Menteri Nasir Larang LGBT ke Kampus, Kritik Ramai di Medsos
25 Januari 2016
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir melarang kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) masuk kampus. Alasannya: tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kesusilaan bangsa.
Iklan
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir jadi sasaran kritik di media sosial. Akhir minggu ini, Nasir menegaskan lagi pelarangannya bagi kalangan LGBT untuk melakukan kegiatan di kampus.
"LGBT tidak sesuai dengan tataran nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. Saya melarang. Indonesia ini tata nuilainya menjaga kesusilaan." Tegas Nasir kepada detikcom lewat telpon.
Pernyataan Mohamad Nasir mengundang makin banyak reaksi protes di media sosial.
Seorang aktivis perempuan berkomentar: "Jadi ini adalah kualitas menteri riset dan teknologi? Bicara sampah dan data nol."
Di internet beredar sebuah petisi yang menuntut agar menteri Nasir mencabut kembali pernyataannya.
Menteri Nasir awalnya membuat pernyataan soal LGBT di kampus hari Sabtu lalu (23/01) ketika memanggapi kegiatan Support Group an Ressources Center on Sexuality Studies (SGRC), yang aktif di Universitas Indonesia dan menawarkan konseling untuk kelompok LGBT.
Setelah kritik bermunculan, mantan rektor sebuah universitas itu lalu mengoreksi pernyataannya. Ie menulis di akun Twitternya: "Memang sebagai bagian dari warga negara Indonesia, kaum LGBT perlu mendapat perlakuan yang sama dimata UU".. dan "..Hak-haknya sebagai warga negara yang harus dijamin oleh negara".
Nasir juga menjelaskan lagi soal larangannya sebagai berikut:
"Bukan berarti saya melarang segala bentuk kegiatan yang kaitanya dengan LGBT. Kampus terbuka lebar untuk segala kajian, edukasi, yang bertujuan untuk membangun kerangka keilmuan.
"Larangan sy (saya -red) terhadap LGBT masuk kampus apabila mreka mlakukan tindakan yg kurang terpuji seperti bercinta, atau pamer kemesraan dkampus (di kampus -red).
Menristek Mohamad Nasir juga menegaskan:
"Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing2 individu. Asal tidak menganggu kondusifitas akademik."
Pernyataan Menristek dan Dikti Mohamad Nasir juga dikritik anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Irine Roba. Dia mengatakan, apa yang diucapkan Nasir bertentangan dengan semangat anti diskriminasi yang menjadi dasar gagasan pendiri bangsa.
“Sebagai menteri, ia seharusnya menimbang aspek penguatan kampus sebagai basis penegakan nilai anti deskriminasi, bukan malah menghalangi kegiatan sebuah kelompok yang mengadvokasi masalah gender,” kata Irine dalam rilis yang dikutip oleh Rappler.com hari Senin (25/01)
Tari Mengusir Takut: Kisah Waria di Pakistan
Ketika siang hari, Waseem berdagang aksesoris ponsel. Di malam hari ia berubah sosok jadi penari perempuan. Profesinya itu bukan tanpa risiko di negeri yang berada di bawah cengkraman kaum ultra konservatif itu
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Bergoyang di Malam Hari
Ketika malam menyaput Rawalpindi, Waseem berganti rupa. Pria berusia 27 tahun itu berlaku sebagai "hijra," yakni jenis kelamin ketiga. Jumlahnya diyakini mencapai ribuan di Pakistan. Kaum Hijra sangat diminati sebagai penari di pesta pernikahan atau kelahiran bayi. Acara semacam itu adalah satu-satunya kesempatan bagi waria Pakistan untuk diterima oleh masyarakat.
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Normal di Siang Hari
Sewaktu siang menyambang, Waseem menjajakan aksesoris ponsel di sebuah pasar di jantung kota Rawalpindi. Rekan kerja dan teman-teman terdekatnya sekalipun tidak mengetahui aktivitas terselubungnya pada malam hari.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Muheisen
Kenalkan, Rani sang Penari
Buat Waseem, kehidupan gandanya itu diperlukan untuk mencapai kemakmuran. "Menjadi penari menggandakan penghasilan saya ketimbang cuma bekerja di toko," ujarnya. Buat kaum Hijra, hidup adalah pergulatan tak berujung. Mereka yang tak berbakat menjadi penari, kebanyakan terseret dalam arus prostitusi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bersama dalam Keterasingan
Sebagian besar kaum muslim Pakistan membenci kaum yang disebut "mahluk antara perempuan dan laki-laki," itu. Tidak jarang Hijra menjadi sasaran penganiayaan di tempat-tempat umum. Sebab itu pula kaum waria Pakistan hidup menyendiri di dalam komunitas tertutup. "Hidup bersama penari lain seperti keluarga. Cuma bersama mereka lah saya merasa aman dan dihormati," ujar Bekhtawar, 43 tahun
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Diakui tapi Dicampakkan
Banyak kaum waria memilih anonimitas kota besar dan menyembunyikan identitas asli dari rekan kerja atau bahkan keluarga. Hukum di Pakistan sebenarnya memihak mereka. 2011 silam Mahkamah Agung di Islamabad memutuskan negara mengakui jenis kelamin ketiga. Artinya kaum Hijra berhak menuliskan jenis kelamin waria di dalam passpor, formulir kerja atau keuangan serta berhak memilih.
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
Demi Kesetaraan
Untuk pertama kalinya kaum transgeder seperti Bindiya Rana (ka.) mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, 2013 silam. Kendati gagal, ia tetap berjuang demi kesetaraan dan melawan diskriminasi.
Foto: picture-alliance/AP/Shakil Adil
Berani Akui Identitas Hijra
Hingga kini cuma segelintir kaum transgender yang berani membuka identitas dirinya seperti Amjad. "Satu-satunya hal yang tidak bisa saya lakukan adalah mengandung bayi," ujarnya.
Foto: picture-alliance/AP/Muhammed Muheisen
7 foto1 | 7
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,” tulis Irine dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 28 dan pasal 31tentang hak-hak warga negara Indonesia.