Menlu RI Retno Marsudi mengajak masyarakat internasional untuk menghentikan konflik di Myanmar sehingga pengungsi Rohingya yang tersebar di berbagai negara bisa kembali ke rumahnya.
Iklan
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI) Retno Lestari Priansari Marsudi berbicara mengenai pengembalian pengungsi Rohingya ke Myanmar. Agar Rohingya dapat kembali ke negara asalnya itu, tentu dunia perlu terlebih dahulu membikin Myanmar menjadi aman.
Hal ini disampaikan Menlu Retno di acara Global Refugee Forum (GRF) di Jenewa, Rabu (13/12), dilansir situs web Kemlu RI, Kamis (14/12).
Menurut Retno, gelombang pengungsi dunia disebabkan oleh peperangan dan konflik. Akar masalah berupa perang dan konflik harus diselesaikan. Itu berlaku untuk konteks Jalur Gaza Palestina maupun Rohingya.
"Sementara itu, di Myanmar, kekerasan terus terjadi yang memaksa kaum Rohingya meninggalkan rumah mereka, yaitu Myanmar," kata Retno dalam press briefing.
Sebagaimana diketahui, Indonesia kini juga kedatangan gelombang pengungsi Rohingya, terutama ke Aceh. Masalah kedatangan pengungsi Rohingya ini menjadi perhatian serius negara.
"Karena itu, saya mengajak masyarakat internasional bekerja sama untuk menghentikan konflik dan memulihkan demokrasi di Myanmar, sehingga pengungsi Rohingya dapat kembali ke rumah mereka," lanjut Retno, menceritakan soal hal yang dia sampaikan di forum yang diikuti 140 negara itu.
Ada Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, dibikin di Kantor Eropa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, 2 sampai 25 Juli 1951. Indonesia tidak meratifikasi konvensi, tidak pula meratifikasi Protokol Pengungsi 1967. Maka Indonesia bukanlah negara tujuan pengungsi, melainkan negara transit untuk pengungsi saja.
Adapun negara tujuan (kadang disebut pula sebagai negara ketiga/negara penerima) pengungsi adalah negara-negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967, di antaranya Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, hingga Kanada.
Proses memukimkan pengungsi dari luar negeri ke negara tujuan disebut sebagai 'resettlement'. Sayangnya, proses resettlement pada era ini kurang cepat.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Retno mengingatkan negara-negara tujuan pengungsi untuk lebih 'sat-set' menampung pengungsi. Menlu Retno mengkritik sikap negara-negara tujuan akhir-akhir ini yang ogah menerima pengungsi, padahal mereka meratifikasi Konvensi 1951.
"Selain itu, saya juga menekankan kewajiban menerima resettlement bagi negara pihak Konvensi Pengungsi. Saya sampaikan proses resettlement akhir-akhir ini berjalan dengan sangat lamban. Banyak negara pihak bahkan menutup pintu mereka untuk para pengungsi," sorot Retno.
Masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melatarbelakangi mobilisasi pengungsi juga menjadi perhatian Retno. Dia menggalang kerja sama dunia untuk mengatasi masalah perdagangan manusia.
Situasi di Gaza Palestina menjadi topik nomor satu. Majelis Umum PBB memang sudah menghasilkan resolusi gencatan senjata, namun Israel berpotensi terus menyerang.
"Saya ingatkan bahwa kita semua memiliki kewajiban yang sama untuk menghentikan perang dan konflik, dan menghormati hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional. Kewajiban ini juga berlaku untuk Palestina. Rakyat Palestina telah terusir dari rumah dan tanah mereka dan mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, tanah mereka direbut dan diambil," tutur Retno. (ha)