1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menuju Pelucutan Senjata Kimia Suriah

Agus Setiawan27 September 2013

Amerika Serikat dan Rusia menyepakati draft resolusi terkait rencana pelucutan senjata kimia milik Suriah. Perkembangan itu mendorong pengawas kimia dunia menggelar pertemuan untuk membahas teknis pelaksanaannya.

Foto: picture-alliance/dpa

“Pertemuan dewan eksekutif untuk mendiskusikan draft mengenai penghapusan senjata kimia Suriah berlangsung Jumat malam di Den Haag,” demikian pernyataan Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPWC) dalam website mereka.

41 anggota dewan OPWC akan mendiskusikan dokumen yang disebut oleh Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry sebagai “acuan dan peraturan” pelucutan senjata kimia Suriah, yang telah ditandatangani oleh Damaskus.

Suriah sepakat untuk menyerahkan senjata kimianya sebagai bagian dari kesepakatan antara AS dengan Rusia yang dibuat pada awal bulan ini, yang telah membuat Washington membatalkan ancaman aksi militer sebagai balasan atas serangan senjata kimia yang dituduh telah dilakukan pemerintah Suriah ke kubu oposisi pada 21 Agustus lalu di luar ibukota Damaskus.

Naskah mengenai pelucutan senjata itu “memutuskan jika terjadi ketidakpatuhan dengan resolusi ini, termasuk pemindahan senjata kimia tanpa ijin atau penggunaan senjata kimia lainnya oleh siapapun di Republik Arab Suriah, “ maka Dewan Keamanan bisa mengambil langkah berdasarkan pasal VII Piagam PBB.

Pasal yang dimaksud itu memperbolehkan sanksi atau penggunaan kekuatan militer. Tapi harus ada pengambilan keputusan baru dan para diplomat memperkirakan bakal merupakan tugas yang sulit untuk mendekati Rusia agar tidak menggunakan hak vetonya lagi.


Oposisi kecam ekstrimis

Sementara itu, tokoh kunci pimpinan oposisi dari organisasi Koalisi Nasional Oposisi Suriah yakni Ahmad Jarba, mengecam para ekstrimis yang ia sebut telah mencoba “mencuri revolusi kami”, dan menyalahkan rezim yang mendukung mereka.

Ia menyampaikan komentar ini di New York dalam pidato di depan para perwakilan “Sahabat Suriah” – sebuah organisasi internasional yang mendukung para pemberontak untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.

“Rakyat Suriah mendukung perdamaian dan moderasi, toleransi dan ko-eksistensi,“ kata Jarba.

"Fenomena ekstrimisme muncul dengan dukungan dan rencana dari rezim, yang berjudi mengubah revolusi bagi kebebasan ini menjadi sebuah perang saudara dan konflik sektarian,” tambah dia.

Rezim Suriah “menciptakan dan mempersenjatai sejumlah organisasi teroris dan memberi mereka sebuah tempat…” kata dia.

“Kelompok lain datang menyeberangi perbatasan untuk mencuri revolusi kami.”

Kegagalan dunia

Para jihadi dari luar Suriah yang tidak diketahui pasti jumlahnya telah bergabung dengan kelompok jihadi pemberontak yang berafiliasi kepada Al-Qaeda seperti Front Al-Nusra dan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL).

Mereka termasuk diantaranya berasal dari Eropa, Timur Tengah dan Chechnya.

Para pemberontak awalnya menyambut kelompok jihadi dan para jihadi asing yang bergabung dengan mereka, karena membutuhkan senjata dan pengalaman bertempur.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, hubungan diantara mereka semakin menegang, khususnya antara ISIL dengan kelompok pemberontak non jihadi, di mana dalam sejumlah kesempatan mereka bentrok satu sama lain.

Pekan ini, sejumlah batalyon terbesar non-jihadi membentuk sebuah aliansi yang menyertakan Al-Nusra, dan mengumumkan penolakan mereka atas Koalisi yang dikepalai oleh Jarba.

Dalam pertemuan di PBB, Jarba mengatakan bahwa ekstrimisme ”telah berkembang karena perbedaan diantara komunitas internasional, yang telah gagal dalam menunaikan tugas mereka terhadap rakyat Suriah”.

Kelompok oposisi berulangkali menyerukan para pendukung internasional mereka untuk menyediakan senjata, tapi Barat enggan memenuhi permintaan itu karena takut bahwa senjata-senjata itu akan jatuh ke tangan kelompok seperti Al-Nusra, yang terdaftar sebagai organisasi teroris di banyak Negara Barat.

ab/hp (afp,ap,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait