1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dokter Indonesia Dalam Pusaran Politik

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
24 Oktober 2019

Di banyak bekas negara kolonial di dunia ini, kelompok profesi dokter seringkali menjadi subjek pertama yang menyulut bara api bernama nasionalisme modern. Bolehkah dokter menyampaikan ekspresi politiknya?

Foto: Getty Images/AFP/A. Rochman

Di Asia, ada nama-nama yang sudah cukup dikenal seperti Sun Yat Sen (Cina), Jose Rizal (Filipina), juga perkumpulan Boedi Oetomo (Indonesia) yang dibentuk oleh murid-murid sekolah kedokteran Stovia. Di dunia Arab, ada tokoh-tokoh seperti Frantz Fanon (Aljazair) dan George Habbash (Palestina), ada pula Ramon Betances (Puerto Rico) di belahan benua Amerika.

Pergulatan para dokter dalam upaya-upaya politik tingkat tinggi tersebut sejatinya adalah buah dari profesionalisme mereka. Hans Pols, sejarawan kesehatan asal Australia, menyebutkan bahwa profesi kedokteran menawarkan sebuah metode, cara berpikir, metafor-metafor biologis dan fisiologis baru bagi dokter-dokter pribumi yang terjajah, dan berjiwa kosmopolitan, untuk mengevaluasi masyarakat kolonial dan penyakitnya. Khusus di Indonesia, pemerintahan kolonial Belanda yang gagal menyelenggarakan pelayanan kesehatan, lantas mengakibatkan penderitaan rakyat, menjadi alasan mengapa dokter-dokter Stovia muncul sebagai kelompok pertama yang mengharapkan perubahan dibanding kelompok-kelompok profesi lainnya.

Dokter-dokter revolusioner tersebut mendiagnosa bahwa negara kolonial Hindia Belanda  merupakan tubuh yang penyakitan dengan kemiskinan dan ketidakadilan sebagai masalah utamanya sehingga mereka membayangkan terbentuknya sebuah negara baru yang sehat dan merdeka. Pertalian politik dokter-dokter Indonesia agaknya sebuah hal tak terhindarkan karena faktor-faktor sosiologis dan historis di masanya, setidaknya hal itu begitu terlihat dalam konteks yang terjajah melawan si penjajah di masa lalu, tidak hanya di Indonesia namun di belahan dunia lainnya.

Sedangkan di masa kini, sekian banyaknya isu-isu kesehatan yang muncul dalam fenomena politik Indonesia beberapa tahun belakangan memberikan panggung bagi dokter-dokter Indonesia untuk semakin tampil ke muka publik. Namun alih-alih tampil sebagai sosok yang jujur dan mencerahkan, sebagian dari mereka justru mencoreng dunia kedokteran dengan kebohongan-kebohongan, sekaligus memperlihatkan tren kesulitan dokter-dokter Indonesia dalam meningkatkan daya tawar profesinya di mata publik.

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Kesehatan dan Kekuasaan

15 November 2017 seharusnya menjadi tanggal yang naas bagi Setya Novanto, Ketua DPR dari Fraksi Golkar yang saat itu tengah terancam masuk penjara akibat masalah korupsi. Awalnya, jika berjalan sesuai skenario kecelakaan mobil yang dirancangnya, Setnov akan dirawat di rumah sakit Medika Permata Hijau Jakarta untuk kemudian dipindahkan ke rumah sakit di Singapura, jauh dari jangkauan penyidik-penyidik KPK yang berencana menangkapnya.

Usaha untuk melarikan diri  tersebut tidak akan berhasil tanpa keterlibatan aktor intelektual dari kalangan kedokteran yang bertugas memanipulasi laporan-laporan medis Setnov. Namun alih-alih mendapat simpati publik, Setnov malah dicemooh atas aksi rekayasa konyolnya. Skenario menyelamatkan diri yang dieksekusi dengan sangat buruk itu pun dengan segera terbongkar. Dokter di rumah sakit yang berkomplot dengan Setnov pun diketahui; seorang dokter senior bernama Bimanesh Sutarjo. Belakangan, Bimanesh diputuskan pengadilan dihukum 4 tahun penjara dan juga dikecam kolega-koleganya karena melanggar kode etik kedokteran.

Ada sebuah paralel ironis. Jika dahulu Sutomo dan kawan-kawan dari Stovia memanfaatkan daya tawar profesinya untuk memulai perlawanan terhadap musuh nomor satu cita-cita kemerdekaan saat itu, yakni kolonialisme, maka yang ada sekarang justru sebagian dokter berkomplot untuk melanggengkan kebohongan-kebohongan politik demi memuluskan ambisi politik pihak-pihak tertentu semata. Sebut saja kasus Setnov, lalu hoaks pengeroyokan Ratna Sarumpaet, sampai diagnosa gegabah sebagian dokter yang simpatik terhadap kelompok oposisi yang menyatakan bahwa para petugas pemilu 2019 tewas karena diracun.

