Menhan Singapura Ng Eng Hen mengecilkan kekhawatiran akan terjadinya perang di kawasan. Singapura dan ASEAN bertekad untuk meredakan ketegangan yang timbul dan menyelesaikan perselisihan dengan jalan damai.
Iklan
Cina dan beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Filipina, Indonesia dan Malaysia, beberapa kali terlibat pertikaian terkait klaim wilayah di perairan Laut Cina Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah membangun landasan terbang dan hanggar, serta menempatkan sistem anti-pesawat dan anti-rudal di Kepulauan Spratly di lepas pantai Filipina.
Cina mengklaim kedaulatan atas sebagian besar wilayah perairan Laut Cina Selatan, meskipun klaim ini ditolak oleh pengadilan internasional pada 2016. Kepala Komando Pasifik AS saat itu memperingatkan masyarakat internasional tentang "perilaku tegas dan agresif Cina di Laut Cina Selatan."
Pada Konferensi Keamanan Munich tahun ini, Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen berbicara kepada DW tentang pentingnya kerja sama multilateral dan transparansi antar negara dalam menghindari konflik.
DW: Laut Cina Selatan telah menjadi titik nyala cukup lama. Dalam hal konfrontasi militer besar-besaran, apa yang bisa Singapura lakukan untuk meredakan ketegangan?
Ng Eng Hen: Saya kira konfrontasi besar-besaran tidak akan terjadi. Semua pihak yang terlibat - negara yang mengklaim dan komunitas internasional - mengakui bahwa jika terjadi konfrontasi, harga yang dibayar terlalu mahal dan masalah di Laut Cina Selatan tidak menjamin timbulnya konfrontasi fisik yang sebenarnya.
Walaupun demikian, itu bukan berarti tidak ada kesalahan perhitungan atau insiden. Yang terjadi baru-baru ini adalah ketika USS Decatur, kapal perang AS, saat melakukan operasi navigasi mendekat ke kapal perang Cina.
Adu Kekuatan Militer di Laut Cina Selatan
Sengketa wilayah di Laut Cina Selatan picu adu kekuatan militer di wilayah. Anggaran militer sejumlah negara naik drastis. Cina anggarkan pembelian senjata besar-besaran. Yang dilirik pedagang senjata Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Drake
Kapal Induk Kebanggaan Cina
Tentara rakyat Cina mengoperasikan kapal induk Liaoning sejak 2012. Kapal buatan Uni Sovyet tahun 1985 ini dibeli tahun 1998 dari Ukraina. Setelah dirombak dan direnovasi, dilanjutkan dengan pelatihan marinir Cina, sejak 2016 kapal induk ini dinyatakan siap tempur.
Foto: imago/Xinhua
Indonesia Andalkan Kapal Eropa
Indonesia juga melakukan modernisasi alat utama sistem pertahanan laut dengan membeli kapal perang baru. Korvette KRI Sultan Hasanuddin buatan 2007 sdibuat di Belanda. Jerman sejak lama juga menyuplai senjata ke Indonesia dan negara jiran di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.
Foto: picture alliance/dpa/A. Ibrahim
Vietnam Jagokan Lubang Hitam
Vietnam tak mau ketinggalan, dan tahun silam membeli enam kapal selam pemburu buatan Rusia. Angkatan laut AS dan menjulukinya "lubang hitam" karena kapal selam ini sulit dilcak radar dan nyaris tak berbunyi saat dioperasikan. Zona jelajahnya di kawasan perairan dangkal dan kapal selam ini tangguh menangkal kapal perang maupun kapal selam musuh.
Foto: Vietnam News Agency/AFP/Getty Images
Filipina Andalkan Kapal Buatan AS
Angkatan laut Filpina andalkan kapal perang BRP Gregorio del Pilar dalam sengketa kawasan laut itu. Ini juga bukan kapal baru, melainkan kapal bekas penjaga pantai AS buatan tahun 1967. Setelah dimodernisasi, kapal perang ini diiproklamirkan siap tempur pada 2012. Kawasan operasinya sekitar kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Favila
Singapura Kerahkan Kapal Siluman
Singapura negara terkecil di Asia Tenggara mengandalkan kapal perang berteknologi tinggi. Kapal siluman kelas Formidable buatan Perancis ini dioperasikan negara pulau itu sejak 2007.
Foto: Imago/China Foto Press
AS Tetap Dominasi Kawasan
Amerika Serikat tetap dominasi kekuatan militer di kawasan. Armada ke 7 Pasifik di Asia berkekuatan hingga 60 kapal perang, 350 pesawat tempur dan 60.000 serdadu. Kapal induk USS Ronald Reagan adalah satu-satunya yang dioperasikan terus menerus di luar perairan AS. Pangkalan kapal induk ini adalah basis AL di Yokosuka, Jepang. Penulis. Rodion Ebbighausen (as/ap)
Foto: AP
6 foto1 | 6
Kita semua tahu bahwa ada perselisihan mengenai klaim teritorial dari Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Indonesia, yakni adanya tumpang tindih zona ekonomi eksklusif dengan sembilan garis putus-putus (garis demarkasi Cina di Laut Cina Selatan).
