Masih ingat Waleed al-Husseini yang akun facebooknya diberi nama “Ana Allah” dan membuat geger dunia? Ada cukup banyak orang-orang di Timur Tengah memilih “bercerai” dengan agama lamanya. Simak opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Waleed al-Husseini, seorang pemuda sarjana IT dari kota Qalqilya, Palestina, suatu saat pernah membuat geger otoritas dan publik Palestina gegara membuat akun Facebook dengan "mengatasnamakan” Tuhan. Akun itu diberi nama dalam Bahasa Arab, "Ana Allah” yang berarti "Saya Tuhan”. Di akun Facebook ini, ia membuat sejumlah lelucon atau menulis postingan yang bersifat menertawakan atau memparodikan Tuhan, agama, para nabi, dan Kitab Suci.
Dalam akun itu, Waleed mengumumkan sambil bergurau bahwa Tuhan, di masa datang, akan berkomunikasi langsung kepada makhluk-Nya lewat Facebook karena para nabi dan rasul yang dikirim-Nya berabad-abad silam gagal total dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada umat manusia.
Dan benar, Waleed (yang berakting sebagai Tuhan) misalnya memposting di Facebook tentang larangan orang meminum whisky yang dicampur Pepsi sambil menyerukan mereka untuk mencampur dengan air. Ia juga menganjurkan orang untuk merokok hashish atau hash (semacam marijuana). Kalimat-kalimat dalam postingannya dibuat atau dimirip-miripkan dengan ayat-ayat dalam Al-Qur'an atau Kitab Suci lain.
Postingan-postingan Waleed mungkin membuat sebagian orang tertawa dan terpingkal-pingkal tetapi tidak untuk polisi. Berbeda dengan George Carlin, seorang komedian, aktor, dan kritikus sosial di Amerika, yang leluasa membuat lelucon tentang Tuhan dan hal-ikhwal yang berkaitan dengan komunitas agama, Waleed justru digelandang oleh pihak otoritas Palestina. Hanya selang beberapa hari setelah ia memosting di akun Facebook, sejumlah polisi membekuknya saat ia sedang bermain kartu di sebuah kafe. Ia pun mendekam berbulan-bulan di penjara.
Kisah Waleed ini diceritakan oleh Brian Whitaker dalam bukunya yang berjudul Arabs without God: Atheism and Freedom of Belief in the Middle East. Beberapa bulan sebelum membuat akun atas nama Tuhan di Facebook, Waleed juga membuat beberapa blog dengan nama "Nur al-Aql” (Cahaya Akal) dan "Proud Atheist” untuk mengekspresikan "kegelisahan teologis” dan "pemberontakan intelektual” yang melanda dirinya.
Waleed tidak sendirian. Ada cukup banyak orang-orang di Timur Tengah, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, yang emoh dan memilih "bercerai” dengan agama lamanya kemudian menjadi ateis (atau agnostik, sekularis, dan freethinker).
Lara Ahmed, seorang mahasiswi biologi di University of Babylon, Irak, seperti ditulis oleh Gilgamesh Nabeel di The Washington Times, juga memilih menjadi ateis. Tetapi berbeda dengan Waleed yang "memberontak” dan terang-terangan mendeklarasikan diri keateisannya, Lara memilih diam-diam dan menyembunyikan "keyakinan” barunya. Meskipun "memeluk” ateisme, Lara tetap berhijab. Ia memilih tetap berhijab karena kalau tidak memakai hijab, banyak orang melecehkannya.
Lantaran tetap berhijab dan menyembunyikan ateismenya itulah Lara selamat dari hukuman: baik hukuman negara maupun "hukuman sosial” dari masyarakat. Ini berbeda dengan Waleed diatas atau Kacem El Ghazzali yang pernah dilempari batu warga dan dikutuk oleh imam di kampungnya di Maroko hanya karena menulis dan memosting tentang sekularisme dalam blognya.