Dokter sebenarnya punya hak untuk menyampaikan ekspresi politiknya namun  ia tidak boleh menanggalkan profesionalismenya. Hal ini tercantum dalam poin ke-8 Sumpah Dokter Indonesia yang menyebutkan bahwa dokter tidak boleh terpengaruh oleh beberapa macam pertimbangan, salah satunya politik, dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien. Memanipulasi hasil medis adalah dosa besar, apalagi jika dilakukan demi kepentingan politik dokter yang bersangkutan (dan akan lebih miris lagi jika sudah menyangkut uang).

Sebuah hal yang juga jelas bahwa seorang dokter tidak boleh termanipulasi oleh pasien. Misalnya saja, Sukarno yang dahulu begitu bebal menolak untuk memeriksakan kesehatan dirinya pun akhirnya luluh oleh saran dokter pribadinya, R. Soeharto. Mungkin jika ia tidak didesak terus-menerus untuk mengoperasi ginjalnya di Austria oleh sang dokter, presiden pertama Indonesia tersebut tidak akan memiliki stamina yang bugar dalam memimpin manuver-manuver politik konfrontasi Indonesia di Papua dan Malaysia selama paruh awal 1960-an.

Perhimpunan kedokteran, khususnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), idealnya dapat memainkan peran vital dalam perumusan kebijakan kesehatan Indonesia. Namun sepertinya sampai saat ini IDI belum memiliki daya tawar politik yang meyakinkan. Tidak seperti misalnya di Amerika Serikat yang memiliki organisasi American Medical Association (AMA) dengan lobi politiknya yang kuat di lingkaran orang-orang Kongres Amerika, khususnya dalam hal mendesak perbaikan-perbaikan dalam sistem Obamacare, sistem jaminan kesehatan Amerika yang fungsinya mirip dengan BPJS Kesehatan di Indonesia.

Meskipun begitu, harus diakui bahwa sistem BPJS Kesehatan yang tujuannya mulia tersebut tengah merugikan para pelaku dunia kesehatan. Mulai dari rumah sakit yang tak kunjung mendapat bayaran dari BPJS Kesehatan yang menunggak, pengadaan dan distribusi obat dari perusahaan-perusahaan farmasi yang kerap tidak mencukupi, sampai membludaknya pasien yang tidak dibarengi dengan memadainya sumber daya petugas kesehatan. Jika ini terus berlanjut, maka sektor kedokteran Indonesia akan terperangkap dalam jejaring eksploitasi sebuah kebijakan populis dari penguasa semata dan kualitasnya mungkin saja akan semakin menurun di masa depan.

Dokter Melek Politik

Melihat dari serangkaian kasus-kasus dokter yang melakukan kebohongan publik, dan ketidakmampuan organisasi-organisasi profesi dokter untuk mendorong reformasi terhadap sistem BPJS Kesehatan yang merugikan membuktikan bahwa dokter-dokter Indonesia belum mampu bersuara banyak dalam hal memperbaiki situasi profesi mereka. Memang, hal tersebut sebaiknya dilihat secara kasus per kasus, namun umumnya dapat diakui bahwa sektor kedokteran Indonesia tengah berada dalam posisi politik yang begitu lemah.

Hal itu ditambah dengan masalah-masalah internal yang kian menjegal kemajuan kemajuan dokter Indonesia itu sendiri, mulai dari sistem pendidikan kedokteran yang carut-marut (dan sangat mahal), distribusi dokter yang tidak merata dan menumpuk di wilayah-wilayah perkotaan, sampai pengadaan alat-alat kesehatan yang serba kekurangan dan tidak merata. Segala keluh-kesah dan kondisi gamang itu dapat dibaca lebih jauh dalam buku "IDI Mau Dibawa Kemana” yang diluncurkan menjelang Muktamar IDI ke-30 pada Oktober 2018 silam.

Kesimpulannya, dokter-dokter Indonesia perlu mengonsolidasikan posisi politiknya untuk meningkatkan daya tawar mereka terhadap pemerintah selaku perumus kebijakan kesehatan yang utama di Indonesia agar kompetensi dan keahlian mereka sebagai garda depan peningkatan kesehatan masyarakat terus meningkat. Tentu hal tersebut harus dibarengi dengan kejujuran agar tidak ada lagi dokter-dokter nakal yang hanya ingin mencari keuntungan pribadi di atas keselamatan pasien; karena hal paling mengerikan bagi seorang dokter adalah ketika orang-orang tak lagi mempercayai mereka sebagai tumpuan harapan untuk menyambung nyawa manusia.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.