1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kenapa Jokowi Menunjuk Ma’ruf Amin?

18 Agustus 2018

Sejujurnya, setujukah Anda dengan ditunjuknya KH. Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi dalam pemilu presiden mendatang? Sepakatkah Anda dengan pandangan Sumanto al Qurtuby berikut ini?

Indonesien Präsidentschaftswahl Joko Widodo und Ma'ruf Amin
Foto: picture-alliance/AA/E. S. Toyudho

Teka-teki cawapres Jokowi yang berinisial "M” sudah terjawab. Yaitu Ma'ruf Amin, Ketua Umum MUI dan Rais ‘Aam PBNU. Tetapi bisa jadi dan sangat mungkin ada sejumlah nama yang berinisial "M” yang menjadi pertimbangan Jokowi untuk dipilihnya sebagai cawapres sebelum di detik-detik terakhir beliau menjatuhkan pilihan ke Ma'ruf Amin.

Sejumlah nama berinisial "M” yang cukup santer beredar kala itu termasuk Mahfud MD, Moeldoko, dan juga Muhaimin Iskandar. Bahkan di detik-detik terakhir nama Mahfud yang sangat deras berkibar sebagai "cawapres ideal” Jokowi karena dinilai sebagai figur yang bersih, tegas, moderat, dan nasionalis. Tapi apa lacur.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: privat

Konon kabarnya sejumlah partai utama pendukung Jokowi menolak Mahfud. PBNU juga secara terang-terangan terkesan "tidak merestui” Mahfud karena dianggap "tidak 100% NU”. Wal hasil, Mahfud "terpental” dari bursa cawapres Jokowi.

Setelah Mahfud "terpental”, pilihan kemudian jatuh ke Ma'ruf Amin, dan semua parpol pendukung menyetujui dan bersedia tanda tangan mendukung duet Jokowi-Ma'ruf Amin.

Pemilihan Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi menimbulkan pro dan kontra

Ada sejumlah alasan mendasar kenapa mereka pro atau kontra. Yang kontra terhadap Ma'ruf Amin karena beralasan ia sudah uzur, selain tidak memiliki kemampuan dan pengalaman mengelola administrasi-pemerintahan. Bagi mereka, Jokowi butuh pendamping seorang cawapres yang tangguh, kalau bisa muda, fresh dan segar-bugar.

Ada juga yang mengatakan bahwa Ma'ruf Amin adalah seorang kiai dan ulama sehingga tidak pantas menjadi "wakil” umara (pemimpin politik-pemerintahan). Menurut mereka, posisi, derajat, atau status ulama seharusnya berada "diatas” umara yang bertugas menasehati penguasa kalau mereka melenceng dan bertindak tidak benar. Jika ulama itu menjadi bagian dari kekuasaan, lalu siapa yang kelak akan menasehatinya?   

Kelompok lain yang kontra dengan Ma'ruf Amin adalah kaum Muslim moderat-progresif yang selama ini berjuang dan menyuarakan relasi harmoni dan toleran Muslim-non-Muslim. Oleh mereka, Ma'ruf Amin dipandang sebagai sosok ulama yang tidak memiliki komitmen kuat (ini berbeda dengan Gus Mus atau Gus Dur misalnya) dalam membangun spirit toleransi, pluralisme agama, dan hubungan Muslim-non-Muslim yang lebih sehat dan penuh respek. Selain itu, Ma'ruf Amin juga dianggap memiliki kontribusi dalam pengeluaran fatwa haram MUI tentang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme.

Para aktivis Hak Azasi Manusia juga sepertinya kurang bahagia dengan Ma'ruf Amin karena ia dianggap turut andil bagi munculnya berbagai kelompok fanatikus Islamis dan gerakan anti-minoritas agama (termasuk Ahmadiyah, Syiah, Gafatar, dlsb). 

Kelompok yang kontra berikutnya adalah para pendukung fanatik mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Kelompok Ahoker, baik yang "garis lunak” apalagi yang "garis geras”, tidak bisa menerima Ma'ruf Amin karena ia dipandang sebagai sosok yang turut bertanggung jawab dalam memobilisasi gerakan politik 212 untuk menggulingkan sekaligus memenjarakan Ahok.

Saya ingin menyebut kubu yang kontra dengan Ma'ruf Amin di atas sebagai "kelompok idealis”. Sementara yang pro atau mendukung Ma'ruf Amin saya sebut sebagai "kelompok pragmatis”.

Kelompok yang pro dengan Ma'ruf Amin ini berdasarkan pada sejumlah pertimbangan mendasar (dan pragmatis-realistis) berikut ini. Ma'ruf Amin dianggap sebagai "sosok netral” yang mampu menjembatani "kebuntuan” kandidat cawapres dari masing-masing partai politik. Meskipun memiliki afiliasi sejarah dengan PKB (Ma'ruf Amin adalah termasuk Dewan Pendiri PKB dan pernah menjadi anggota DPR/MPR RI FPKB, 1999-2004), Ma'ruf Amin bisa diterima oleh parpol-parpol koalisi pendukung Jokowi.