Semua negara yang bertikai telah membangun sesuatu di wilayah yang disengketakan. Beberapa orang berpendapat bahwa Cina membangun lebih banyak – betul atau tidak, yang pasti semua negara telah membangun sesuatu. Apa pun yang dilakukan Cina, apakah itu di Kepulauan Spratly atau Paracel, telah memungkinkan mereka untuk mengoperasikan garis pertahanan luar mereka. Ini jaraknya sekitar 800 kilometer dari daratan Cina, dengan kecerdasan, pengawasan, kemampuan pengintaian dan landasan pacu yang diperpanjang, yang dapat mengakomodasi pesawat mereka termasuk pesawat terbang dan jet tempur. Fitur di Laut Cina Selatan memiliki sistem pertahanan yang baik. Saya ragu apakah ada yang berpikir untuk mengusir Cina dari sana.
Apakah Anda khawatir tentang hal itu? Apakah Anda pikir itu juga bisa membahayakan keamanan Singapura?
Bukan keamanan Singapura, tapi Anda tahu Laut Cina Selatan adalah salah satu jalur komunikasi laut tersibuk, membawa muatan perdagangan global yang cukup besar dan berfungsi sebagai jalur maritim untuk minyak - aset strategis. Tetapi semua negara tahu itu. Jadi tidak terlalu mengkhawatirkan bagi Singapura. Mereka akan berhati-hati untuk tidak memicu konfrontasi. Faktanya, di lapangan, ada beberapa insiden, tetapi dalam skala sejarah dan dibandingkan dengan beberapa wilayah lain, insiden yang terjadi di Laut Cina Selatan kurang signifikan.
Pangkalan Militer Cina di Laut Cina Selatan
Kendati luput dari perhatian, konflik Laut Cina Selatan terus memanas dalam diam. Cina membangun pulau buatan untuk dijadikan pangkalan militer. Salah satu landasan pacu bahkan mampu didarati pesawat pembom jarak jauh
Foto: CSIS, IHS Jane's
Pesawat Pembom di Spratly?
Sejak pertengahan 2014 militer Cina sibuk memperluas "Fiery Cross Reef" di tepi barat kepulauan Spratly. Pakar di "Centre for International and Strategic Studies" di Washington dan Asia Maritime Transparency Initiative meyakini, negeri tirai bambu itu tengah membangun pangkalan udara sepanjang tiga kilometer. Landasan sepanjang itu mampu menampung pesawat pembom jarak jauh tipe H-6 milik Cina
Foto: CSIS, IHS Jane's
Wilayah Abu-abu
Gaven-Riff yang terletak di utara kepulauan Spratly diperluas sebanyak 115.000 meter persegi sejak Maret 2014. Pakar hukum internasional menilai, Cina sedang berupaya membetoni klaimnya atas kepulauan tersebut.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Cepat Bertindak
Citra satelit yang dibuat 2014 silam menampilkan betapa militer Cina menggenjot kegiatan konstruksi di Gaven-Riff. Antara bulan Maret (kiri) dan Agustus (kanan) terbentuk sebuah pulau baru.
Cina juga membangun landasan pacu militer di Johnson South Reef. Landasan ini sendiri diyakini terlampau pendek untuk tujuan strategis. Namun pulau ini menegaskan klaim Cina terhadap kepulauan Spratly.
Foto: CSIS
Sistematis
Kegiatan konstruksi yang digalang Cina di Hughes-Riff serupa dengan di Gaven-Riff. Negeri tirai bambu itu diyakini telah mengembangkan metode baku tentang cara pembuatan pulau.
Foto: AMTI
Protes Filipina
Februari 2015 silam pemerintah Filipina kembali melayangkan nota diplomatik yang memrotes Cina. Penyebabnya adalah langkah Beijing membangun pangkalan di Mischief-Riff yang cuma terpaut jarak 135 kilometer dari pulau Palawan milik Filipina. Foto terbaru dari 19 Januari membuktikan kegiatan konstruksi di pulau tersebut.
Foto: CSIS
Perlawanan Seadanya
Tahun 1999 militer Filipina menenggelamkan kapal "Sierra Mader" di Ayungin Atoll. Sejak saat itu serdadu Filipina berjaga-jaga di sekitar kapal. Langkah tersebut adalah upaya Filipina menjauhkan Cina dari pulau yang diklaim Manila.
Foto: Reuters
Konflik Teritorial
Aksi Cina membangun pulau baru di kepulauan Spratly menambah ketegangan di wilayah. Saat ini Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei ikut menancapkan klaimnya di kepulauan tersebut. Sementara Indonesia bertindak sebagai mediator.
Foto: DW
8 foto1 | 8
Apakah Anda pikir agresifitas Cina dan meningkatnya hegemoni mereka dapat menjadi tantangan bagi negara lain juga?
Itu adalah sebuah pendapat. Dari perspektif Cina, mereka menyebutnya sebagai "peaceful rise", kebangkitan yang damai. Mereka ingin negara lain juga ikut berpartisipasi dan terkait dengan hal itu, saya rasa itu memang benar. Selama dekade terakhir, setelah krisis keuangan global, ketika Eropa dan Amerika berada dalam kelesuan ekonomi, pertumbuhan Cina lah yang menopang Asia.
Saya ingat bertemu dengan sekelompok pengusaha pada saat itu, termasuk pengusaha Amerika dan Eropa, dan bertanya kepada mereka: "Di mana Anda ingin berada dalam dekade ini?" Tiga dari mereka berkata Asia. Jadi saya tidak akan salah menggambarkan peran Cina. Kita mengakui klaim Cina pada sembilan garis putus-putus, serta putusan arbitrase yang diajukan Filipina kepada Cina, membuat deklarasi dalam klaim dan fitur apa yang menjadi haknya. Pendekatan Cina adalah membangun kode etik dengan negara-negara yang bersengketa dan dengan ASEAN.
ASEAN tampaknya sedikit terpecah pada masalah Laut Cina Selatan. Peran apa yang dapat dimainkan Singapura untuk membantu para pemain regional menemukan titik temu?
Sudah ada deklarasi, yang mendahului kode etik, yang ditandatangani oleh semua pemimpin ASEAN dan Cina pada tahun 2012. Ada pernyataan konsensus dengan menteri pertahanan dan menteri luar negeri ASEAN, yang secara konsisten menyatakan tekad mereka untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara damai dan menghormati hukum internasional.
Mengenai peran yang dapat dimainkan Singapura: kami mengambil pendekatan yang sangat praktis. Ketika Brunei memegang kepemimpinan di ASEAN, kami membujuk mereka untuk mengadakan latihan maritim 18-negara, dan kami berhasil melakukan itu. Ini juga merupakan pertukaran dari sepuluh negara ASEAN ditambah delapan lainnya.
Baru-baru ini, sebagai ketua, Singapura memfasilitasi latihan maritim ASEAN-Cina pertama di Cina. Saya pikir pendekatan kami adalah peningkatan keterlibatan. Anda harus meningkatkan keterlibatan semacam itu untuk mengurangi risiko salah perhitungan. Pertemuan para menteri pertahanan ASEAN juga telah mengatur hotline untuk mengurangi ketegangan.
Wawancara dilakukan oleh Shamil Shams di Konferensi Keamanan Munich 2019
Kekuatan Militer Cina
Baru-baru ini Cina meningkatkan anggaran pertahanan. Kebijakan itu dinilai sebagai persiapan Beijing atas konflik di Laut Cina Selatan. Cina sejak lama berambisi menguasai jalur dagang paling gemuk di dunia itu.
Foto: Reuters
Berjuta Serdadu, Minim Pengalaman
Cina yang memiliki hampir dua juta serdadu tercatat sebagai kekuatan tempur terbesar di dunia. Ditambah dengan usia generasi muda yang mencapai usia wajib militer setiap tahun sebesar 19 juta orang, Beijing tidak pernah kekurangan serdadu. Kelemahan terbesar Cina adalah pengalaman. Sebab itu Beijing kini mulai mengirimkan tentaranya ke berbagai misi PBB di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Pesawat Tempur
Saat ini sekitar 2500 pesawat tempur dimiliki oleh Angkatan Udara Cina. Kebanyakan berasal dari produksi dalam negeri yang mencontoh jet tempur Rusia, seperti Sukhoi Su-27 dan Su-33 untuk Angakatan Laut. Tapi baru-baru ini Cina menuntaskan produksi pesawat tempur siluman J-31. Kehadiran jet besi berwarna hitam ini membuat banyak negara Asia mempertimbangkan membeli pesawat siluman F-35 dari AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Meriam Api
Militer Cina dilengkapi dengan 1770 sistem peluncur roket dan sekitar 6000 meriam artileri. Tapi bukan itu yang membuat Tentara Pembebasan Rakyat Cina ditakuti, melainkan roket berhulu ledak nuklir yang dimilikinya. Dari sekitar 400 roket peluncur, Cina memiliki 20 Peluru kendali balistik antar benua, Dongfeng 5, yang berdaya jelajah 13.000 kilometer.
Foto: Getty Images
Kendaraan Lapis Baja
Setelah Rusia, Cina adalah negara ke-dua di dunia yang paling banyak memiliki kendaraan tempur lapis baja. Saat ini jumlahnya sekitar 10.000 unit. Tidak jelas berapa yang masih layak tempur. Namun Main Battle Tank teranyar milik Cina, yakni Tipe 99, diakui oleh berbagai pakar sebagai satu dari 12 tank tempur terbaik di dunia.
Foto: Getty Images
Kapal Induk Liaoning
Sejak beberapa tahun lalu Cina akhirnya memiliki kapal induk sendiri yang berasal dari kelas Admiral Kutznesov bernama Liaoning. Dalam sebuah ujicoba di Laut Cina Selatan, kapal berbobot 61 ribu ton ini mengangkut pesawat tempur Shenyang J-15 yang mirip Sukhoi Su-33, serta helikopter pengangkut Rusia Kamov Ka-31. Kehadiran Liaoning dianggap menegaskan ambisi Beijing menguasai Laut Cina Selatan.