Menuntut Langkah Konkret dari Konferensi Iklim di Katowice
3 Desember 2018
KTT Perubahan Iklim ke 24 (COP24) dimulai di Katowice, Polandia. Terutama negara-negara yang sangat terancam perubahan iklim menuntut langkah konkret dari negara-negara industri.
Iklan
Di Konferensi Iklim Internasional COP24 yang berlangsung di Katowice, para pemimpin negara-negara berisiko terhadap pemanasan global seperti Fiji, Nigeria dan Nepal akan menuntut pemenuhan janji-janji yang sudah disepakati dalam kesepakatan iklim Paris tahun 2015. dari Indonesia haris Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta delegasi.
Kesepakatan Paris setuju untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celsius dan, jika memungkinkan, di bawah 1,5 derajat Celcius. Salah satu topik yang paling sengit diperdebatkan adalah, siapa yang akan membiayai langkah-langkah pencegahan perubahan iklim yang lebih parah?
Di Katowice, salah satu pusat penambangan batubara di Polandia, delegasi dari hampir 200 negara selama dua minggu akan melakukan negosiasi untuk menyusun langkah-langkah konkret tentang cara mencapai target itu. terutama metode verifikasinya.
Sengketa utama soal pendanaan
Dalam Kesepakatan Paris, negara-negara industri kaya - yang secara statistik paling bertanggung jawab atas sebagian besar emisi gas rumah kaca - diharapkan menyumbangkan dana ke dalam kas bersama yang bisa diakses oleh negara-negara berkembang untuk menjadikan ekonomi mereka "lebih hijau".
Bank Dunia hari Senin (3/12) mengumumkan telah menganggarkan dana senilai 200 miliar dolar AS untuk investasi dalam aksi-aksi iklim untuk periode 2021-25. Langkah ini diharapkan bisa mendukung inisiatif hijau yang dilakukan negara-negara.
Namun KTT Iklim di Katowice dibayangai oleh keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mundur dari kesepakatan Paris. Selain itu, kondisi Bumi yang akhir-akhir ini dilanda berbagai bencana seperti kebakaran hutan, kegagalan panen dan amukan badai hebat.
"Kegagalan untuk bertindak sekarang ini berisiko mendorong kita melewati sebuah point of no return, dengan konsekuensi bencana bagi kehidupan sebagaimana kita alami akhir-akhir ini," kata Amjad Abdulla, kepala negosiator di COP24 untuk Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil.
Peringatan keras
Panel ahli iklim PBB sendiri bulan Oktober lalu mengeluarkan peringatan paling keras mengenai bahaya perubahan iklim. Untuk untuk mencapai target 1.5 derajat Celcius sampaiakhir abad ini, emisi dari penggunaan bahan bakar fosil harus ditekan sampai setengahnya pada tahun 2030, kata para ahli.
Tuan rumah Polandia adalah salah satu dari banyak negara yang masih sangat bergantung pada batu bara, dan ingin agar peran batubara dan bahan bakar fosil bagi perekonomian tetap dibahas.
Polandia ingin agar deklarasi akhir sedikitnya memuat seruan kepada negara-negara untuk "mengenali tantangan yang dihadapi oleh wilayah, kota dan daerah dalam transisi dari bahan bakar fosil ... dan pentingnya untuk memastikan masa depan yang layak bagi para pekerja yang terkena dampak transisi."
Ketua Majelis Umum PBB Maria Espinosa mengatakan, pilihan antara iklim atau pekerjaan itu salah.
"Masyarakat perlu beradaptasi, mereka perlu memahami, jika tidak kita akan berada dalam masalah besar, sebab yang dipertaruhkan saat ini adalah kelangsungan hidup manusia dan planet ini," katanya kepada kantor berita AFP.
Fiji - Firdaus Dalam Bahaya
Fiji dulu identik dengan surga tropis. Tapi pemanasan global dan badai parah kini mengancam keberadaan kepulauan itu. Fotografer kelahiran Fiji Aaron March menangkap situasi kritis tempat lahirnya.
Foto: DW/A. March
Firdaus dalam bahaya
Terumbu karang di Pulau Mamanuca di Fiji adalah tujuan impian para penyelam. Tapi menyelam melalui air jernih dan ikan berwarna akan makin langka. Karena meningkatnya suhu samudra mematikan terumbu karang di Fiji. Hilangnya ekosistem yang rapuh berdampak buruk bagi perikanan dan pariwisata - dua sumber pendapatan utama negara ini.
Foto: DW/A. March
Erosi pantai
Dua gadis berjalan menyusuri pantai di desa Namatakula. Badai dan naiknya permukaan air laut telah menyapu sebagian besar pantai di selatan pulau Viti Levu. Pohon palem, yang membantu melindungi pantai dari erosi, telah tercabut saat air laut naik. Untuk melawan dampak perubahan iklim, penduduk desa mendirikan kelompok lingkungan dan membahas apa yang bisa mereka lakukan sendiri.
Foto: DW/A. March
Sebuah desa berjuang menghadapi perubahan iklim
Melihat permukaan air laut naik dan badai mengikis pantai, penduduk desa Namatakula memutuskan untuk bertindak. Tahun 2017 mereka mendirikan proyek pemuda masyarakat untuk menangani pembangunan ramah lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Fokusnya pada upaya pembersihan dan mekanisme penanganan, seperti penanaman pohon. Anggota proyek ini hadir di Konferensi Iklim COP23 di Bonn, Jerman.
Foto: DW/A. March
Relokasi desa
Pada Februari 2016, Topan Winston menghantam desa Vunisavisavi di pulau terbesar kedua di Fiji, membanjiri sebagian besar pantai dan menghancurkan bangunan. Sejak itu, laut terus merayap naik. Lahan desa secara rutin dibanjiri air asin dan rumah-rumah roboh ketika air pasang. Banyak keluarga meninggalkan rumah mereka atau dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi.
Foto: DW/A. March
Pindah ke tempat yang lebih tinggi
Sepesa Kilimo Waqairatavu adalah salah satu penduduk desa dari Vunisavisavi yang mempertimbangkan untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi. Anggota keluarganya pindah setelah rumah mereka rusak pada 2016. Pindah ke lokasi yang lebih tinggi dan lebih jauh dari pantai memang menawarkan perlindungan yang lebih baik.
Foto: DW/A. March
Meninggalkan tanah leluhur
Banyak tetua desa Vunisavisavi menolak meninggalkan rumah mereka. Karena percaya bahwa nenek moyang mereka telah mempercayakan tanah itu kepada mereka untuk dilindungi. Namun penduduk tertua, Maria Lolou Waqairatavu yang berusia 85 tahun, memutuskan untuk pindah pada Mei 2016. Di foto ini dia bersama cucunya di rumah baru yang dibiayai dari bantuan pembangunan AS.
Foto: DW/A. March
Hilangnya atraksi wisata
Coral Coast adalah tujuan liburan yang populer di pulau Viti Levu. Terkenal dengan terumbu karangnya yang luas dan dangkal, yang mudah dijangkau dari pantai. Tapi kenaikan suhu air laut telah merusak terumbu, memusnahkannya di beberapa bagian. Industri pariwisata khawatir, tanpa karang wisatawan tidak akan datang lagi.
Foto: DW/A. March
Pulau Fantasi menggantikan pulau yang lama
Seiring hilangnya terumbu karang hilang, para pengembang Fiji mulai mencari cara untuk membuat wisatawan datang lagi. Salah satu solusinya adalah pulau buatan. Contohnya Pulau Fantasi dari reklamasi tanah dari laut. Dengan membuat saluran besar dan mengubah "lahan rawa kurang produktif" menjadi lahan tepi pantai, proyek ini berhasil menarik serangkaian resor bintang lima. Ed.: hp/ml
Foto: DW/A. March
8 foto1 | 8
Perlu upaya serius, bukan trik-trik politik
Tapi bagi beberapa negara, waktu untuk beradaptasi dengan efek perubahan iklim sudah tidak ada lagi, karena mereka sudah langsung berhadapan dengan dampaknya.
Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama, Ketua penyelenggara Konferensi Iklim COP23 tahun lalu di Bonn mengatakan, COP24 di Katowice sekarang harus menghasilkan "transisi yang adil untuk semua orang, terutama yang paling rentan terhadap perubahan iklim."
Patti Lynn, direktur eksekutif kelompok kampanye Corporate Accountability menegaskan, negara-negara sekarang harus menyetujui penurunan emisi gas rumah kaca yang sudah disepakati di Paris.
"Kami membutuhkan solusi serius dari para pemimpin, bukan skema-skema berbahaya dan trik-trik politik yang bertujuan untuk membiarkan para pencemar besar tetap mencemari (udara)," tandasnya.
Paviliun Indonesia di Konferensi Ikilm Bonn
Dengan mengusung sejumlah isu dan tema perlindungan iklim, Indonesia tampil dengan paviliun bergengsi di arena COP 23 di Bonn. Berseberangan dengan paviliun tuan rumah Jerman dan presiden konferensi iklim COP23, Fiji.
Foto: DW/A. Setiawan
Tampil di Lokasi Bergengsi
Lokasinya tepat berseberangan dengan paviliun tuan rumah Jerman dan presiden konferensi iklim tahun 2017, Fiji. Di paviliun Indonesia juga siap digelar sejumlah pembahasan tema utama, seperti deforestasi, lahan gambut, kawasan hutan mangrove dan target penurunan emisi hingga 2020.
Foto: DW/A. Setiawan
Diresmikan Ketua Delegasi Indonesia
Paviliun yang akan menjadi wajah Indonesia selama berlangsungnya konferensi iklim COP23 di Bonn dari 6.11 hingga 17.11 diresmikan ketua delegasi Indonesia, Dr. Nur Masripatin. Selain peresmian dengan pemukulan gong, juga dilakukan acara pemotongan tumpeng. Sekitar 400 "stake holder" dari Indonesia mengikuti keonferensi iklim COP23 di Bonn, Jerman.
Foto: DW/A. Setiawan
Diramaikan Musik Angklung Nusantara
Warga Indonesia di Bonn tampil dengan musik angklung dan nyayian Indonesia mengiringi pembukaan paviliun. Pavilin Indonesia juga menampilkan berbagai produk ekspor unggulan serta kekayaaan alam.
Foto: DW/A. Setiawan
Lindungi Iklim Dengan Target Ambisius
Indonesia berkomitmen pada konvensi iklim Paris 2015 dengan target penurunan emisi CO2 secara sukarela sebesar 29 perse hingga tahun 2030. Jika program didukung dengan pendanan internasional, target penurunan emisi CO2 bahkan dinaikkan menjadi sebesar 41 persen. Sebagai negara kepulauan, Indonesia diakui rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Foto: DW/A. Setiawan
Mengerem Laju Pemanasan Global
Dunia lebih cerdas dengan aksi kreatif untuk hadapi perubahan iklim. Motto ini terutama akan diwujudkan lewat komitmen Indonesia di bidang kehutanan, pertanian, energi, pengolahan limbah dan proses industri. Indonesia yang negara kepulauan, juga terancam oleh naiknya muka air laut, sama seperti Fiji. Karena itu targetnya kini menahan kenaikan suhu hanya di kisaran 1,5°C