Pertimbangan pragmatis lain adalah Ma'ruf Amin juga dipandang mampu "membungkam” suara-suara berisik sekelompok umat Islam dan kaum Islamis yang selama ini gencar menyerang Jokowi. Seperti diketahui, mereka selama ini gencar menyerang Jokowi sebagai sosok yang anti-ulama dan anti-Islam. Maka dengan digandengnya Ma'ruf Amin, mereka kehilangan amunisi dan tidak memiliki alasan lagi untuk "ngeles” menyerang Jokowi sebagai pemimpin yang anti-Islam dan ulama.

Ma'ruf Amin juga diharapkan mampu "mengendalikan” sekelompok tokoh Muslim dan umat Islam yang hobi menggunakan dan memolitisasi masjid sebagai medium "kampanye hitam” untuk menyerang Jokowi seperti yang biasa mereka lakukan selama ini.

Di saat politik identitas berbasis agama sedang "naik daun” dan di tengah menguatnya pertumbuhan kaum Muslim kota konservatif yang keislam-islaman dan sedang kemaruk berislam, maka kehadiran Ma'ruf Amin bisa jadi strategis buat Jokowi untuk menarik dukungan mereka dan sekaligus guna mengalahkan rivalnya (Prabowo-Sandiaga).

Pilihan ke Ma'ruf Amin bukanlah pilihan yang buruk

Meskipun agak kecewa dengan pilihan Jokowi dan partai pengusungnya, saya bisa memaklumi kenapa mereka akhirnya memilih Ma'ruf Amin. Penting untuk diingat, pilihan ke Ma'ruf Amin bukan semata-mata kemauan Jokowi tetapi juga parpol-parpol pengusungnya sehingga tidak fair kalau jari telunjuk diarahkan ke Jokowi semata. Meski demikian, Jokowi tentu punya andil cukup besar untuk menentukan cawapresnya, dan pilihan ke Ma'ruf Amin bukanlah pilihan yang buruk-buruk amat.

Selain itu, dalam Islam ada kaedah penting: "Menghindari keburukan [kerusakan, kemadlaratan) harus diutaman dan didahulukan ketimbang mewujudkan kemaslahatan”. Itu artinya, dalam konteks ini, pilihan ke Ma'ruf Amin merupakan bagian dari upaya Jokowi untuk menghindari keburukan (konflik, chaos, keributan, ketegangan antarkelompok agama atau antarsesama umat Islam, misalnya) sehingga ia bisa lebih fokus membangun Indonesia.

Dengan menerima Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya, saya melihat di sini Jokowi telah melakukan pengorbanan besar demi kepentingan bangsa yang lebih luas. Secara pribadi, Jokowi mungkin menginginkan figur-figur perkasa dan "superhero” seperti Ahok atau Bu Susi supaya bisa mengimbangi kerja kerasnya membangun bangsa dan mewujudkan Indonesia hebat di masa mendatang. Ma'ruf Amin jelas tidak bisa mengimbangi kerja keras dan antusiasme Jokowi, apalagi ia tidak memiliki pengalaman di dunia pemerintahan.

Akan tetapi bukan berarti Ma'ruf Amin tidak berfungsi. Ke depan, jika Jokowi terpilih kembali, Ma'ruf Amin bisa memainkan peran untuk "mengontrol” kelompok Islamis radikal, termasuk kaum ideologis seperti pemandu sorak HTI, agar gerakan mereka tidak liar, menjadikan atau "memanipulasi” Islam untuk menyerang pemerintah, Pancasila, Negara Indonesia, dlsb. Yang perlu diwaspadai adalah, jika Jokowi terpilih kembali, jangan sampai Ma'ruf Amin kemudian menjadi "pintu masuk” atau "kanal” kaum Islamis radikal-intoleran-konservatif dalam pemerintahan.    

Maka, harapanku adalah Jokowi kelak membentuk "tim kabinet” yang lebih kuat lagi dengan memilih figur-figur hebat, cakap, bersih, dan toleran seperti Mahfud MD, Ahok, dan lainnya ke dalam struktur pemerintahannya agar Indonesia bersih dari virus-virus kaum Islamis radikal-konservatif-intoleran serta kaum Muslim ideologis seperti sisa-sisa aktivis dan anggota HTI yang mengancam fondasi kebangsaan dan kenegaraan serta eksistensi Negara Indonesia tercinta.

Akhirul kalam, meskipun secara pribadi saya tidak puas dengan cawapres Jokowi tetapi duet Jokowi-Ma'ruf Amin masih jauh lebih bagus buat Indonesia ketimbang Prabowo-Sandiaga Uno! 

Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam  kolom komentar di bawah ini.