Jerman: Trump Ikut Memicu Krisis Diplomasi Arab Saudi-Qatar
7 Juni 2017
Menlu Jerman Sigmar Gabriel menuduh Presiden AS Donald Trump turut memicu krisis di Timur Tengah dan mempertaruhkan perlombaan senjata baru. AS baru-baru ini menyepakati perdagangan senjata dengan Arab Saudi.
Iklan
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengatakan kepada harian ekonomi Jerman "Handelsblatt", apa yang disebutnya "Trumpisasi" interaksi politik wilayah Timur Tengah yang menimbulkan situasi sangat berbahaya.
"Kontrak militer raksasa Presiden Trump baru-baru ini dengan monarki di Teluk telah meningkatkan risiko spiral perdagangan senjata baru," kata Gabriel dalam wawancara yang dirilis hari Rabu (7/6).
Pernyataan Gabriel dipublikasi menjelang kunjungan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Abdel al-Jubeir ke Berlin hari ini. Gabriel menyatakan, langkah pemutusan hubungan yang dimotori Arab Saudi intinya adalah "untuk mengisolasi Qatar dan menekannya secara eksistensial."
"Itu adalah kebijakan yang benar-benar salah dan tentunya bukan garis kebijakan Jerman," katanya.
Sigmar Gabriel menjelaskan, Jerman adalah bagian dari kelompok enam negara yang telah mendorong kesepakatan de-eskalasi nuklir tahun 2015 antara rival regional Iran dan Arab Saudi untuk mencegah perlombaan senjata di Timur Tengah seperti yang dikhawatirkan sekarang.
Menlu Jerman memperingatkan: "Konflik yang mendalam antara negara-negara tetangga ini adalah hal terakhir yang kita butuhkan."
Presiden AS Donald Trump hari Selasa (6/6) menulis di Twitter dan mengklaim bahwa pidatonya ketika berkunjung ke Arab Saudi baru-baru ini yang telah mendorong negara itu kemudian mengisolasi Qatar atas tuduhan mendukung ekstremisme Islam.
"Mungkin ini akan menjadi awal dari akhir horor terorisme," tulis Trump selanjutnya.
Sebaliknya, Pentagon hari Selasa berusaha meredakan situasi dan memuji Qatar sebagai tuan rumah yang baik bagi pangkalan udara terbesar AS di Timur Tengah.
"Mereka adalah tuan rumah bagi basis penting kami di al Udeid," kata juru bicara Pentagon Kapten Angkatan Laut Jeff Davies. Lebih dari 11.000 pasukan AS dan koalisinya bertugas di al Udeid Air Base dengan lebih 100 pesawat tempur.
"Kami terus berterima kasih kepada Qatar atas dukungan mereka sejak lama untuk kehadiran kami, dan komitmen tetap mereka terhadap keamanan regional," kata Davis. Dia menambahkan, Amerika Serikat tidak punya rencana mengubah kehadirannya di Qatar.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir yang berkunjung ke Paris hari Selasa (6/6) mengatakan, Qatar yang kaya energi "harus memilih apakah ia harus bergerak ke satu arah atau ke arah yang lain." Dia menuntut Doha mengakhiri dukungannya terhadap kelompok militan Palestina Hamas dan kelompok fundamentalis Ikhwanul Muslimin.
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir hari Senin (5/6) mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar - penghasil gas alam cair terbesar di dunia. Pada hari Selasa, Yordania mengatakan bahwa pihaknya akan mengurangi jumlah perwakilan diplomatiknya di Qatar dan membatalkan ijin untuk kantor televisi Al Jazeera di Yordania.
Arab Saudi hari Selasa juga mengumumkan penutupan semua perwakilan maskapai penerbangan Qatar Airlines di wilayahnya dan memberi waktu 48 jam. Penumpang yang telah membeli tiket dari Qatar Airlines dijanjikan penggantian biaya tiket.
Qatar: Musuh Di Jantung Teluk?
Perpecahan antara Qatar dan negara Teluk memuncak pada isu Iran. Tapi perselisihan telah lahir sejak beberapa dekade sebelumnya, menyusul sikap Mesir dan Arab Saudi yang ingin mendominasi haluan politik di Timur Tengah.
Foto: Getty Images/J. Ernst
Berawal dari Pidato Sang Emir
Perselisihan Qatar dengan negara-negara Teluk telah berlangsung sejak dua dekade silam. Namun pidato Emir Tamim bin Hamad al-Thani pada Mei 2017 yang secara terang-terangan menyatakan dukungan terhadap Iran, Hamas dan Ikhwanul Muslimin menutup pintu rekonsiliasi antara lima negara minyak di Teluk Persia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/O. Faisal
Kebohongan Lewat Media
Seakan belum cukup, kantor berita pemerintah Qatar, QNA, lalu menerbitkan berita yang menyebut Doha menarik duta besar dari Arab Saudi, Bahrain, Mesir dan Uni Emirat Arab setelah menemukan adanya "konspirasi" melawan Qatar. Meski dibantah pemerintah di Doha, laporan tersebut kadung memicu ketegangan politik di Teluk.
Foto: Getty Images/J. Ernst
Eskalasi di Arab Saudi
Terutama kritik Tamin al-Thani terhadap sentimen anti Iran di Timur Tengah dianggap lancang. Setelah kunjungan Donald Trump ke Riyadh, Arab Saudi berusaha menekan negara-negara Timur Tengah yang masih menjalin hubungan baik dengan Iran. Trump sempat bertemu dengan Hamad al Thani di sela-sela kunjungannya di Riyadh. Tapi tidak jelas apakah keduanya membahas Iran dan terorisme
Foto: Getty Images/AFP/M. Ngan
Dukungan Samar Terorisme?
Perpecahan di Teluk tidak terlepas dari kebijakan luar negeri Qatar. Sejak lama negeri kecil itu bersitegang dengan AS meski bekerjasama erat di bidang militer. Washington terutama mengritik lemahnya Undang-undang anti pendanaan terorisme dan luasnya dukungan di Qatar terhadap kelompok jihadis Islam di kawasan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M.Brabu
Kisruh di Palestina
Qatar sejak lama juga menjalin hubungan erat dengan Hamas. Deklarasi Hamas pada Mei 2017 yang mengubah haluan perjuangan menjadi lebih moderat juga diyakini dibuat atas desakan Doha yang ingin menjauhkan citra negara penyokong terorisme. Pada dasarnya negara Teluk lebih suka menjalin hubungan dengan Fatah di Tepi Barat Yordan ketimbang Hamas yang bertautan dengan Ikhwanul Muslimin.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Saber
Antara Kudeta dan Kudeta
Keretakan antara Qatar dan negara-negara Arab dimulai pada kudeta damai Sheikh Hamad bin Khalifa terhadap ayahnya pada Juni 1995. Sang ayah, Emir Khalifa bin Hamad, adalah penguasa kesayangan Arab Saudi dan Mesir. Namun puteranya Hamad lebih memilih jalur independen dalam meracik politik luar negeri. Tahun 1996 sebuah kudeta yang diduga didalangi Mesir dan Arab Saudi gagal menjatuhkan Sykeih Hamad
Foto: picture-alliance/dpa
Independensi Politik
Sejak itu kebijakan luar negeri Qatar sering bersebrangan dengan Arab Saudi. Doha antara lain menjalin hubungan erat dengan Israel dan Iran (pada gambar tampak Sykeih Hamad bin Khalifa bersama bekas Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad). Hal tersebut dianggap duri dalam daging oleh Riyadh. Namun dukungan Qatar terhadap gerakan Islam garis keras di Timur Tengah mulai terlihat selama Musim Semi Arab.
Foto: Ilna
Hujan Duit buat Konflik
Doha tidak hanya menyokong Dewan Transisi Nasional di Libya, tetapi juga mendanai kelompok pemberontak Suriah dengan dana sebesar tiga milyar Dollar AS pada dua tahun pertama perang saudara. Financial Times juga melaporkan Doha menawarkan paket evakuasi senilai 50.000 Dollar AS untuk keluarga para gerilayawan.
Foto: Fabio Bucciarelli, AFP
Gagalnya Manuver Riyadh
Negara-negara Teluk pernah berupaya menghentikan kebijakan Doha pada 2014. Namun saat itu pemerintah Qatar mengklaim dukungan terhadap kelompok bersenjata di Timur Tengah berasal dari masyarakat, bukan pemerintah. Antara tahun 2002 hingga 2008 Arab Saudi bahkan menarik duta besarnya untuk memaksa Doha mengubah haluan. Namun manuver tersebut gagal menggerakkan Qatar.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Arus Balik di Doha?
Pengamat yakin Qatar yang lemah harus memutar haluan politik luar negerinya agar selaras dengan keinginan AS dan Arab Saudi. Washington antara lain bisa memaksa Doha untuk mencekal petinggi Hamas dan menghentikan aliran dana buat kelompok bersenjata di Suriah dan Libya. Sebaliknya hal ini akan mengakhiri independensi politik luar negeri Qatar untuk waktu lama. (Sumber: Reuters, AP, BBC, Aljazeera)