1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menyongsong Kejayaan Generasi 98

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
21 Mei 2021

Reformasi sudah memasuki tahun ke-24, artinya sudah hampir seperempat abad, rasanya sudah tiba waktunya bagi Generasi 98 untuk tampil di level lebih tinggi dalam politik nasional. Opini Aris Santoso.

Aksi protes 1998 juga berlangsung di London, Inggris.Foto: Getty Images/AFP/P. Richards

Bila kita bandingkan dengan Generasi 66, tampilnya Generasi 98 terhitung terlambat. Pada tahun 1978, Abdul Gafur sebagai eksponen Generasi 66 sudah masuk kabinet sebagai Menteri Pemuda (setara Menpora sekarang). Jadi hanya butuh waktu 12 tahun untuk masuk lingkaran dalam kekuasaan.

Seandainya pergerakan mahasiswa dalam ikhtiarnya menumbangkan sebuah rezim merupakan sebuah "hutang budi”, maka rezim berikutnya, yang kemunculannya banyak dibantu gerakan mahasiswa, menjadi wajib untuk "balas budi”. Begitulah tradisi politik yang selama ini berlaku. Namun bagi Generasi 74 dan Generasi 78, tokoh sentral mereka tidak sempat muncul menjadi menteri, mungkin karena momentumnya sudah lewat, mengingat Rezim Orde Baru berkuasa demikian lama.

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Skema "balas budi” sudah ditunjukkan rezim Jokowi ketika memberi posisi menteri kepada eksponen Generasi 1980-an, seperti Teten Masduki dan Pramono Anung, termasuk jabatan setingkat dibawahnya kepada Fajrul Rachman. Dengan begitu rezim Jokowi, sejatinya sudah tidak memiliki "hutang” kepada generasinya Kang Teten dan Mas Pram. Seandainya, masih ada tambahan lagi posisi elite, anggap saja itu sebagai bonus. Fase berikutnya adalah giliran Generasi 98 yang bakal mewarnai panggung politik nasional.

Generasi 66 dan fenomena relawan

Generasi 66 termasuk generasi yang beruntung, sebab durasi perjuangannya relatif cepat, dan cepat pula menuai hasil. Bila awal perjuangan Generasi 66 dihitung sejak lahirnya Tritura (tri tuntutan rakyat) tangal 10 Januari 1966, dua bulan kemudian generasi ini sudah mencapai kesuksesan, ditandai dengan lahirnya Supersemar, 11 Maret 1966, tonggak bagi berkuasanya Jenderal Soeharto. Begitulah, keberadaan Generasi 66 adalah untuk melegitimasi peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Soeharto.

Beda dengan generasi sesudahnya, yakni Generasi 74, Generasi 78, dan seterusnya, yang kemunculannya berdasar sikap perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa. Menjadi wajar bila jangka waktu perjuangan mereka juga menjadi panjang. Hariman Siregar (tokoh Malari 1974) misalnya, baru bisa masuk lingkaran kekuasaan di era Habibie, berarti ada penantian sekitar 25 tahun, terhitung sejak tahun 1974 sampai 1998. Itupun hanya sesaat, sesudah Habibie lengser (Oktober 1999), Hariman kembali menepi.

Demikian juga dengan Generasi 98, kalau benar perkiraan di antara mereka akan masuk kabinet pada tahun 2024, berarti ada penantian sekitar tahun 26 tahun. Hampir sama durasinya dengan perjuangan rakyat Timor Leste untuk mencapai kemerdekaan (1975 – 2000).

Menjadi menteri pada kabinet yang akan datang adalah hak sejarah Generasi 98, bila ukurannya adalah "keringat dan darah” dalam perjuangan. Kalau Generasi 66, yang tidak begitu berkeringat saja, bisa mendudukkan eksponennya berkali-kali dalam kabinet, tentu Generasi 98 lebih pantas lagi, dan alokasinya harus lebih banyak.

Namun setidaknya Generasi 66 telah menjadi inspirasi bagi munculnya fenomena relawan. Mengingat model kerja keduanya mirip, sama-sama mendukung rezim yang sedang berkuasa, atau (kandidat) rezim yang akan berkuasa, karena fenomena relawan biasanya muncul pada saat (terutama) pilpres, dan juga pilkada.

Kesamaan lainnya adalah soal beban kerja, yang relatif ringan, namun hasilnya bisa cepat diraih,terlebih bila pihak yang didukungnya menang dalam pemilu. Komunitas relawan, diukur dari segi pengorbanan, tentu sangat jauh dibanding Generasi 98, yang sampai berkeringat dan berdarah-darah (bahkan kehilangan nyawa) dalam menumbangkan rezim Orde Baru.

Ruang bagi mantan aktivis

Dalam pembentukan kabinet, sejak Orde Baru hingga sekarang, selalu ada tempat bagi mantan aktivis pergerakan mahasiswa. Nama-nama seperti Abdul Gafur, Mar'ie Muhammad, Sarwono, Jusman Syafii Djamal, Rizal Ramli, Teten Masduki, dan seterusnya, adalah mantan aktivis, yang juga memiliki kompetensi secara keilmuan, sehingga memang layak untuk menempati posisi menteri. Tentu yang paling istimewa adalah Mar'ie Muhammad, yang pernah menjadi Menteri Keuangan, posisi yang sangat jarang dipegang mantan aktivis, mengingat persyaratan kompetensi keilmuannya sangat tinggi.