Cerita yang kurang lebih sama juga menimpa Alber Saber, seorang warga Mesir yang meninggalkan Kristen Koptik dan memilih menjadi ateis. Ia pernah dipenjara karena memosting hal-hal yang dianggap sebagai anti-agama. Oleh pihak otoritas Mesir, ia pernah dituduh mengfitnah Islam dan Kristen, melecehkan nabi-nabi, menghina wahyu dan ketuhanan, serta memparodikan ritual-ritual keagamaan.
Negara-negara Tak Bertuhan
Dua pertiga penduduk Bumi mengaku beragama, tapi sisanya tidak bertuhan. Negara mana yang paling banyak menampung kaum ateis? Uniknya Asia justru berada di urutan terdepan
Foto: picture-alliance/ David Wimsett/UPPA/Photoshot
#1. Cina
Tradisi Cina tidak mengenal istilah agama dalam prinsipnya yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan ajaran nenek moyang yang terwujud dalam bentuk Taoisme atau Khonghucu. Sebab itu tidak heran jika dalam jajak pendapat lembaga penelitian Gallup, sekitar 61% penduduk Cina mengaku tidak bertuhan. Sementara 29% mengaku tidak taat beragama.
Foto: picture-alliance/dpa
#2. Hong Kong
Sebagian besar penduduk Hongkong menganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Sementara lainnya memeluk agama Kristen, Protestan, Taoisme atau Buddha. Namun menurut jajak pendapat Gallup, sekitar 34% penduduk bekas jajahan Inggris itu mengaku tidak percaya kepada Tuhan.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lopez
#3. Jepang
Serupa Cina, sebagian besar penduduk Jepang menganut kepercayaan etnis Shinto alias agama para dewa. Dalam hakekatnya Shintoisme tidak mengenal prinsip ketuhanan seperti agama samawi. Sebab itu pula banyak penganut Shinto yang mengaku tidak bertuhan. Gallup menemukan sekitar 31% penduduk Jepang mengklaim dirinya sebagai Atheis.
Foto: Reuters
#4. Republik Ceko
Sekitar 30% penduduk Republik Ceko mengaku tidak bertuhan. Sementara jumlah terbesar memilih tidak menjawab perihal agama yang dianut. Faktanya, agama sulit berjejak di negeri di jantung Eropa tersebut. Penganut Katholik dan Protestan misalnya cuma berkisar 12 persen dari total populasi.
Foto: picture-alliance/dpa/Xamax
#5. Spanyol
Katholik mewakili porsi terbesar dari penduduk Spanyol yang beragama. Sementara sisanya tersebar antara Protestan atau Islam. Uniknya kendati beragama, sebagian besar penduduk Spanyol mengaku tidak taat menjalani ritual keagamaan. Sementara 20% mengaku atheis atau agnostik.
Kasus-kasus di atas hanyalah sekelumit contoh saja tetang fenomena ateisme dan kelompok ateis di kawasan Timur Tengah masa kini. Tidak ada statistik yang pasti tentang berapa jumlah kaum ateis atau "non-agama” di kawasan ini. Tetapi lembaga Dar Al Ifta di Mesir pernah melakukan survei dan polling tentang warga Arab yang mengidentifikasi diri sebagai ateis, dan hasilnya cukup mengejutkan. Ada ribuan orang Arab yang mengidentifikasi diri sebagai ateis atau "nonbelievers” dan tersebar di seantero Timur Tengah: Mesir, Maroko, Tunisia, Irak, Saudi, Yordania, Suriah, Sudan, Libya, Yaman dan sebagainya.
Rabab Kamal, seorang aktivis Mesir, bahkan pernah mengatakan, seperti dikutip oleh Ahmed Benchemsi dalam artikelnya, "Invisible Atheists: the Spread of Disbelief in the Arab World” yang diterbitkan oleh New Republic, kalau di Universitas Al-Azhar saja ada ribuan kaum ateis dan sekularis yang tidak mau terang-terangan mendeklarasikan diri keateisan dan kesekulerannya. Sejarawan Mesir Hamed Abdel-Samad bahkan menduga setiap keluarga di Mesir ada seorang ateis atau sekularis atau minimal kritikus agama. Hanya saja, menurutnya, mereka tidak berani berterus-terang di publik karena takut dihukum.
Ahmed Benchesmi, editor-in-chief FreeArabs.Com pernah mengsurvei akun pengguna Facebook di Timur Tengah, baik dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris, dan menurutnya ada lebih dari 250 grup atau pages yang masing-masing anggotanya bervariasi dari ratusan hingga sebelas ribuan.
Perlu dicatat bahwa fenomena perkembangan kaum ateis ini bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat Arab Timur Tengah saja tetapi juga Iran. Di negeri para mullah ini tercatat ada ratusan ribu warganya (sekitar 0,3 persen dari total penduduk Iran) yang mengasosiasikan diri sebagai non-agama seperti pernah dilaporkan oleh Statistical Center of Iran tahun 2011. Di Iran, kaum ateis bahkan memiliki lembaga atau jaringan kelompok ateis.
Ketika Berganti Keyakinan
Mereka pindah agama karena kehendak mereka sendiri. Namun hal ini kerap menuai ketidakpahaman atau bahkan penolakan dari keluarga dan lingkungannya. Demikian pula yang dialami mereka di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Sebuah langkah besar
Ketika David Stang keluar Gereja Katolik, pada awalnya keluarganya syok. Dulu, waktu remaja, ia bahkan menjadi putra altar di gerejanya. Ia pun rajin membaca Alkitab. Ia merasa tidak cocok. Ia bercerita: "Saya dapat memahami, pastur tidak dapat menceritakan kepada saya tentang pasangan, misalnya."
Foto: DW/K. Dahmann
Tumbuh di hati
Dari kekecewaannya terhadap gereja Katolik, David Stang mulai melakukan pencarian makna pada agama-agama lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pengacara Jerman, yang masuk agama Islam. "Dia membuat saya apa mengenal Islam dan nilai-nilai yang terkait dengan itu," kata pria itu. "Dan di sana saya menemukan makna bagi diri saya lagi.“
Foto: DW/K. Dahmann
Sebuah proses yang panjang
Bagi David Stang, masuk agama Islam berarti proses pembelajaran lagi: "Awalnya, saya pikir jika masuk Islam, maka Anda harus menjauhi alkohol, makan babi dan memakai janggut. Tapi pengacara yang memperkenalkannya dengan Islam menunjukkan kepadanya bahwa yang terpenting adalah perasaan betapa menyenangkan untuk menjadi seorang Muslim. Sisanya tinggal mengikuti."
Foto: DW/K. Dahmann
Kompromi iman
Sebagai kaum profesional, sehari-hari David Stang mengalami kemacetan antara Hannover dan kota kelahirannya Bonn. Lima kali sehari untuk berdoa tidak selalu memungkinkan baginya, maka ia kemudian memperpanjang doa di pagi dan sore hari. Untuk alasan profesional janggutanya pun ia pangkas. Yang penting, katanya, "mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan."
Foto: DW/K. Dahmann
Penolakan Islam radikal
Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kaum Salafi di Bonn pada tahun 2012, atau teroris radikal, ia menjauhkan diri: "Jika agama itu membenarkan apa yang dilakukan teroris, misalnya memasang bom di sekitar leher, saya tak ingin berurusan dengan hal semacam itu.“
Foto: picture-alliance/dpa
Meninggalkan gereja
Ute Lass tumbuh dalam keluarga Katolik, tapi menurutnya gereja membatasinya. Ia bermimpi belajar teologi: “Tapi sebagai seorang teolog, saya tidak bisa berperan banyak dalam Katholik . Ia kemudian pindah gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Rumah baru
Lewat suaminya, yang dibaptis sebagai Protestan, Ute cepat menemukan kontak ke gereja Protestan. Anaknya diikutsertakan dalam kelompok bermain , diapun mencari kontak untuk ikut dalam paduan suara gereja. Namun butuh waktu lima tahun sampai dia memutuskan untuk membuat "langkah besar". Pendeta Annegret Cohen (kiri) dan Nina Gutmann (tengah) menemaninya dalam pertarungan batin ini.
