1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menyingkap Masa Lalu Yang Gelap

3 Juni 2008

Luka dan trauma akibat perang saudara di Libanon, dari tahun 1975 -1990,masih berbekas. Ribuan orang masih hilang. Sebuah LSM di Beirut mencoba mengungkapkannya. Tugas berat, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Sebuah sudut jalan di Beirut, ketika terjadi perang saudara tahun 1975-1990Foto: AP


Diwaktu belakangan, berita mengenai konflik yang terjadi di LIbanon , tak pernah sepi. Dan belum lama berselang , kembali terjadi pertempuran antara milisi bersenjata kelompok oposisi dengan partai pemerintah.Konfliknya dicemaskan dapat kembali membawa Libanon kejurang perang saudara, seperti yang terjadi selama 15 tahun. Yakni antara tahun 1975 sampai tahun 1990. Dengan terpilihnya Jenderal Michel Sulaeman baru-baru ini sebagai presiden yang baru, diharapkan dapat diciptakan ketenangan dan kedamaian di Libanon yang masih belum pulih dari luka perang saudara . Sampai sekarang bekas yang ditinggalkan perang saudara dari tahun 1975 sampai 1990 belum lenyap sama sekali. Juga serangan Israel pertengahan tahun 2006, masih merupakan trauma bagi warga Libanon. Sekarang, ditengah situasi yang demikian, muncul gagasan dan kegiatan untuk menangani masa lalu yang gelap yang dialami masyarakat Libanon, serta untuk mengungkapkan nasib sejumlah besar warga yang dinyatakan hilang selama berkecamuknya perang saudara., pada tahun 1975 sampai 1990.

Disebuah gedung UNESCO dibagian barat Beirut dipamerkan ratusan foto, yang sebagian besar anak-anak muda. Mereka adalah yang dinyatakan hilang dalam perang saudara di Libanon antara tahun 1975 sampai 1990. Dibawah fotonya, terdapat keterangan singkat mengenai nama, tanggal lahir dan kapan ia hilang. Pameran ini, merupakan bagian dari kampanye secara nasional yang dilakukan sebuah Lembaga Non Pemerintah di Beirut, "Umam Documentation and Research". Mengapa gagasan itu muncul?. Manejer proyeknya, Nadeche Frondon mengungkapkan,

"Gagasan dibalik proyek ini adalah untuk mengungkapkan masa lalu di Libanon. Terutama menyangkut orang yang hilang selama berkecamuknya perang saudara. Kami hendak membentuk sebuah forum dikalangan publik. Beberapa bulan lalu, kami mulai menghubungi keluarganya serta komite yang menangani orang hilang, untuk mendapatkan fotonya, dan kemudian dibuat dalam bentuk poster. Sampai sekarang telah ada 500 poster. Tapi itu belum semuanya. Dengan alasan logistik untuk sementara kami menghentikannya. Sementara itu kami mendapatkan daftar nama dari ribuan orang yang hilang. Tapi sayangnya kami tidak memiliki foto mereka".

