Ketika di banyak negara lain ganja sudah tidak dianggap sebagai narkotika berbahaya, Indonesia masih memandang ganja sebagai sesuatu yang menakutkan. Opini Zaky Yamani.
Iklan
Walau sebenarnya, saya yakin, ketakutan negara dan masyarakat itu bukan berdasarkan ilmu pengetahuan yang jelas dan argumentatif tentang ganja. Malah sebenarnya, ketakutan masyarakat pada ganja bukanlah pada efeknya terhadap kesehatan, tapi pada risiko yang harus dihadapi ketika seseorang menggunakan atau memiliki ganja: dikriminalkan dengan ancaman hukuman penjara yang lama.
Anehnya, ketika negara mengkriminalkan pengguna ganja dan berbagai jenis narkotika lainnya, di saat yang sama angka prevalensi penggunaan narkotika di Indonesia tidak pernah turun, jika tidak bisa dikatakan terus meningkat. Sebabnya, ketika narkotika semakin dilarang, harganya semakin tinggi, dan itu artinya bisnis menggiurkan bagi banyak orang. Seperti layaknya bisnis, untuk mendapatkan konsumen para bandar narkotika pun melakukan berbagai upaya pemasaran—tentunya secara sembunyi-sembunyi. Ini persis dengan era larangan minuman beralkohol di Amerika Serikat di abad lalu. Siapa pun yang pernah membaca sejarah pelarangan minumal beralkohol di Amerika Serikat pada 1920-an, pasti tahu apa korelasinya antara pelarangan, naiknya harga komoditas yang dilarang, dan semakin berkuasanya gangster.
Memang tidak banyak referensi yang bisa dibaca tentang ganja di Indonesia. Satu dari yang sedikit itu adalah buku berjudul War on Drugs: Refleksi Transformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan Narkoba di Indonesia,ditulis oleh Patri Handoyo, seorang aktivis sosial yang mengkampanyekan pembaruan regulasi narkotika.
Di dalam bagian tentang ganja, Patri menjelaskan sejarah penggunaan ganja oleh berbagai masyarakat sejak beribu tahun lalu, mulai dari India, Tiongkok, Persia, Rumania. Juga dijelaskannya, pada abad 14 serat ganja atau hemp lebih banyak digunakan sebagai bahan kain ketimbang linen. Thomas Jefferson menulis rancangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat di atas kertas dari serat ganja. Serat ganja juga digunakan Amerika Serikat sepanjang Perang Dunia II, sebagai bahan untuk seragam, kanvas, dan tali.
Lebih lanjut Patri menjelaskan, nasib ganja sebagai bahan baku berbagai kebutuhan manusia mulai terancam pada akhir 1930-an ketika DuPont, sebuah perusahaan besar di Amerika Serikat, menemukan serat sintetis. Lalu DuPont melobi pemerintah agar ganja masuk ke dalam narkotika golongan 1. Tujuannya untuk menjatuhkan produk-produk berbahan dasar ganja yang kemudian digantikan dengan nilon hasil temuannya. Penggolongan ganja ke dalam narkotika golongan I itu kemudian disepakati secara internasional dalam Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961 bersama dengan opium dan koka. Konvensi itu diratifikasi berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak saat itu pula kepemilikan dan pengunaan ganja—bahkan dalam kuantitas kecil—bisa dikriminalkan dengan hukuman penjara.
10 Keajaiban Medis Mariyuana
Ganja bila disalahgunakan bisa merusak kesehatan. Tapi dalam dosis yang tepat, tumbuhan yang satu ini bisa menyelamatkan nyawa manusia dari berbagai jenis penyakit. Berikut manfaat ganja yang telah dibuktikan oleh sains
Foto: Novartis Vaccine
Mencegah Serangan Epilepsi
Tahun 2013 lalu peneliti Virginia Commonwealth University menemukan senyawa dalam mariyuana bisa mencegah serangan Epilepsi. Studi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics, itu menyebut senyawa Cannabinoids bekerja dengan mengikat sel otak yang bertanggungjawab mengatur rangsangan dan rasa tenang pada manusia.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Sultan
Meringankan Glaukoma
Sejak lebih dari sepuluh tahun silam National Eye Institute di Amerika Serikat telah menyarankan penggunaan ganja untuk mengurangi gejala Glaukoma. Penyakit ini memicu pembesaran bola mata yang kemudian menekan saraf mata dan menyebabkan gangguan penglihatan. Mengkonsumsi ganja dengan menghisapnya, menurut NEI, dapat meringankan tekanan pada saraf mata.