Foto: DW/K. Dahmann
Sikap toleran
Keluarga dan teman-teman bereaksi positif. "Mereka mengatakan , ini jauh lebih cocok! " Bagaimana dengan tempat kerjanya, organisasi bantuan Katholik Caritas? Ute Lass mendapat lampu hijau. Mereka mengatakan, adalah penting bahwa Anda tetap dibaptis sebagai seorang Kristen dan ke gereja.
Foto: picture-alliance/dpa
Disambut
Di gereja Protestan, Ute Lass disambut dengan tangan terbuka. Dengan sukacita ia menangani hal seperti misalnya bazaar gereja. Apakah ia kadang merindukan kehidupannya sebagai umat Katholik?Jawabnya: “Saya memiliki iman yang kuat terhadap Bunda Maria, yang perannya tak seperti di gereja Protestan," katanya. “Tapi untuk beberapa hal, saya tetap seperti itu.“
Foto: DW/K. Dahmann
Memfasilitasi masuknya anggota
Selama bertahun-tahun, gereja-gereja Kristen melaporkan bahwa jumlah jemaatnya menurun: Semakin banyak orang keluar gereja, entah karena alasan agama atau hanya untuk menghindari gereja. Dalam rangka memfasilitasi masuknya anggota baru, gereja-gereja di Jerman menyambut baik, seperti di Fides, Bonn dimana pastur Thomas Bernard (kanan) bekerja.
Foto: DW/K. Dahmann
Akibat skandal?
Gereja Katolik dalam beberapa tahun terakhir mengalami berkurangnya jumlah umat. Banyak orang percaya, ini terjadi setelah sejumlah kasus pelecehan seksual dalam biara. "Skandal yang substansial," Thomas Bernard mengakui. "Kami telah demikian kehilangan daya tariknya." Meskipun berita di media menghancurkan nama gereja, dia yakin: "Iman dapat memberikan dukungan."
Foto: DW/K. Dahmann
Membuka pintu iman
Salah satu alasan mengapa orang bergabung dengan Gereja Katolik saat ini, menurut Thomas Bernard adalah liturgi. "Banyak orang mengagumi perayaan ibadah," katanya. Reformasi di tubuh gereja seperti ynag dilakukan paus yang baru, diharapkan menyebabkan banyak orang yang telah keluar dari Katholik, kembali menemukan gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Permohonan untuk kebebasan beragama
Orang-orang yang telah mengubah agama mereka, pernah ditampilkan dalam sebuah pameran di Munchen. Pameran ini menunjukkan permohonan untuk kebebasan hak asasi manusia, termasuk kebebasan memilih agama.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
Bayipun ‘pindah agama‘
Gambar ini menunjukkan nasib putri Jennifer dan Ricky Grossman: Bayi tidak diakui sebagai Yahudi , karena ibunya bukan Yahudi. Oleh karena itu ibunya harus masuk Yahudi dulu, karena itulah syarat untuk bisa diterima sebagai anggota penuh dari komunitas Yahudi.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
14 foto1 | 14
Kenapa beberapa kalangan masyarakat Arab memilih menjadi ateis?
Bagi banyak orang, fenomena ini bisa jadi dianggap sebagai sebuah anomali atau penyimpangan. Mereka beranggapan atau berimajinasi bahwa orang Arab itu diasumsikan sebagai Muslim atau bahkan fanatikus agama. Meskipun sebetulnya realitasnya sangat kompleks karena selain Muslim, ada jutaan masyarakat Arab Kristen, Yahudi, Druze, Yazidi atau Mandean. Sebagai Muslim pun mereka sangat warna-warni: Sunni, Syiah, Salafi, Wahabi, Zaidi, Ismaili, Sufi, Alwai, Ibadi dan masih banyak lagi. Munculnya kaum Arab ateis, semakin menambah daftar pluralitas dan kompleksitas masyarakat Arab di Timur Tengah.
Tentu saja tidak ada yang salah kalau warga Arab memilih menjadi ateis. Sebagai sebuah kelompok etnis, tidak ada bedanya antara Arab dan Persi, Cina, Jepang, Jerman, Rusia, India, Melayu, Jawa dan lainnya. Yang salah adalah mereka yang menganggap atau mengimajinasikan bahwa Arab = Muslim. Hal ini sama konyolnya dengan anggapan atau imajinasi bahwa Melayu = Muslim, Cina = Konfusius, India = Hindu, Jepang = Sinto, Amerika = Kristen, Rusia = ateis, dan seterusnya.
Sebagai sebuah "pandangan dunia”, ateisme tentu saja bersifat lintasetnis, masyarakat dan budaya. Siapa saja, dari etnik dan suku-bangsa manapun, boleh menjadi ateis dan mempercayai ateisme, sebagaimana siapa saja boleh menjadi teis dan meyakini teisme.
Seperti perkembangan kaum ateis di kawasan non-Arab atau diluar Timur Tengah, khususnya di negara-negara Barat, ada berbagai alasan yang dianggap mendasar kenapa sebagian masyarakat Arab berubah menjadi ateis atau pemeluk ateisme. Tetapi tragisnya, oleh pihak pemegang otoritas politik atau masyarakat umum di Timur Tengah, kelompok ateis sering kali atau bahkan selalu dicurigai sebagai "agen Zionis”, "antek Barat”, atau "intel komunis” yang disusupkan di Timur Tengah untuk merusak umat Islam. Padahal, aktivis Komunis Arab juga ikut-ikutan melarang ateisme karena mereka mengadopsi Komunisme sebagai strategi gerakan politik-ekonomi saja, bukan yang berbau teologi-keagamaan.
Orang Jerman Tidak Percaya Lagi kepada Tuhan?
Baik Katolik maupun Protestan, dua organisasi gereja terbesar di Jerman semakin kehilangan anggotanya. Demikian halnya dengan jurusan teologi di berbagai universitas Jerman. Apakah Jerman mengalami krisis kepercayaan?
Foto: Fotolia/milkovasa
Kepercayaan Surut
Komunitas yang berdasarkan agama Kristen di Jerman sekarang semakin ditantang ancaman untuk tetap bertahan. Apakah pergi ke gereja masih sesuai jaman? Apa yang ditawarkan gereja sebagai institusi? Bagaimana institusi gereja bisa meyakinkan orang yang sudah tidak jadi anggota? Ada yang bilang ini "fase peralihan". Kritikus menyebutnya krisis.
Foto: Fotolia
Bangku-Bangku Kosong
Angka bisa jadi buktinya. Gereja Katolik Jerman kehilangan hampir 180.000 anggota tahun lalu, berarti 50% lebih banyak dari tahun sebelumnya. Gereja Protestan Jerman tidak kehilangan anggota sebanyak itu. Tetapi jumlah orang yang menjadi anggota jauh lebih sedikit.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Dana
Berkurangnya jumlah anggota berarti juga berkurangnya pemasukan organisasi gereja. Karena di Jerman, orang yang jadi anggota, juga membayar pajak gereja. Bagi orang berpenghasilan menengah, jumlahnya sampai beberapa ratus Euro per tahun. Bagi mereka yang berpandangan skeptis terhadap institusi gereja, ini kadang jadi argumen untuk keluar dari keanggotaan.
Foto: Fotolia/Joachim B. Albers
Dalam Pencarian
Banyak orang, yang tidak merasa memperoleh apapun dari gereja kadang mengganti agamanya. Misalnya David Stang. Ia dulunya Katolik. Sebagai remaja ia bahkan aktif dan jadi putra altar. "Tapi ada yang tidak cocok," katanya jika mengenang kembali. Ia akhirnya memeluk agama Islam dan merasa menemukan dirinya sendiri.
Foto: DW/K. Dahmann
Didera Skandal
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang keluar dari keanggotaan gereja akibat sejumlah besar kasus pelecehan seksual oleh imam dan pekerja organisasi gereja. Gereja Katolik didera skandal berjumlah sangat besar dan paling jadi sasaran kritik. Ketika pelecehan seksual pertama terkuak 2010, Bischofskonferenz yang jadi instansi gereja Katolik tertinggi di Jerman adakan penelitian, tapi terhenti.
Foto: picture-alliance/dpa
Uskup Mewah
Jumlah orang yang keluar dari gereja Katolik kembali memuncak pertengahan 2013. Biaya pembangunan rumah baru uskup di daerah Limburg jadi kepala berita. Awalnya hanya empat juta Euro, kemudian naik jadi lebih dari 30 juta. Ketika tekanan makin besar, Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst ajukan pengunduran diri kepada Paus. Tapi banyak anggota tidak perjaya lagi pada gereja Katolik Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekurangan Penerus
Dua organisasi gereja terbesar di Jerman alami dilema yang sama. Jumlah mahasiswa jurusan teologi berkurang. Yang ingin menjadi imam Katolik juga semakin sedikit. Misalnya gereja Katolik, jumlah imamnya sekarang berkurang seperempat dibanding 1995. Tetapi jumlah pekerja pelayanan iman yang tidak memiliki ijazah resmi bertambah.
Foto: picture-alliance/dpa
Masa Depan Tidak Jelas
Semakin banyak komunitas gereja yang hadapi kesulitan untuk terus eksis. Kedua organisasi gereja terbesar masih memiliki 45.000 gereja. Sejumlah besar komunitas terpaksa disatukan dalam beberapa tahun terakhir. Anggota gereja Katolik Sankt Gertrud di Köln (foto) misalnya, sudah disatukan dengan tiga gereja lainnya. Banyak gedung gereja sudah tidak digunakan lagi untuk beribadat.
Foto: cc/by/sa/Elya
Pelayan Restoran, Bukan Imam
Mengurus bangunan gereja perlu biaya besar, terutama jika harus diperbaiki. Pakar memperkirakan, hampir 10% bangunan gereja harus dijual. Gereja Martini di Bielefeld misalnya, sejak 2005 jadi restoran. Balkon di dalam gereja yang menjadi tempat organ jadi ruang untuk tamu spesial.
Foto: picture-alliance/Robert B. Fis
Memanjat "dengan Iman"
Tapi ada juga inisiatif lain. Banyak gedung gereja seperti di Gelsenkirchen (foto) dijadikan gereja khusus remaja. Di sini kawula muda yang tidak bisa menerima ibadah secara tradisional berkumpul dan perdalam iman bersama, dengan pelayanan iman khusus bagi remaja. Di gereja, sejak 2009 mereka juga bisa berolahraga memanjat, mereka belajar bahwa iman jadi sumber kekuatan dan keyakinan diri.
Foto: picture-alliance/dpa
Apakah Benar Iman Tidak Penting Lagi?
Sekitar dua pertiga orang Jerman menyatakan percaya kepada Tuhan. Di Jerman Timur, karena sejarah ateis di masa Jerman Timur, jumlahnya lebih sedikit daripada di Jerman Barat. Banyak orang yang percaya kepada Tuhan tidak jadi anggota kedua gereja Jerman terbesar. Mereka memilih jadi anggota organisasi gereja yang lebih kecil. Selain itu, berdoa juga bisa dilakukan sendirian.
Foto: Fotolia/milkovasa
11 foto1 | 11
Seperti dituturkan dalam buku Arabs without God dan sejumlah karya akademik sejenis yang mengulas tentang sejarah dan perkembangan kontemporer ateisme di Timur Tengah, masyarakat Arab (dan mana saja) menjadi ateis karena ada sejumlah alasan atau faktor yang sangat mendasar, baik faktor atau alasan yang bersifat personal-internal atau sosial-eksternal.
