairan paling komersial di dunia.
AS dan negara-negara Asia Tenggara telah menyerukan kepada Beijing untuk menghentikan aktivitas tersebut, yang mendominasi diskusi dalam forum keamanan regional. Tetapi Cina pada awalnya menolak.
Rabu (05/08) Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengatakan di Kuala Lumpur, dalam forum keamanan regional, bahwa negaranya juga ingin mendiskusikan masalah tersebut.
“Kami ingin menjaga keamanan jalur laut dan wilayah penangkapan ikan, dan kami ingin agar pertikaian di daerah itu diselesaikan dengan damai, dan berdasarkan hukum internasional", kata Kerry.
Cina harus "menciptakan tempat untuk diplomasi"
Seorang pejabat tinggi AS mengatakan, sebelumnya Kerry telah menyatakan kepada Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dalam sebuah pertemuan tertutup, bahwa pelonggaran ketegangan akan diutamakan. Menurut pejabat tinggi AS tersebut, Kerry menyatakan keresahan AS tentang ketegangan yang terus meningkat di Laut Cina Selatan.
Kerry mengatakan kepada para menteri ASEAN, pertemuannya dengan Wang berjalan baik, dan berharap dalam forum yang berlangsung dua hari, "Bersama-sama, kita akan menemukan jalan untuk mencapai keberhasilan."
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.
Foto: U.S. Navy/Anna Wade/Released
9 foto1 | 9
Namun demikian, Wang mengatakan Selasa, bahwa aktivitas Beijing selama ini dilakukan di wilayah Cina. Selain itu, pihak lain juga tidak boleh melakukan reklamasi wilayah.
Kekhawatiran soal wilayah laut tidak terkontrol
Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei telah bercekcok tentang kepemilikan dan kontrol di wilayah Laut Cina Selatan, dalam konflik yang sudah berjalan beberapa dekade.
Cina mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan, sementara Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunei juga mengklaim kawasan yang sama.
Ketegangan meningkat tajam akhir tahun lalu, setelah Cina mulai membangun pulau-pulau artifisial di Kepulauan Spratly. AS dan negara-negara ASEAN khawatir ini bisa jadi kendala bagi kebebasan navigasi di wilayah yang jadi transit bagi angkutan minyak dan perdagangan dunia