Foto: picture-alliance/dpa/Leukert
Memerangi Alzheimer
Sebuah studi yang dipublikasikan di The Journal of Alzheimer’s Disease mengungkap, dosis kecil Tetrahydrocannabinol, senyawa yang terdapat di dalam tumbuhan mariyuana, dapat memperlambat pembentukan plak amiloid yang membunuh sel otak dan bertanggungjawab atas penyakit Alzheimer. Selama eksperimen peneliti menggunakan minyak cannabis.
Foto: Colourbox
Membunuh Kanker
Pemerintah Amerika 2015 silam akhirnya mengakui khasiat Mariyuana memerangi penyakit Kanker. Sebelumnya sebuah studi yang dipublikasikan di situs pemerintah cancer.org mengungkap senyawa Cannabinoids mampu membunuh sel Kanker dan memblokir sejumlah pembuluh darah yang dibutuhkan Tumor untuk tumbuh. Cannabinoids antara lain efektif mengobati penyakit kanker usus, kanker payudara dan kanker hati
Foto: Imago/Science Photo Library
Redam Efek Kemoterapi
Berbagai studi mengungkap ganja sangat efektif meredakan dampak samping kemoterapi, yakni rasa mual, muntah dan hilang nafsu makan. Badan Pengawas Obat AS, FDA, sejak beberapa tahun telah mengizinkan terapi obat-obatan berbasis Cannabinoid untuk pasien kanker yang menjalani Kemoterapi.
Foto: Frederic J. Brown/AFP/Getty Images
Meredakan Penyakit Autoimun
Autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh manusia membunuh sel-sel sehat ketibang memerangi penyakit. Hasilnya organ tubuh sering diserang radang. Tahun 2014 silam peneliti dari University of South Carolina menemukan senyawa THC di dalam ganja mampu mengubah molekul dalam DNA yang bertanggungjawab mempercepat proses peradangan. Sejak saat itu Cannabis digunakan untuk merawat pasien Autoimun.
Foto: bzga
Melindungi Otak
Peneliti dari University of Nottingham berhasil membuktikan bahwa ganja mampu melindungi otak dari kerusakan yang disebabkan serangan stroke. Studi tersebut menyebut ganja membatasi area di dalam otak yang terkena dampak stroke. Kendati belum diuji klinis, temuan tersebut memperkuat teori lain bahwa mariyuana juga mampu meminimalisir kerusakan akibat trauma atau geger otak.
Foto: Colourbox
Menghambat Sklerosis Ganda
Sklerosis Ganda adalah gangguan pada sistem kekebalan tubuh yang merusak lapisan lemak pelindung saraf manusia. Akibatnya saraf mengeras dan menyebabkan kejang-kejang yang memicu rasa sakit luar biasa. Sebuah studi yang dipublikasikan di Canadian Medical Association Journal tahun lalu menyebut Cannabis dapat meringankan gejala kejang pada pasien Sklerosis Ganda.
Foto: picture-alliance/dpa
Meringankan Rasa Sakit
Sebagian penderita Diabetes mengalami kerusakan saraf di bagian kaki dan tangan. Gejalanya adalah rasa terbakar di bagian tubuh tersebut. Belum lama ini peneliti University of California menemukan Cannabis efektif meringankan rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan saraf. Namun hingga kini Badan Pengawasan Obat AS, FDA, belum memberikan lampu hijau buat terapi ganja untuk pasien Diabetes
Meringankan Efek Samping Hepatitis C
Serupa obat Kanker, terapi obat buat meredam Hepatitis C picu efek samping seperti lelah, mual, otot pegal, kehilangan nafsu makan dan depresi. Namun studi yang diterbitkan di European Journal of Gastroenterology and Hepatology, mengungkap lebih dari 86% pasien mampu menuntaskan terapi Hepatitis C dengan mengkonsumsi ganja. Cannabis diyakini mampu meredam efek samping terapi Hepatitis C
Foto: Novartis Vaccine
10 foto1 | 10
Mengutip laporan Murizal Hamzah di koran Sinar Harapan edisi 2 Juli 2008, masyarakat Indonesia mengenal ganja pada abad ke-19, setelah Belanda sengaja mendatangkan tanaman ganja dari India ke Aceh sebagai penghalau hama kopi di Gayo, Aceh Tengah. Ganja juga digunakan untuk melindungi tanaman tembakau dari hama ulat dengan ditanam berdampingan. Sisa daun ganja yang digunakan untuk membalut tembakau agar tetap kering dan tidak berulat ditemukan dibuang begitu saja di Pasar Aceh yang bersisian dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh hingga 1945 .
Masyarakat Aceh sendiri memandang ganja sebagai tanaman multiguna untuk mengendalikan gulma, hama, dan penyakit-penyakit pada tanaman utama seperti tembakau, cabai, atau tanaman budidaya lainnya. Oleh karena itu, untuk melindungi tanaman utamanya, seluruh lapisan petani menjadi penanam ganja. Selain untuk menghalau hama, sebagian masyarakat Aceh memanfaatkan biji ganja sebagai bumbu masak untuk jenis masakan tradisional tertentu. Ganja ketika itu tidak dibudidayakan secara khusus sebagai tanaman komersial.
Jerman Izinkan Mariyuana Dengan Resep Dokter
00:47
Nilai ekonomi ganja di Indonesia jauh di bawah tembakau
Sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika PBB 1961 pada 1976, nilai ekonomi ganja di Indonesia jauh di bawah tembakau dan kopi serta hanya menjadi penghalau hama kedua tanaman itu. Pascapengesahan kebijakan tersebut, ganja mulai dibudidayakan, menjadi tanaman utama, serta bernilai jauh di atas kopi dan tembakau.
Sebagai gambaran, berdasarkan penelusuran Patri, pada 2006, harga kopi Arabika per kilogram di Sumatera Utara Rp 22.635, Robusta Rp 9.802 ; daun tembakau per kilogram Rp 7.580 ; dan ganja kering per kilogram dari kebun Rp 300.000. Di pasar lokal Aceh harga ganja kering bisa menjadi Rp 700.000, dan setibanya di pasar Jakarta harganya menjadi Rp 2,2 juta. Perbedaan harga tembakau-kopi dan ganja sangat mencolok, sekitar 30 kali lipat.
Dengan nilai jual yang sangat tinggi, ganja menjadi komoditas yang menggiurkan banyak orang, dan kemudian menjadi bisnis sindikat yang melibatkan banyak pihak. Harus diingat sekali lagi, ganja jadi menarik dijadikan bisnis sindikat ketika harganya melambung tinggi karena adanya pelarangan tanaman itu. Ketika hal itu terjadi, potret yang terlihat sangat buram: ribuan orang menghabiskan hidup di penjara antara 5 sampai 20 tahun, karena aktivitas yang berkaitan dengan ganja, baik memiliki, menggunakan, atau menjual. Sebagian besar dari para terpidana itu bukanlah bandar-bandar besar, tetapi orang-orang miskin yang memilih masuk ke dalam lingkaran sindikat kriminal, apakah sebagai penanam atau kurir. Juga perlu dicatat, sebelum ada aturan yang mengkriminalkan ganja, tidak pernah ada catatan sejarah tentang kasus-kasus kriminal besar atau kasus-kasus gangguan kesehatan akibat ganja.
Bisnis Ganja Para 'Biarawati'
Mereka bukan suster biasa. Mereka tak berafiliasi pada agama apapun. Para perempuan berpakaian biarawati yang tergabung dalam "Sisters of the Valley" ini bekerja dalam misi untuk penyembuhan lewat produk ganja.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Bertanam ganja
Dekat kota Merced di sebuah lembah di tengah California, para 'biarawati' yang tergabung dalam "Sisters of the Valley" ini bukan hanya bercocok tanam buah, sayur dan kacang-kacangan. Mereka juga bertanam dan memanen: ganja.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Bukan biarawati biasa
Mereka bukanlah biarawati biasa yang dikenal akrab dengan ruang lingkup gereja Katholik. Meski berhaluan monatisisme, para biarawati tidak termasuk dalam ordo Katolik manapun, Namun para perempuan ini saling memanggil rekannya dengan istilah 'suster' atau saudara perempuan lebih karena kebiasaan. Persaudaraan itu berdiri sejak tahun 2014.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Dari 'Sister Occupy' menjadi Suster Ganja
Tokoh di balik 'sisterhood' ini adalah Suster Kate yang bernama asli Christine Meeusen. Ia berpakaian ala biarawati Katholik, bergabung dengan gerakan protes Occupy Wall Street di AS tahun 2011. Ia mendorong orang-orang agar menaruh perhatian pada isu-isu publik.
