Sejujurnya, setujukah Anda dengan ditunjuknya KH. Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi dalam pemilu presiden mendatang? Sepakatkah Anda dengan pandangan Sumanto al Qurtuby berikut ini?
Iklan
Teka-teki cawapres Jokowi yang berinisial "M” sudah terjawab. Yaitu Ma'ruf Amin, Ketua Umum MUI dan Rais ‘Aam PBNU. Tetapi bisa jadi dan sangat mungkin ada sejumlah nama yang berinisial "M” yang menjadi pertimbangan Jokowi untuk dipilihnya sebagai cawapres sebelum di detik-detik terakhir beliau menjatuhkan pilihan ke Ma'ruf Amin.
Sejumlah nama berinisial "M” yang cukup santer beredar kala itu termasuk Mahfud MD, Moeldoko, dan juga Muhaimin Iskandar. Bahkan di detik-detik terakhir nama Mahfud yang sangat deras berkibar sebagai "cawapres ideal” Jokowi karena dinilai sebagai figur yang bersih, tegas, moderat, dan nasionalis. Tapi apa lacur.
Konon kabarnya sejumlah partai utama pendukung Jokowi menolak Mahfud. PBNU juga secara terang-terangan terkesan "tidak merestui” Mahfud karena dianggap "tidak 100% NU”. Wal hasil, Mahfud "terpental” dari bursa cawapres Jokowi.
Setelah Mahfud "terpental”, pilihan kemudian jatuh ke Ma'ruf Amin, dan semua parpol pendukung menyetujui dan bersedia tanda tangan mendukung duet Jokowi-Ma'ruf Amin.
Pemilihan Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi menimbulkan pro dan kontra
Ada sejumlah alasan mendasar kenapa mereka pro atau kontra. Yang kontra terhadap Ma'ruf Amin karena beralasan ia sudah uzur, selain tidak memiliki kemampuan dan pengalaman mengelola administrasi-pemerintahan. Bagi mereka, Jokowi butuh pendamping seorang cawapres yang tangguh, kalau bisa muda, fresh dan segar-bugar.
Ada juga yang mengatakan bahwa Ma'ruf Amin adalah seorang kiai dan ulama sehingga tidak pantas menjadi "wakil” umara (pemimpin politik-pemerintahan). Menurut mereka, posisi, derajat, atau status ulama seharusnya berada "diatas” umara yang bertugas menasehati penguasa kalau mereka melenceng dan bertindak tidak benar. Jika ulama itu menjadi bagian dari kekuasaan, lalu siapa yang kelak akan menasehatinya?
Siapa Yang Masuk Bursa Cawapres 2019?
Bursa calon wakil presiden memanas kurang dari setahun menjelang Pilpres 2019. Sejumlah nama besar saat ini diisukan bakal menemani dua calon terkuat, Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Siapa saja?
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mahfud MD
Dari sekian banyak nama yang santer diisukan bakal mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019, Mahfud MD termasuk yang paling berpotensi terpilih. Selain tidak berasal dari salah satu partai koalisi, ia juga memiliki reputasi tak tercela di kalangan pemilih muslim. Mahfud yang pernah aktif di Mahkamah Konstitusi dipercaya bisa membantu pemerintahan Jokowi mengawal penegakan hukum di Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Muhaimin Iskandar
Sejauh ini Cak Imin adalah satu-satunya pemimpin partai yang terang-terangan mendeklarasikan ambisinya merebut kursi cawapres. Kepada Jokowi atau Prabowo politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini menawarkan dukungan kaum muslim NU yang berjumlah mayoritas di Jawa Tengah dan Timur. Meski mendukung Jokowi, Muhaimin juga dikabarkan bermain mata dengan Prabowo untuk dipasangkan dalam Pilpres 2019
Foto: picture-alliance/Pacific Press/A. Ally
Airlangga Hartarto
Serupa Cak Imin, Airlangga Hartarto didaulat sebagai cawapres pendamping Jokowi oleh partainya sendiri, yakni Golkar. Kendati begitu peluang milik putra bekas menteri perindustrian di era Orde Baru, Hartarto Sastrosoenarto, ini diyakini tidak besar. Golkar pun sudah mengumumkan bakal tetap mendukung pemerintahan Joko Widodo, dengan atau tanpa Airlangga Hartarto sebagai pendampingnya.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono
Sri Mulyani
Adalah kinerja dan reputasinya yang menempatkan Sri Mulyani dalam bursa calon wakil presiden. Namanya dikabarkan terjaring dalam daftar bakal cawapres versi PDI-P bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiatsuti. Namun Sri mengaku tidak berambisi menduduki jabatan wakil presiden. Ia hanya berharap kembali dipercaya menggawangi Kementerian Keuangan.
Foto: picture-alliance/AA/S. Corum
TGB Zainul Majdi
TGB banyak mendapat sorotan usai mendeklarasikan dukungannya kepada Joko Widodo pasca Pilkada 2018. Klaim tersebut sontak mengundang kritik dari Partai Demokrat yang menaunginya. TGB masuk dalam bursa cawapres lantaran kedekatannya dengan pemilih muslim. Selain merupakan cucu KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan, Gubernur NTB ini juga berasal dari kalangan cendikia Islam.
Foto: Gemeinfrei
Anies Baswedan
Nama Anies Baswedan adalah yang paling panas dibahas dalam bursa cawapres untuk Prabowo Subianto. Keberhasilannya menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI 2017 dianggap sebagai pencapaian politik yang sekaligus menempatkan namanya untuk menduduki salah satu jabatan tertinggi di tanah air. Anies bahkan digadang-gadang bakal maju sebagai calon presiden, meski tanpa dukungan Gerindra.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Agus Harimurti Yudhoyono
Sejak Pilkada DKI 2017 hingga kini Agus Harimurti Yudhoyono (ki.) sudah bergerilya mencari suara. Ambisi sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono, menempatkan putranya di jabatan tertinggi di dalam negeri membuat Partai Demokrat sibuk mencari rekan koalisi untuk Pilpres 2019. Jika koalisi Gerindra-Demokrat menjadi kenyataan, duet Prabowo dan AHY diyakini bakal menajdi kenyataan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Ahmad Heryawan
Saat ini Ahmad Heryawan sedang mencari pekerjaan baru setelah lengser dari jabatannya sebagai gubernur Jawa Barat. Sebagai politisi PKS, Aher membawa banyak keuntungan pada Prabowo Subianto: Dukungan pemilih muslim, mesin partai yang efektif dan pengalaman birokrasi. Selain Anies, Aher adalah nama yang paling santer diisukan bakal mendampingi Prabowo. rzn/hp (detik, kompas, tirto.id, katadata)
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
8 foto1 | 8
Kelompok lain yang kontra dengan Ma'ruf Amin adalah kaum Muslim moderat-progresif yang selama ini berjuang dan menyuarakan relasi harmoni dan toleran Muslim-non-Muslim. Oleh mereka, Ma'ruf Amin dipandang sebagai sosok ulama yang tidak memiliki komitmen kuat (ini berbeda dengan Gus Mus atau Gus Dur misalnya) dalam membangun spirit toleransi, pluralisme agama, dan hubungan Muslim-non-Muslim yang lebih sehat dan penuh respek. Selain itu, Ma'ruf Amin juga dianggap memiliki kontribusi dalam pengeluaran fatwa haram MUI tentang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme.
Para aktivis Hak Azasi Manusia juga sepertinya kurang bahagia dengan Ma'ruf Amin karena ia dianggap turut andil bagi munculnya berbagai kelompok fanatikus Islamis dan gerakan anti-minoritas agama (termasuk Ahmadiyah, Syiah, Gafatar, dlsb).
Kelompok yang kontra berikutnya adalah para pendukung fanatik mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Kelompok Ahoker, baik yang "garis lunak” apalagi yang "garis geras”, tidak bisa menerima Ma'ruf Amin karena ia dipandang sebagai sosok yang turut bertanggung jawab dalam memobilisasi gerakan politik 212 untuk menggulingkan sekaligus memenjarakan Ahok.
Saya ingin menyebut kubu yang kontra dengan Ma'ruf Amin di atas sebagai "kelompok idealis”. Sementara yang pro atau mendukung Ma'ruf Amin saya sebut sebagai "kelompok pragmatis”.
'Nyoblos' Capres Pilihan
Perang dingin di media sosial, berangkat dengan semangat ke tempat pemungutan suara, penghitungan cepat, pemilu kali ini tampak berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Lebih membuat penasaran dan dinanti.
Foto: Reuters
Tokoh bertolak belakang
Yang satu dari dunia militer, yang satunya lagi dulunya pengusaha mebel. Ketika nama Joko Widodo dicalonkan PDI Perjuangan, ia diduga akan bisa menang mudah. Namun dalam jajak-jajak terakhir, perbandingan suaranya dengan Prabowo Subianto terus mendekat.
Foto: ROMEO GACAD/AFP/Getty Images
Sebelum hari H
Media sosial jadi bulan-bulanan curahan hati para pendukung capres. Tak sekedar menyatakan dukungan, tak jarang pendukung berkampanye hitam, atau sekedar menumpahkan kekesalan terhadap pendukung lain. Perang antar pendukung bisa dilihat setiap hari terjadi di sosmed dalam bulan-bulan terakhir.