Sebetulnya menjelang pecahnya perang saudara di Libanon. telah terlihat gejala meningkatnya ketegangan antara kelompok Arab nasionalis dengan kelompok Kristen yang pro barat di Libanon. Hal ini tak dapat dipisahkan dari makin bertambahnya warga Muslim di Libanon yang tadinya didominasi kelompok Kristen. Pertambahan warga Muslim ini karena mengalirnya pengungsi Palestina, serta pejuang bersenjata Palestina PLO, dbawah pimpinan Yaser Arafat pada awal tahun 70-an. Dan mereka berusaha menanamkan pengaruh dibidang ekonomi dan politik. Kemudian berkembang menjadi perang antar agama dan kelompok.Tahun 1982, Israel menduduki bagian selatan, dan juga Ibukota Beirut. Invasi Israel itu memaksa kelompok perlawanan Palestina PLO hengkang dari Libanon, dan mengasingkan diri di Tunis. Iran mengirimkan pasukannya ,, dan membentuk milisi Syiah,Hisbullah. Sementara Suriah sejak tahun 1976 berusaha meredakan peperangan, Dan usaha ini baru berhasil pada akhir tahun 80-an.. Akhirnya bulan Oktober 1989, di Taif, dengan penengah Arab Saudi , ditandatangani perjanjian perdamaian, yang mengkahiri perang saudara di Libanon. Sejak itu ditentukan pembagian jabatan dipemerintahan dengan berdasarkan wakil kelompok agama. Selama berkecamuknya perang saudara,pada tahun 1975 sampai 1990, sekurangnya 150 ribu orang tewas, dan 16 ribu lainnya dinyatakan hilang. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM " Umam Documentaion and Research" mengkritik ditutupnya dokumen semua penjahat perang, lewat undang-undang amnesti. Pemerintah Libanon memberikan amnesti,.ketimbang menyelesaikan kasusnya. Lewat proyek yang dilakukannya,juga kelompok LSM ini hendak menggugah warga Libanon untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi ketika itu. Monika Borgmann, Kurator pameran dan Direktur LSM " Umam Documentaion und Research" , menjelaskan mengapa menangani masa lalu di Libanon merupakan sesuatu yang sangat penting:


"Bila Libanon menggarap masa lampaunya, yakni perang saudara yang berkecamuk selama 15 tahun, maka situasi politik yang terjadi sekarang, tentu akan berbeda. Tapi hal itu tidak dilakukan di Libanon, karena sampai sekarang masalahnya dianggap tabu untuk diungkit. Diwaktu lalu, memang ada prakarsa untuk mengingatnya. Tapi itu, merupakan prakarsa kecil, dengan tidak berusaha menarik semua pelakuknya. Dengan dasar ini, kami memunculkan gagasan baru. Situasi politik di Libanon peka dan kritis. Memang bukan merupakan saat yang tepat untuk melalukannya.Meskipun demikian tugas untuk itu harus dimulai"

Gagasan untuk menampilkan foto warga yang hilang selama perang saudara di Libanon, diilhami oleh kegiatan yang dilakukan sebuah kelompok hak asasi Argentina, ketika negara ini, diperintah junta militer. Dengan menampilkan fotonya, mereka menuntut junta militer Argentina menjelaskan nasib warga yang hilang. Hal yang sama juga pernah dilakukan di Aljazair, ketika berkecamuknya perang saudara antara kelompok Islam militan dengan tentara pemerintah. Di Libanon, selain menyelenggarakan pameran foto warga yang hilang, juga diadakan " workshop " diberbagai daerah, yang diikuti para pakar dan korban perang saudara. Mengenainya Monika Borgamm menambahkan:

"Proyek yang kami garap, terdiri dari tujuh kegiatan " workshop", yang diselenggarakan sepanjang tahun. Kami berketetapan untuk mengundang semua pelakunya, dan mengkonfrontirnya dengan kasus dimasa lalu ini. Untuk itu kami mengundang semua kalangan, termasuk militer, politisi, wartawan dan cendikiawan".

Untuk penyelenggaraannya, proyek ini, antara lain didanai oleh Kementerian Luar Negeri Jerman dan Lembaga hubungan luar negeri serta Yayasan Heinrich Böll. Monika Borgmann optimis, pameran foto dan workshop yang diselenggarakannya akan dapat mencapai tujuannya, meskipun iklim politik di Libanon masih tetap diwarnai bayangan ketegangan, dan ancaman munculnya konflik yang baru. Ia mengatakan:

"Saya pikir masyarakat tidak menghendaki dikonfrontir dengan sesuatu yang sangat abstrak. Pengalaman kami menunjukkan, bila masyarakat dihadapkan dengannya yang agak konkrit, maka mereka bersedia untuk itu. Pamaren yang kami selenggarakan, tentu saja tidak dapat melakukan perubahan yang mendasar. Tapi perdebatan, juga lewat media. maka pameran yang terbuka bagi publik itu, dalam jangka panjang akan dapat melakukan sedikit perubahan. Itulah paling tidak yang kami harapkan. Dan inilah yang mendorong kami untuk menggagas kegiatannya".(ar)

..