Foto: Reuters/L.Nicholson
Menasbihkan diri sendiri
Para ‘suster’ ini menasbihkan diri mereka sendiri sebagai sekelompok biarawati, tapi tidak terkait dengan agama mana pun. Mereka menanam ganja yang nantinya dipanen dan dijual sebagai obat. Mereka mengklaim kalau produk yang mereka jual 100 persen organik. Produk yang mereka buat dari daun ganja pilihan dapat mengobati berbagai penyakit,
Foto: Reuters/L. Nicholson
Lima elemen
"Ketika orang mengatakan, 'Toh, mereka bukan biarawati sejati,' jawab Suster Kate: tidak ada biarawati. Mereka punah di negeri ini. "Jika Anda mencari apa yang mendorong persaudaraan perempuan, ada lima elemen ... Kita hidup bersama, kita mengenakan pakaian yang sama, kita bersumpah untuk mematuhi siklus bulan, kita bersumpah demi kesucian dan ekologi.”
Foto: Reuters/L. Nicholson
Mengeringkan daun ganja
Daun-daun ganja ini mereka keringkan sebelum diproduksi.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Produk-produk berbasis ganja
Suster Freya membuat salep dan tonik dari bahan cannabidiol CBD yang memiliki sifat analgesik, anti-inflamasi dan anti rasa cemas. Para 'biarawati ganja' ini menjelaskan bahwa daun dan galur mariyuana, memiliki tingkat Tetrahydrocannabinol (THC) yang sangat rendah.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Dikemas kecil-kecil
Minyak dan kandungan CNB dari ganja saat dikemas di dalam wadah kecil sebelum dipasarkan. Produk-produk mereka juga dijual lewat online ke Kanada.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Obat migran dan penyakit lainnya
Namun, para “suster” ini mengatakan tidak pernah memproduksi zat THC yang dapat menyebabkan penggunanya mabuk. Mereka membuat minyak CBD yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit di antaranya migrain, pusing, sakit telinga, dan sakit gigi.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Keuntungan dari bertanam ganja
Saat ini, Sisters of the Valley menjalankan toko yang sangat sukses yang menjual produk ganja di Etsy, dengan hasil penjualan setinggi US$ 40.000 per bulan. mereka meraup keuntungan ratusan ribu dollar AS pada tahun 2016. Keuntungan disumbangkan ke berbagai pihak dan diinvestasikan kembali dalam produk untuk pembibitan.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Umat Katholik mentolerir para 'biarawati' ini?
Lebih dari dua lusin negara bagian AS telah melegalkan beberapa bentuk ganja untuk penggunaan medis atau rileksasi, namun obat tersebut tetap ilegal di tingkat federal. Kalifornia melegalkan penggunaan ganja untuk rileksasi pada November 2016. “Sejauh ini, umat Katolik memahami apa yang sedang kami lakukan," klaim Suster Kate.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Pantang mundur
Bisnis “biarawati” ini terancam ditutup akibat rencana pelarangan pertanian ganja di wilayah Mercer, Kalifornia.Pemerintahan Donald Trump dan Jaksa Agung Jeff Sessions, pengkritik legalisasi ganja, telah jadi kekhawatiran beberapa industri ganja yang baru dilegalkan di negara ini. Tapi "biarawati gulma" itu mengatakan bahwa pemerintahan baru tak kendurkan tekad mereka.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Produk lainnya
Tak hanya minyak, tonik dan salep, ada pula produk lain ynag diproduksi para 'Sistes of the valley' ini. Sabun ini juga terbuat dari bahan mariyuana. Namanya: Sabun Kudus.
(Ed:Purwaningsih/Farid)
Foto: Reuters/L. Nicholson
13 foto1 | 13
Melalui bukunya itu, Patri menyimpulkan, dengan pelarangan dan pemberantasan ganja dengan anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun, negara bukannya melindungi warganya dari jerat narkoba, malah memberikan kendali perdagangan ganja kepada sindikat narkoba. Seharusnya, usul Patri, negara meninjau ulang aturan tentang ganja, dengan melihat sejarah dan penelitian-penelitian terkini tentang tanaman itu. Salah satu usulnya yang menarik, jika ganja tidak dilarang dan dibiarkan tumbuh liar, maka nilai ekonominya akan nol. Ketika ganja tidak memiliki nilai ekonomi, otomatis ganja tidak menarik lagi dijadikan bisnis, dan pada akhirnya sindikat kriminal akan kehilangan pasokan uang yang sangat besar.
