Agenda reformasi tercemar dengan rencana revisi UU TNI yang memberi kesempatan tentara aktif di kementerian. Sayangnya suara kritis justru dibungkam dengan pasal penghinaan institusi. Ada kaitannya dengan tahun pemilu?
Iklan
Di tahun pemilu, aroma Orde Baru berhembus karena rupanya masih ada pihak yang tersandera masa lalu. Bagaimana masyarakat sipil bersikap atas penetapan tersangka aktivis HAM Robertus Robet?
Ada dua hal yang patut dicemaskan oleh masyarakat sipil yang menikmati buah Reformasi 1998 terkait penangkapan dan penetapantersangka terhadap dosen Universitas Negeri Jakarta dan aktivis HAM, Robertus Robet. Hal pertama adalah wacana penempatan perwira aktif di kementerian. Sinyalemen ini mengindikasikan reformasi di tubuh TNI belum tuntas meski angin reformasi sudah berhembus sejak 21 tahun silam. Hal kedua adalah pemberangusan kebebasan berpendapat terhadap suara kritis para aktivis.
Menolak agenda pemerintah dan mengritik institusi militer bisa berujung di muka hakim. Mengacu pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB yang disahkan tahun 1948, ada 30 hak dasar yang dimiliki setiap orang, salah satu dari 30 hak tersebut adalah kebebasan berekspresi. Begini bunyinya, "Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hak ini termasuk kebebasan untuk menahan pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan ide melalui media apa saja dan tanpa batasan apa pun."
Robertus Robet ditangkap tengah malam di rumahnya atas dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia. Robet berorasi pada Aksi Kamisan yang rutin digelar di depan Istana Merdeka setiap Kamis dan sudah memasuki tahun ke-12.
Aksi Kamisan selama ini bersuara agar pemerintah mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti Semanggi 1 dan 2, Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998, Penghilangan Paksa, Kerusuhan Mei 1998, Talangsari Lampung dan Tragedi 1965. Presiden Jokowi sudah pernah bertemu peserta Kamisan pada Mei 2018 dan memerintahkan Jaksa Agung berkoordinasi dengan Komnas HAM. Sejumlah kasus mengindikasikan keterlibatan tentara yang harus dibuktikan di pengadilan HAM.
Dampak Pada Citra Pemerintah?
Mengapa baru sekarang kepolisian mengambil tindakan terhadap peserta Aksi Kamisan dan terjadi di masa kampanye pemilu yang sangat sensitif? Acara Aksi Kamisan 28 Februari 2019 mengangkat soal rencana pemerintah memperluas jabatan sipil untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sebelum berorasi di depan anak-anak muda yang hadir, Robet menyanyikan sepotong lagu parodi "Mars ABRI” yang sudah berulang-ulang dinyanyikan demonstran di masa Soeharto 21 tahun silam yang bisa menyulut emosi. Dahulu di masa Orde Baru yang represif, para demonstran tidak ditangkap karena lagu. Karena itu, tindakan kepolisian menetapkan Robertus Robet sebagai tersangka penghinaan dan akan memeriksa seluruh peserta Aksi Kamisan sebagai saksi adalah tindakan berlebihan, apalagi Robet sudah minta maaf dan menjelaskan isi orasinya yang mendorong TNI tetap pada jalur agenda reformasi.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Nampaknya kepolisian serius memperkarakan hal ini karena kepolisian juga akan mengusut penyebar video orasi Robet. Tentu hal ini mirip seperti gaya Orde Baru yang otoriter meski saat ini ada rujukan UU ITE. Namun orasi dan lagu parodi yang dinyanyikan Robet tidak menimbulkan rasa kebencian dan sama sekali jauh dari ajakan memusuhi institusi tertentu sehingga tidak melanggar pasal dalam UU ITE. Sebaliknya tindakan represif justru dapat menimbulkan rasa antipati dan menjatuhkan citra pemerintahan yang demokratis. Kepolisian sebaiknya sangat berhati-hati dalam menindaklanjuti kasus ini agar suara kalangan pro-demokrasi yang selama ini mendukung Jokowi tidak tergerus. Suara sejumlah pendukung paslon nomor satu (Joko Widodo dan Ma'ruf Amin) yang mengkritik penangkapan Robertus Robet patut menjadi pertimbangan kepolisian agar tidak terjerumus menjadi kriminalisasi aktivis yang bisa mencoreng citra pemerintah.
Mengapa Masyarakat Sipil Harus Mendukung Robertus Robet?
Saya mendorong masyarakat sipil untuk mendukung kritik Robertus Robet pada peran TNI yang pelan-pelan menyusup kembali melalui rencana revisi UU No 34/2004 tentang TNI. Revisi UU TNI bertujuan menempatkan perwira menengah dan perwira tinggi TNI di sejumlah kementerian. Sebelumnya TNI hanya bisa masuk ke 10 kementerian dan instansi yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan seperti Kementerian Pertahanan, BIN, Badan Sandi Negara dan Mahkamah Agung. Namun sejak terbit Peraturan Presiden No 62/2016 tentang TNI maka akan ada 60 jabatan untuk perwira tinggi dan menengah.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi massa seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan serta Setara Institute sudah mengeluarkan petisi menolak wacana restrukturisasi TNI sejak pertengahan Februari 2019. Adalah hal yang wajar jika masyarakat sipil menolak kembalinya militer di dalam institusi sipil karena militer adalah pemegang senjata yang tentu lebih punya kekuatan dibandingkan sipil.
Tentara bisa bekerja di institusi sipil dan memegang jabatan namun tidak berlaku sebaliknya. Sipil dengan kompetensi terbaik tidak bisa menduduki jabatan di tubuh militer kecuali presiden. Sesuai pasal 10 UUD 1945 maka Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Ini berlaku meski presiden berasal dari kalangan sipil. Penolakan bagi-bagi jabatan di kementerian untuk tentara aktif terutama harus merujuk pada jiwa reformasi yang menghapus dwifungsi ABRI. Tap MPR No VI tentang pemisahan ABRI dan kepolisian dan Tap MPR No VII tahun 2000 tentang perubahan nama ABRI menjadi TNI. Sejatinya agenda reformasi harus terus dipertahankan dengan konsisten oleh pemerintah.
Menolak ORBA Berarti Menolak Pemberangusan Kebebasan Berekspresi
Dalam kampanye pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden sering saya mendengar atau membaca info yang beredar di grup WhatsApp agar pemilih menolak kembalinya Orde Baru ke tampuk kekuasaan. Kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang didukung oleh anak-anak Soeharto dikaitkan dengan Orde Baru yang ingin berkuasa kembali. Namun yang terjadi pada Robertus Robet adalah upaya pemberangusan seperti Orde Baru. Ini bukan kali pertama. Sejumlah kasus penangkapan aktivis saat berunjuk rasa menodai rezim Jokowi. Tahun 2015, 17 buruh dan 2 aktivis LBH Jakarta ditangkap polisi.
Tahun 2016 paling tidak 63 aktivis Papua ditangkap dalam 9 hari karena terkait dukungan terhadap organisasi Papua yang menjadi anggota penuh organisasi negara kawasan Melanesia. Tahun 2016 kepolisian menolak memberi izin penyelenggaraan Festival Belok Kiri karena dianggap terkait komunisme. Tahun 2018 aktivis lingkungan Budi Pego dijatuhi hukuman 7 tahun penjara setelah ditangkap dengan tuduhan komunisme karena penolakannya terhadap eksploitasi Gunung Tumpang Pitu di Jawa Timur. Masih di tahun 2018, polisi menangkap 107 peserta diskusi di Asrama Mahasiswa Pegunungan Bintang, Jayapura, Papua.
Sejauh ini penangkapan aktivis yang terjadi lebih mengarah pada pembatasan berpendapat. Kebebasan berekspresi termasuk berpendapat sejatinya tidak perlu dipersoalkan secara hukum jika tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan diskriminasi atas nama suku, agama, ras dan antar golongan. Karena itu sangat penting bagi pemilih untuk kritis, bersuara dan menolak gaya represi Orde Baru yang ditiru di masa kini. Menolak Orde Baru berarti harus konsisten menolak cara-cara menekan yang digunakan oleh Soeharto dulu.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Kritis Bukan Berarti Menghina
Satu hal yang patut disesalkan adalah ketika DPR dan pemerintah pada Januari 2018 setuju pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi delik umum. Hal ini berdampak pada peluang seseorang bisa dijerat hukum tanpa perlu ada pengaduan dari korban. Sebelumnya penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden adalah delik aduan yakni hanya diproses secara hukum jika ada aduan. Paling tidak ada 9 kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi di media sosial yang berujung pemenjaraan. Umumnya yang menghina adalah orang awam yang tidak punya basis massa dan tidak berpolitik.
Membedakan antara perilaku mengkritik dan dengan sengaja menghina di media sosial dan di depan umum tentu bisa dipilah-pilah terutama dalam iklim demokrasi seperti di Indonesia saat ini. Karena itu kejadian yang menimpa aktivis HAM dengan rekam jejak panjang dan kualitas akademisi sekelas Robertus Robet yang master lulusan Inggris dan doktor lulusan filsafat tentu mengkhawatirkan kita semua.
Mayoritas masyarakat sipil di Indonesia saat ini menikmati kebebasan berpendapat, pers bebas, berorganisasi tanpa ketakutan dan sebagainya, karena lepas dari Orde Baru. Jika berpendapat bisa dianggap menghina tentu hal ini bisa membungkam kritik. Padahal Presiden Joko Widodo sendiri pernah menyatakan tidak anti-kritik, idealnya institusi sekelas TNI pun tidak anti-kritik. Jangan sampai timbunan kasus penangkapan aktivis demi aktivis menjadi sinyalemen rezim ini terkesan anti-kritik.
Penerapan pasal 207 KUHP yang berbunyi:"Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” tentu berlebihan disematkan pada aktivis pro-demokrasi. Apalagi jika gegara sebuah lagu parodi jadul (jaman dulu).
Sepotong lagu idealnya tidak bisa menurunkan kewibawaan TNI dan berujung pada perasaan terhina. Sebaliknya TNI harus bisa membuktikan dirinya sebagai Reformis Sejati yang menjalankan amanat TAP MPR dengan seutuhnya. Kepolisian pun idealnya tidak memberangus setiap aktivis dengan penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Robertus Robet sebaiknya dihentikan. Masih sangat banyak urusan lain yang lebih penting untuk ditangani kepolisian dan TNI terkait keamanan dan pertahanan negara. Untuk masyarakat sipil, tentu harus terus mengawal agenda reformasi. Meski sudah 21 tahun berlalu, reformasi rupanya belum selesai.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.
Akrobat Panglima Menuju Istana
Berulangkali manuver Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyudutkan Presiden Joko Widodo. Sang jendral ditengarai memiliki ambisi politik. Inilah sepak terjang Nurmantyo membangun basis dukungan jelang Pemilu 2019.
Foto: Reuters/Beawiharta
Wacana Tentara Berpolitik
Ambisi politik Gatot Nurmantyo sudah tercium sejak akhir 2016 ketika dia mewancanakan hak politik bagi anggota TNI. Menurutnya prajurit saat ini seperti "warga asing" yang tidak bisa berpolitik. Ia mengaku gagasan tersebut cepat atau lambat akan terwujud. "Ide ini bukan untuk sekarang, mungkin 10 tahun ke depan, ketika semua sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Petualangan di Ranah Publik
Bersama Nurmantyo, TNI berusaha kembali ke ranah sipil. Lembaga HAM Imparsial mencatat Mabes TNI menandatangani "ratusan" kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk universitas dan pemerintah daerah. TNI tidak hanya dilibatkan dalam urusan pemadaman kebakaran hutan, tetapi juga pertanian dan pembangunan infrastruktur seperti pada proyek pembangunan jalan Transpapua.
Foto: Imago/Zumapress
Menggoyang Otoritas Sipil
Februari silam Nurmantyo mengeluhkan pembatasan kewenangan panglima TNI dalam hal pengadaan senjata. Pasalnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengeluarkan peraturan yang mengembalikan kewenangan pembelian sistem alutsista pada kementerian. Dengan ucapannya itu Nurmantyo dinilai ingin mengusik salah satu pilar Reformasi, yakni UU 03/2002 yang menjamin otoritas sipil atas militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Polemik Dengan Australia
Akhir Februari Nurmantyo secara mendadak membekukan kerjasaman pelatihan militer dengan Australia. Keputusan Mabes TNI dikabarkan mengejutkan Istana Negara. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap mendukung keputusan Nurmantyo dan ikut memperingatkan Australia. Namun sejumlah pejabat tinggi di Canberra menilai kasus tersebut selayaknya diselesaikan tanpa keterlibatan publik.
Foto: Imago/Zumapress
Genderang Xenofobia dari Cilangkap
Bukan kali pertama Nurmantyo membidik Australia. Oktober 2016 dia menyebut negeri jiran itu terlibat dalam "perang proxy" melawan Indonesia di Timor Leste dengan tujuan "memecah belah bangsa." Ia juga mengklaim ancaman terbesar terhadap Indonesia akan berasal dari kekuatan asing yang "berebut energi dari negara equator yang kaya sumber daya alam."
Sejak berakhirnya Pilkada DKI Nurmantyo juga aktif mendekat ke kelompok konservatif muslim. Ketika Kapolri Tito Karnavian mengklaim kepolisian menemukan indikasi makar pada aksi demonstrasi 212 di Jakarta, Nurmantyo mengatakan dirinya "tersinggung, karena saya umat muslim juga." Panglima juga berulangkali memuji pentolan FPI Rizieq Shihab sebagai sosok yang "cinta Indonesia."
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Teladan di Astana Giribangun
Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang disebarkan kelompok Islam konservatif dan sejumlah tokoh seperti Kivlan Zein dan Amien Rais disambut Nurmantyo dengan mewajibkan prajurit TNI untuk menonton film propaganda orde baru Pengkhianatan G30-S PKI. Setelah melontarkan wacana tersebut, Nurmantyo mengunjungi makam bekas Presiden Soeharto yang menurutnya patut menjadi "tauladan" prajurit TNI
Foto: picture-alliance/dpa
Peluru Panas ke Arah Istana
Polemik terakhir yang dipicu Panglima TNI adalah isu penyelundupan senjata api sebanyak 5500 pucuk. Ia mengklaim laporan tersebut berasal dari data akurat dinas intelijen. Pemerintah mengklarifikasi pembelian itu untuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara. Namun Nurmantyo enggan meluruskan pernyataannya tersebut. (rzn/yf-sumber: antara, detik, cnnindonesia, kompas, tempo, aspi, ipac)