Foto: Twitter
Hari yang dinanti pun tiba
Sejak pagi hari jelang pemilu, petugas pemilihan duduk dekat kotak suara di tempat pemungutan suara di samping jalur kereta api, kawasan kumuh Jakarta.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Datang ke TPS
Akhirnya tiba juga hari yang dinanti. Pemilih menyalurkan suara mereka untuk calon yang mereka dukung. Setelah saling perang di sosial media gara-gara beda dukungan capres, apakah dalam kehidupan nyata mereka kembali berteman?
Foto: Reuters
'Nyoblos'
Sambil menggendong bocah, seorang ibu memberikan suaranya di Tempat Pemungutan Suara TPS, Menteng, Jakarta Pusat, dimana Joko Widodo dan istrinya Iriana juga memberikan suara.
Foto: Reuters
Pesta demokrasi
Dari Sabang sampai Merauke, mendapat kesempatan untuk menyalurkan suara mereka. Demikian pula dengan pemilih di mancanegara yang sudah terlebih dahulu memberikan suaranya, baik secara langsung maupun lewat pos.
Foto: picture-alliance/dpa
6 foto1 | 6
Kelompok yang pro dengan Ma'ruf Amin ini berdasarkan pada sejumlah pertimbangan mendasar (dan pragmatis-realistis) berikut ini. Ma'ruf Amin dianggap sebagai "sosok netral” yang mampu menjembatani "kebuntuan” kandidat cawapres dari masing-masing partai politik. Meskipun memiliki afiliasi sejarah dengan PKB (Ma'ruf Amin adalah termasuk Dewan Pendiri PKB dan pernah menjadi anggota DPR/MPR RI FPKB, 1999-2004), Ma'ruf Amin bisa diterima oleh parpol-parpol koalisi pendukung Jokowi.
Pertimbangan pragmatis lain adalah Ma'ruf Amin juga dipandang mampu "membungkam” suara-suara berisik sekelompok umat Islam dan kaum Islamis yang selama ini gencar menyerang Jokowi. Seperti diketahui, mereka selama ini gencar menyerang Jokowi sebagai sosok yang anti-ulama dan anti-Islam. Maka dengan digandengnya Ma'ruf Amin, mereka kehilangan amunisi dan tidak memiliki alasan lagi untuk "ngeles” menyerang Jokowi sebagai pemimpin yang anti-Islam dan ulama.
Ma'ruf Amin juga diharapkan mampu "mengendalikan” sekelompok tokoh Muslim dan umat Islam yang hobi menggunakan dan memolitisasi masjid sebagai medium "kampanye hitam” untuk menyerang Jokowi seperti yang biasa mereka lakukan selama ini.
Di saat politik identitas berbasis agama sedang "naik daun” dan di tengah menguatnya pertumbuhan kaum Muslim kota konservatif yang keislam-islaman dan sedang kemaruk berislam, maka kehadiran Ma'ruf Amin bisa jadi strategis buat Jokowi untuk menarik dukungan mereka dan sekaligus guna mengalahkan rivalnya (Prabowo-Sandiaga).
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Pilihan ke Ma'ruf Amin bukanlah pilihan yang buruk
Meskipun agak kecewa dengan pilihan Jokowi dan partai pengusungnya, saya bisa memaklumi kenapa mereka akhirnya memilih Ma'ruf Amin. Penting untuk diingat, pilihan ke Ma'ruf Amin bukan semata-mata kemauan Jokowi tetapi juga parpol-parpol pengusungnya sehingga tidak fair kalau jari telunjuk diarahkan ke Jokowi semata. Meski demikian, Jokowi tentu punya andil cukup besar untuk menentukan cawapresnya, dan pilihan ke Ma'ruf Amin bukanlah pilihan yang buruk-buruk amat.
Selain itu, dalam Islam ada kaedah penting: "Menghindari keburukan [kerusakan, kemadlaratan) harus diutaman dan didahulukan ketimbang mewujudkan kemaslahatan”. Itu artinya, dalam konteks ini, pilihan ke Ma'ruf Amin merupakan bagian dari upaya Jokowi untuk menghindari keburukan (konflik, chaos, keributan, ketegangan antarkelompok agama atau antarsesama umat Islam, misalnya) sehingga ia bisa lebih fokus membangun Indonesia.