Patri Handoyo adalah satu dari sedikit orang yang berani memberikan argumentasi dan narasi lain tentang ganja, sebagai tandingan narasi dari pemerintah. Selain Patri, ada juga aktivis-aktivis lain yang mengkampanyekan pelegalan ganja, terutama untuk tujuan medis.
Para aktivis itu sempat mendapatkan momentum dalam kasus Fidelis Ari Sudewarto pada tahun 2017. Saat itu Fidelis ditangkap dan ditahan Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menanam ganja di halaman belakang rumahnya. Fidelis memproses ganja itu untuk diambil ekstraknya sebagai obat bagi istrinya, Yeni Riawati yang menderia syringomyelia, yaitu tumbuhnya kista berisi cairan atau syrinx di dalam sumsum tulang belakang. Selama dalam perawatan Fidelis, Yeni bisa bertahan hidup. Ketika Fidelis ditangkap dan Yeni tidak ada yang mengobati, perempuan itu meninggal dunia. Yang paling menjadi korban adalah dua anak pasangan itu, mereka kehilangan dua orangtuanya sekaligus: Fidelis dipenjara karena mengobati Yeni, dan akibatnya Yeni meninggal karena tidak ada yang meneruskan pengobatan dengan ganja itu.
Berbagai upaya advokasi terhadap Fidelistak membuahkan hasil yang diharapan. Bahkan pejabat-pejabat tinggi negara—misalnya Menteri Kesehatan Nila Moeloek--yang mengatakan tak ada bukti ganja berguna untuk kesehatan seperti diberitakan di Tempo. Tapi di saat yang sama juga tak ada hasil penelitian yang bisa diajukan bahwa ganja berbahaya bagi kesehatan. Atau dengan kata lain, tidak ada penelitian tentang ganja baik tentang manfaat atau mudaratnya.
Lalu bagaimana sesuatu yang tak pernah diteliti dianggap berbahaya dan yang menggunakannya malah dipenjara? Patri Handoyo sudah menjelaskan di dalam bukunya, juga banyak referensi lain yang bisa kita dapatkan secara online tentang sejarah pelarangan ganja, misalnya artikel di Huffington Post .
Pengadilan tetap memvonis Fidelis bersalah dan menghukumnya delapan bulan penjara.
Menyibak Surga Ganja di India
01:33
This browser does not support the video element.
Apa makna hukuman itu bagi kita?
Bahwa ternyata di negara ini, hukum bisa dibuat bahkan disertai sanksi yang berat, tanpa argumen ilmiah. Dan hukum itu pula yang telah mengirim ratusan ribu orang ke dalam penjara—sebagian besar di antaranya adalah pemakai (karena keyakinan mereka bahwa ganja adalah obat dan juga mereka yang menggunakannya untuk rekreasi) dan para perantara atau bandar kecil. Tentang bagaimana seseorang meyakini ganja sebagai obat karena sudah merasakan khasiatnya, juga bagaimana sebenarnya kalangan medis di Indonesia juga menginginkan adanya penelitian tentang hal itu.
Selanjutnya, ancaman negara bukan saja kepada para pengguna, tapi juga kepada mereka yang mengkampanyekan pelegalan ganja. Bahkan tahun lalu Kepala Badan Narkotika Nasional saat itu, Budi Waseso, tegas menyatakan legalisasi ganja untuk keperluan medis tidak boleh terjadi di Indonesia, dan mereka yang mengkampanyekannya dia tuding sebagai pengkhianat bangsa. Pernyataan itu, menurut saya, menunjukkan dua hal: pertama, negara melalui aparatnya menyatakan menutup mata atas kemungkinan-kemungkinan lain dari ganja, kedua aparat mengancam siapa pun yang mengkampanyekan pelegalan ganja baik secara hukum maupun di luar hukum.
Istilah pengkhianat bangsa yang digunakan Budi Waseso mengingatkan saya akan tragedi 1965 di negeri ini. Jargon pengkhianat bangsa ditudingkan kepada siapa pun yang terlibat dengan PKI, dan ujung-ujungnya ratusan ribu orang mati dibunuh bangsanya sendiri, dan ribuan lainnya dipenjara tanpa pengadilan. Apakah itu yang diinginkan aparat negara terhadap para aktivis pelegalan ganja?
Saat saya menulis artikel ini senat Kanada baru saja menyetujui usulan pemerintahan Justin Trudeau untuk melegalkan ganja di Kanada. dan di bulan sebelumnya, Uruguay jadi negara pertama di dunia yang sepenuhnya melegalkan ganja. Saya tidak melihat Indonesia bisa segera membuka mata untuk hal itu. Sebabnya, bukan saja pemerintahnya tidak progresif, tapi juga karena stigma akan ganja sudah kadung diyakini oleh mayoritas warga—yang malas menyimak, juga malas membaca.
Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz)
Jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Inilah Wujud Desa Ganja di India
Selama ratusan tahun sebuah desa kecil di kaki pegunungan Himalaya menanam ganja sebagai sumber pemasukan utama. Kini nama desa Malana melegenda di kalangan penggemar mariyuana.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. R. Jain
Tenar dan Terpencil
Bertengger di punggung bukit lembah Kullu yang subur, Malana dulu cuma bisa dicapai dengan berjalan kaki selama empat hari dari jalan terdekat. Peraturan dan tradisi desa merujuk pada ajaran dewa Jamlu. Penduduk memilih parlemen dan menyelesaikan perkara di antara mereka lewat pengadilan desa. Hingga beberapa tahun silam kehadiran orang asing akan memicu sikap antipati.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. R. Jain
Mendunia Berkat Ganja
Tapi Malana tidak lagi tersembunyi. Selama berabad-abad, penduduk menanam tanaman yang membuat nama Malana melegenda di kalangan penggemar ganja. Desa itu juga menjadi ladang pertaruhan untuk pemerintah India yang tengah berperang melawan "Charas," getah ganja berwarna hitam dan lengket yang membuat nama Malana mendunia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. R. Jain
Tradisi Kaum Saiwa
Sejak 1985 pemerintah India melarang peredaran ganja. Kepemilikan satu kilogram Charas misalnya akan dihukum paling minim sepuluh tahun penjara. Sebelumnya penjualan Charas dan opium diperbolehkan sejak era kolonialisme Inggris. Pasalnya Charas adalah bagian tak terpisahkan dari budaya dan ritual kaum Saiwa, komunitas agama terbesar kedua di India.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. R. Jain
Hanya Ganja di Himalaya
Tapi jauh di utara penduduk telah menanam ganja sejak ratusan tahun. Mereka berdalih marijuana sudah menjadi bagian dari tradisi. Terlebih ganja adalah satu-satunya produk agrikultur yang mereka bisa tanam di lahan tandus pegunungan Himalaya dengan cuaca yang tak kalah bengis. Meski demikian polisi berulangkali datang buat membakar hasil panen yang mereka tanam.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. R. Jain
Pelancong Hijau
Terutama "Malana Cream" - minyak getah ganja yang dibuat dari tanaman berbibit unggul - membuat nama desa kecil ini mendunia. Reputasi tersebut memicu kedatangan turis asing dan lokal ke desa terdekat di lembah Parvati. Kebanyakan turis datang untuk menjajal getah ganja yang segar dan tergolong berkualitas paling baik di dunia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. R. Jain
Ramai Panen Ganja
Banjirnya konsumen mengubah kehidupan desa. Tahun 2016 pemerintah lokal memperkirakan terdapat 240 hektar lahan ganja dengan hasil panen mencapai 12.000 kilogram. Jumlah aslinya diyakini jauh lebih tinggi mengingat banyaknya lahan tersembunyi di kaki-kaki gunung yang sulit dicapai oleh aparat keamanan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. R. Jain
Kucing-kucingan dengan Kepolisian
Menyusul presekusi oleh kepolisian, pemerintah lokal menghimbau penduduk untuk memindahkan lahan ganjanya ke tempat yang lebih terpencil. Kendati upaya yang serius, bisnis ganja di Malana tidak berkurang. Sebab itu politisi lokal mendesak pemerintah pusat untuk mencari pendekatan lain dan serius menyediakan prespektif kerja yang lebih baik untuk penduduk.