Merujuk formasi kabinet seperti itu, sudah selayaknya mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998 bisa masuk kabinet pada periode mendatang, yakni tahun 2024. Selama ini ada kementerian yang sedikit "longgar” dalam kompetensi teknis bagi calon menterinya, seperti Kemenaker, Kemenpora, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, Mensekab, atau KSP, sehingga acapkali dialokasikan bagi mantan aktivis gerakan mahasiswa. Berbeda dengan Kementerian Keuangan atau Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), yang calon menterinya harus benar-benar kompeten dan kredibel dalam keilmuan dan pengetahuan.

Berdasar skema seperti itu, tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa seperti Budiman Sudjatmiko, Fadli Zon, Adian Napitulu, dan juga Fahri Hamzah, sangat layak untuk direkrut sebagai menteri untuk periode mendatang (2024). Berdasar bunyi pepatah lama, bahwa kesempatan tidak pernah datang dua kali, rasanya momentum bagi Generasi 98 telah tiba.

Faktor usia perlu menjadi pertimbangan, sebab bila pada formasi kabinet 2024 masih luput juga, ruang bagi Generasi 98 akan semakin sempit. Pada tahun-tahun sesudahnya, akan muncul sejumlah kandidat dari generasi milenial, yang selain lebih muda dari segi usia, dari segi pemikiran juga lebih segar dan canggih. Meskipun mereka tidak pernah memiliki pengalaman sebagai aktivis gerakan mahasiswa, karena zaman memang sudah berganti.

Mungkin sebagian dari kita masih ingat, ketika nama Fadli Zon sempat disebut-sebut sebagai calon Menteri Pertanian, sehubungan latar belakangnya sebagai Sekjen HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), pada sebuah reshuffle di era Presiden SBY. Dalam bahasa sederhana, tinggal menunggu undangan hari pelantikan, namun sayang surat undangan dari Istana yang ditunggu-tunggu tidak pernah tersampaikan. Semoga untuk kabinet berikut, nama Fadli Zon tidak meleset lagi.

Kondisi Budiman Sudjatmiko kurang lebih serupa, sejak Jokowi berkuasa tahun 2014, sebenarnya Budiman sudah disiapkan untuk Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi, namun saat benar-benar diumumkan, entah mengapa namanya tidak jadi muncul. Bahkan portofolio Budiman kini telah bertambah, ketika dia membangun sebuah kawasan di Sukabumi (selatan) yang diimpikan mirip "silicon valley” di negeri Paman Sam. Ikhtiar kiwari Budiman ini diharapkan memperbesar peluangnya, agar bisa benar-benar menjadi menteri kelak.

Demikian juga dengan Adian dan Fahri Hamzah, siapa yang meragukan peran kedua tokoh ini, sebagai orang yang paling berkeringat dalam gerakan mahasiswa tahun 1998. Pengalaman keduanya dalam parlemen, adalah modal sosial yang mumpuni dalam menapaki karir menuju kekuasaan eksekutif. Mereka bisa berbagi dalam kementerian yang dianggap "longgar” dalam kompetensi teknis, semisal KSP, Menpora atau Menseskab.

Pengabaian kasus HAM

Salah satu ujian terberat bagi Generasi 98 ketika masuk ke lingkaran elite adalah, bagaimana respons

mereka terhadap kasus HAM, terutama yang langsung bersentuhan dengan mereka secara personal. Terus terang saya ragu, mereka kelak akan mendorong penyelesaian kasus (pelanggaran) HAM. Orang seperti Budiman Sudjatmiko, bila kelak menjadi menteri, jangan terlalu diharap, dia akan mengangkat kembali isu Peristiwa  27 Juli 1996. Demikian juga dengan Adian, jangan terlalu diharapkan pula ikut mengangkat kasus pelanggaran HAM pada Mei 1998.

Dalih mereka sudah bisa ditebak, berdasarkan prinsip kompartemental, bahwa penyelesaian pelanggaran HAM, bukanlah urusan Budiman, Adian, Fadli Zon, dan seterusnya. Secara kelembagaan sudah ada yang mengurus pelanggaran HAM tersebut. Dengan berpikir secara kompartemental, mereka telah membebaskan diri dari beban (personal) masa lalu.

Pada akhirnya keluarga korban akan kembali berjuang sendiri, seperti hari-hari sebelumnya. Pepatah lama "sudah jatuh tertimpa tangga”, adalah gambaran yang paling pas bagi korban pelanggaran HAM di negeri ini. Para elite politik negeri ini memandang korban pelanggaran HAM semata-mata soal nasib (buruk). Bila kerangka berpikir seperti ini, mengapa pula masih berharap pada elite untuk penyelesaian HAM.

Jalan tengah paling fair bagi Generasi 98, khususnya yang menjadi pejabat publik setingkat menteri, adalah dengan membebaskan mereka dari beban isu HAM masa lalu, termasuk pada peristiwa yang sebenarnya mereka bagian dari korban. Biarkan mereka bekerja dengan tenang, kita masih percaya pada komitmen kerakyatan mereka. Sedikit meminjam tagline Generasi 66 dulu, jalan perjuangan mereka adalah demi ampera.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait