Dalam menyelesaikan persoalan yang dalami etnis Rohingya, masyarakat internasional perlu membantu Myanmar yang menghadapi berbagai tantangan.
Iklan
Menteri Luar negeri RI, Retno Marsudi di sela-sela G20 juga berbicara dalam pertemuan Menteri Luar Negeri MIKTA. Sebagai pembicara utama, dalam kesempatan ini Menteri Luar Negeri RI menyampaikan perkembangan terakhir terkait konflik di negara bagian Rakhine, Myanmar. Negara anggota ASEAN ini menghadapi situasi dan tantangan yang kompleks.
Tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Myanmar amat beragam, termasuk konflik komunal, kemiskinan, dan proses demokrasi dan reformasi yang masih seumur jagung serta ancaman yang ditimbulkan oleh kejahatan terorganisir transnasional. "Dengan masalah serumit itu, masyarakat internasional perlu untuk membantu Myanmar, yang bila mengalami kegagalan akan memiliki dampak negatif bagi keamanan dan stabilitas kawasan," demikian pernyataan kementerian luar negeri di situs web-nya.
Rohingya: Genosida di Pelupuk Mata
Minoritas muslim di Myanmar hidup di bawah kezaliman mayoritas. Mereka terusir dari rumah sendiri, tidak memiliki kewarganegaraan dan selamanya dinistakan. Inilah potret kelompok etnis paling tertindas di dunia saat ini.
Foto: AP
Pelarian Kaum Terbuang
Sering disebut sebagai minoritas paling teraniaya di dunia, eksistensi Rohingya di Myanmar ibarat bertepuk sebelah tangan. Mereka tidak diakui sebagai warga negara, tidak punya hak sipil dan terjajah di tanah sendiri. Hingga kini ratusan ribu kaum Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Warisan Kolonialisme
Konflik antara etnis di Myanmar adalah warisan era kolonialisme. Sejak Inggris menduduki kawasan Arakan alias Rakhine 1825, ratusan ribu kaum muslim Bangali diangkut ke Rakhine untuk bekerja. Inggris juga membangun sistem Zamindari yang mengizinkan tuan tanah asal Bangladesh menduduki lahan-lahan milik masyarakat pribumi.
Foto: Reuters
"Buruh Ilegal"
Membanjirnya buruh migran asal Chittagong mendorong pertumbuhan perekonomian kolonial di Rakhine. Namun masyarakat pribumi kian tersisih. Sejahrawan mencatat, saat itu mayoritas Buddha di Rakhine meyakini lahan dan lapangan kerja buat mereka dirampas oleh "kaum pendatang ilegal."
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Separatisme Kelompok Islam
Pada dekade 1940an, sebagian warga muslim Rohingya mendeklarasikan kesetiaan pada Pakistan yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah. Mereka bahkan mengundang Islamabad untuk menduduki Rakhine. Ketika ditolak, kelompok tersebut melancarkan gerakan jihad yang bertujuan membentuk negara Islam di utara Rakhine.
Foto: Getty Images
Pembantaian di Arakan
Ketegangan etnis di Rakhine meruncing setelah Inggris mempersenjatai kelompok muslim Rohingya untuk melawan pasukan Jepang selama Perang Dunia II. Celakanya pasukan yang diberi nama Chittagonian V Force itu lebih banyak meneror warga pribumi beragama Buddha yang cendrung mendukung Jepang. Puncaknya terjadi pada 1942 ketika warga Buddha terlibat saling bantai dengan gerilayawan Rohingya.
Foto: Reuters/Soe Zeya Tun
Tanpa Pengakuan
Setelah kemerdekaan, Myanmar tahun 1948 menetapkan Undang-Undang kewarganegaraan yang tidak mencantumkan Rohingya sebagai salah satu etnis yang diakui negara. Buntutnya etnis minoritas itu tidak mendapat kewarganegaraan dan semakin rentan terhadap diskriminasi.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Petaka di Negeri Jiran
Situasi di negara bagian Rakhine kian runyam menyusul Perang Kemerdekaan Bangladesh 1971 yang mendorong eksodus pengungsi ke Myanmar. Tahun 1975 Duta Besar Bangaldesh di Myanmar, Khwaja Mohammed Kaiser, mengakui ada sekitar 500.000 pengungsi Bangladesh yang melarikan diri ke Rakhine.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Arus Balik
Negosiasi pemulangan pengungsi Bangladesh berlangsung alot antara dua pemerintah. Bangladesh ironisnya menolak mengakui sekitar 200.000 pengungsi yang telah dipulangkan oleh Myanmar. Setelah melewati perundingan panjang, Myanmar setuju menampung para pengungsi tersebut. Proses pemulangan pengungsi pada dekade 1990an yang berada di bawah pengawasan PBB itu berlangsung brutal.
Foto: DW/C. Kapoor
Genosida di Pelupuk Mata
Proses rekonsiliasi antara etnis Rohingya dan mayoritas Buddha di Rakhine berakhir pahit menyusul kerusuhan 2012. Dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Rakhine oleh tiga pria muslim, mayoritas Buddha menyisir kawasan muslim dan membantai 200 penduduk Rohingya. Lebih dari 100.000 ribu terpaksa mengungsi dan kebencian terhadap etnis Rohingya semakin membara di Myanmar.
Foto: picture-alliance/dpa
Bedil Menyalak
Jurang antara mayoritas di Myanmar dengan minoritas muslim melebar seiring perang kemerdekaan yang dilancarkan kaum radikal Islam. Berbagai kelompok, antara lain Rohingya Solidarity Organisation (RSO), mengimpikan negara Islam tanpa kaum Buddha Myanmar. November 2016 silam sekitar 69 gerilayawan separatis Rohingya dan 17 aparat keamanan Myanmar tewas dalam aksi baku tembak di utara Rakhine
Foto: AP
10 foto1 | 10
MIKTA merupakan sebuah akronim dari perkumpulan informal lima negara perekonomian berkembang yaitu:, Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Australia. Dibentuk tahun 2013 silam, MIKTA juga akan menjadi kelompok informal yang mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai middle powers yang bekerja sama untuk berkontribusi terhadap pembangunan komunitas internasional.
Kelima negara tersebut memiliki persamaan perkembangan ekonomi, demokrasi, pendekatan yang bersifat membangun terhadap isu-isu internasional dan penghubung di antara negara-negara di dunia yang memiliki perbedaan pandangan dalam kancah global. Kelima negara tersebut merupakan anggota G-20.
ap/vlz(kemlu)
Aksi Solidaritas Untuk Rohingya
Di Jakarta, kepedulian terhadap etnis Rohignya diwujudkan dalam aksi demontrasi. Berbagai kalangan berunjukrasa di Kedutaan Myanmar. Mereka mengecam aksi kekerasan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Mengusung poster Aung San Suu Kyi
Membawa poster penerima Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, pengunjuk rasa berdemonstrasi di Kedutaan Myanmar, di penghujung November 2016, mengecam kekerasan yang dilakukan militer setempat terhadap etnis Rohingya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Mengritik pemerintah dan militer Myanmar
Pengunjuk rasa mengritik tindakan brutal tentara Myanmar yang telah menganiaya dan merenggut nyawa warga Rohingya. Sementara pemerintah setempat dianggap melakukan pembiaran atas tindakan kekerasan tersebut.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/D. Pohan
Mengharapkan bantuan dari berbagai pihak
Mereka juga mengharapkan bantuan dari pemerintah Indonesia agar mendesak pemerintah Mnyamar menghentikan kekerasan tersebut. Masyarakat internasional dihimbau untuk ikut membantu meringankan penderitaan etnis minoritas itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Dijaga aparat
Aparat keamanan tampak berjaga-jaga, agar aksi solidaritas terhadap Rohingya berjalan lancar tanpa gangguan apapun.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono
Stop kekerasan
Sejauh ini pihak pemerintah Myanmar selalu membantah terjadinya kekerasan terhadap etnis minoritas di negara yang juga dikenal dengan sebutan Birma tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Melarikan diri ke Bangladesh
Banyak korban kekerasan di Myanmar itu yang akhirnya melarikan diri ke negara-negara terdekat, di antaranya Bangladesh. Mereka menuju Bangladesh dengan perahu menyusuri sungai Naf hingga melewati perbatasan.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Anak-anak menjadi korban
Anak-anak dan perempuan menjadi korban atas kekerasan yang menimpa etnis mereka. Mereka membutuhkan bantuan dari berbagai pihak.
Foto: Reuters/M.P.Hossain
Juga di Indonesia
Banyak di antara pengungsi Rohingya yang juga terdapar di Aceh. Mereka akan dibawa ke medan untuk diproses pemindahannya ke negara-negara lain termasuk Amerika Serikat. Editor: ap/vlz