Dengan menerima Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya, saya melihat di sini Jokowi telah melakukan pengorbanan besar demi kepentingan bangsa yang lebih luas. Secara pribadi, Jokowi mungkin menginginkan figur-figur perkasa dan "superhero” seperti Ahok atau Bu Susi supaya bisa mengimbangi kerja kerasnya membangun bangsa dan mewujudkan Indonesia hebat di masa mendatang. Ma'ruf Amin jelas tidak bisa mengimbangi kerja keras dan antusiasme Jokowi, apalagi ia tidak memiliki pengalaman di dunia pemerintahan.
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
Akan tetapi bukan berarti Ma'ruf Amin tidak berfungsi. Ke depan, jika Jokowi terpilih kembali, Ma'ruf Amin bisa memainkan peran untuk "mengontrol” kelompok Islamis radikal, termasuk kaum ideologis seperti pemandu sorak HTI, agar gerakan mereka tidak liar, menjadikan atau "memanipulasi” Islam untuk menyerang pemerintah, Pancasila, Negara Indonesia, dlsb. Yang perlu diwaspadai adalah, jika Jokowi terpilih kembali, jangan sampai Ma'ruf Amin kemudian menjadi "pintu masuk” atau "kanal” kaum Islamis radikal-intoleran-konservatif dalam pemerintahan.
Maka, harapanku adalah Jokowi kelak membentuk "tim kabinet” yang lebih kuat lagi dengan memilih figur-figur hebat, cakap, bersih, dan toleran seperti Mahfud MD, Ahok, dan lainnya ke dalam struktur pemerintahannya agar Indonesia bersih dari virus-virus kaum Islamis radikal-konservatif-intoleran serta kaum Muslim ideologis seperti sisa-sisa aktivis dan anggota HTI yang mengancam fondasi kebangsaan dan kenegaraan serta eksistensi Negara Indonesia tercinta.
Akhirul kalam, meskipun secara pribadi saya tidak puas dengan cawapres Jokowi tetapi duet Jokowi-Ma'ruf Amin masih jauh lebih bagus buat Indonesia ketimbang Prabowo-Sandiaga Uno!
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.
Pemimpin Politik Yang Terjerembab
Korupsi, penyuapan, penyalahgunaan kekuasaan. Inilah beberapa tokoh politik yang pernah mencapai puncak karir, namun akhirnya terjerembab karena masalah hukum dalam lima tahun terakhir.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Peres
Luiz Inacio "Lula" da Silva, Brasil
Lula dinyatakan bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang terkait skandal "Cuci Mobil", sebuah penyelidikan korupsi luas di kalangan elit Brasil. Lula, yang pernah menjabat presiden antara tahun 2003 dan 2010, dijatuhi hukuman 9,5 tahun penjara. Dia masih bisa mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Peres
Cristina Fernandez de Kirchner, Argentina
Cristina Fernandez de Kirchner, yang menjabat sebagai ibu negara Argentina dan kemudian sebagai presiden dari tahun 2007 sampai 2015, didakwa atas tuduhan korupsi tahun 2016. Dia dituduh mengabulkan kontrak konstruksi publik kepada perusahaan-perusahaan yang disukai. Dia membantah tuduhan itu dan masih ingin terjun ke politik.
Foto: picture-alliance/dpa/L. La Valle
Park Geun-hye, Soth Korea
Setelah aksi protes berbulan-bulan, presiden perempuan pertama Korea Selatan Park Geun-hye diberhentikan dari jabatannya. Dia dituduh melakukan pemerasan, penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan. Park dipecat bulan Desember 2016.
Foto: Getty Images/A.Young-Joon
Ehud Olmert, Israel
Uhud Olmert, 71 tahun, menjabat Perdana Menteri Israel antara tahun 2006 dan 2009. Tahun 2014 dia dituduh melakukan korupsi. Dia memasuki penjara Februari 2016, namun sudah dibebaskan awal Juli 2017 karena pemotongan masa tahanan. Olmert menjadi mantan perdana menteri Israel yang pertama yang masuk penjara.
Foto: Reuters/O. Zwigenberg
Adrian Nastase, Rumania
Adrian Nastase dihukum atas tuduhan korupsi tahun 2012 dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Ketika itu, dia menjadi kepala pemerintahan pertama yang dijatuhi hukuman penjara selama 23 tahun setelah Revolusi Rumania. Dia menjabat Perdana Menteri tahun 2004-2006.
Foto: Getty Images/AFP/
Charles G. Taylor, Liberia
Charles G. Taylor dijatuhi hukuman 50 tahun penjara tahun 2012 karena perannya dalam kekejaman yang dilakukan di Sierra Leone selama perang saudara pada 1990-an. Taylor adalah mantan kepala negara pertama yang dihukum oleh sebuah pengadilan internasional sejak pengadilan Nuremberg di Jerman setelah Perang Dunia II. Taylor adalah presiden Liberia dari tahun 1997-2003.