1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menyelamatkan Toleransi

23 Oktober 2012

Survey terakhir Lingkaran Survey Indonesia mengungkapkan fakta mencemaskan terkait meningkatnya gejala intoleransi tujuh tahun terakhir. Semakin banyak orang yang tidak nyaman hidup dalam perbedaan keyakinan.

Foto: AP

EDITORIAL

“Menyelamatkan Toleransi”

Kecemasan itu kini terkonfirmasi.

Polling Lingkaran Survei Indonesia mengungkapkan fakta: masyarakat Indonesia semakin tidak toleran.

Survey itu menemukan, hampir setengah masyarakat Indonesia tidak suka hidup berdampingan dengan kelompok minoritas: 46,6 persen tidak suka bertetangga dengan Ahmadiyah, dan 41,8 persen tidak nyaman hidup dengan pemeluk Syiah.

Survey ini memperlihatkan, sikap tidak toleran naik hampir dua kali lipat dalam tujuh tahun terakhir. Tahun 2005 sikap tidak toleran atas kelompok agama lain adalah 8,2 persen. Kini angka itu menjadi 15,1 persen.

Lebih mencemaskan lagi, karena polling itu menemukan bahwa semakin banyak orang Indonesia yang toleran dengan penggunaan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan perbedaan keyakinan agama.

Tahun 2005, kurang satu dari sepuluh orang Indonesia yang setuju kekerasan. Kini hampir satu dari empat orang Indonesia bisa mentolerir kekerasan untuk menegakkan apa yang mereka yakini sebagai prinsip agama.

Fakta lapangan mengkonfirmasi itu: tahun 2010 ada 62 kasus kekerasan atas nama agama. Satu tahun kemudian angka itu naik hampir dua kali lipat menjadi 92 kasus.

Inflasi keagamaan beberapa tahun terakhir telah memakan korban bernama toleransi. Kita menyayangkan kenyataan bahwa aspek dominan dari kebangkitan agama kali ini ada dalam bentuknya yang konservatif.

Ironis, karena sejarah justru menunjukkan bahwa agama lahir sebagai jawaban atas kebekuan doktrin sebelumnya.

Ini tugas berat di depan mata: menyelamatkan sebuah kata bernama toleransi. Kita tak ingin toleransi di negeri ini menjadi sejarah. Kita ingin, toleransi menjadi bagian dari masa depan Indonesia.

Andy Budiman