Misalnya, seperti yang diekspresikan oleh sejumlah kelompok ateis dan eks-umat beragama, tentang ketidakmampuan doktrin-doktrin agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental filosofis-ilmiah (misalnya mengenai asal-usul manusia dan alam semesta); adanya sejumlah doktrin, ajaran dan teks-teks keagamaan yang dianggap tidak logis dan scienfitic (seperti gambaran atau image tentang Tuhan yang dianggap membingungkan dan kontradiktif); atau pengalaman-pengalaman individu atau menyaksikan kejadian atas orang lain yang sangat menakutkan dan traumatik (misalnya menyaksikan kekerasan, kekejaman, terorisme, diskriminasi, intimidasi, pemerkosaan, dan lain-lain) yang dilakukan oleh sejumlah kelompok ekstremis agama. Semua itu, antara lain, menjadi faktor penting yang mendorong pengikut agama kemudian memilih cerai dari agama mereka.
Fenomena ateisme di masyarakat idealnya harus disikapi secara dewasa dan ilmiah oleh kaum teis atau umat beragama, bukan malah dihadapi dengan hukuman, kecaman, atau kutukan. Munculnya kaum ateis juga bisa dijadikan sebagai kritik internal sekaligus tantangan untuk mengembangkan agama yang lebih ilmiah, rasional, beradab, manusiawi, modern dan memperhatian kemajuan zaman, agar umat beragama tetap betah tinggal di dalamnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Mengabadikan Kekuatan Supranatural
Men, Mountains and Sea merupakan proyek foto hitam putih Rony Zakaria yang mengabadikan hubungan antara manusia dengan alam. Ia memotret panorama Indonesia dengan ritual berbagai kepercayaan dan penghormatan kepada alam.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2009
Kawah Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok dan Semeru di malam hari, sebelum puncak perayaan Hindu Yadnya Kasada, dimana orang-orang Tengger memohon berkah dari Hyang Widi Wasa, dengan melemparkan sesajen berupa makanan dan hasil panen mereka ke kawah Gunung Bromo.
Foto: Rony Zakaria
Merapi, Jawa Tengah, 2008
Seorang pria berjalan di puncak gunung. Puncak Gunung Merapi, dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai latar belakangnya. Gunung Merapi merupakan salah satu dari lebih 100 gunung berapi aktif di Indonesia.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2012
Para peziarah tengah beristirahat di pinggiran kawah Gunung Bromo. Masyarakat setempat sangat menghormati gunung di pulau Jawa yang dianggap sakral ini.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur 2009
Para pemuka adat Tengger mengumpulkan air suci di air terjun Madakaripura sebagai bagian dari ritual perayaan Yadnya Kasada. Selama festival berlangsung, para warga memohon berkat dari Hyang Widi Wasa dengan memberikan sesajen.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Para wisatawan di pantai Parangtritis menikmati matahari terbenam. Di pantai ini diyakini sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Para pengunjung biasanya tidak disarankan memakai pakaian berwarna hijau, karena ada kepercayaan bahwa mereka yanag berpakaian hijau akan diambil oleh Ratu Pantai Selatan.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Warga Yogyakarta bersembahyang di Pantai Parangkusumo, dalam upacara Labuhan Alit. Mereka memohon jalan keluar dari masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Mulai dari masalah keuangan, karir, keluarga, percintaan dan lain-lain.
Foto: Rony Zakaria
Bali, 2008
Seorang pria di pantai Batubolong Bali sedang mencuci topeng tradisional di laut untuk upacara penyucian. Emas dan mutiara hiasan topeng ini dicuri beberapa waktu sebelumnya. Jadi warga lokal ingin membuang sisa-sisa kejahatan itu dengan melarungkannya di laut.
Foto: Rony Zakaria
Jepara, 2012
Parade perahu nelayan di pantai Jepara dalam ritual “Sedekah Laut“, merupakan tradisi rutin memberikan sesajen kepada penguasa laut. Ritual dipercaya dapat memberikan berkah bagi musim mencari ikan berikutnya.