1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menyoroti Ambivalensi dan Inkonsistensi Hizbut Tahrir

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
2 Februari 2019

Apakah Hizbut Tahrir (HT), termasuk HTI adalah pejuang, pembela agama Islam dan kaum Muslim yang bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai keislaman secara murni dan konsekuen? Opini Sumanto al Qurtuby ajak Anda berpikir.

Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun

Bagi kaum Muslim yang tidak paham seluk-beluk Hizbut Tahrir (HT), termasuk cabangnya di Indonesia (Hizbut Tahrir Indonesia), mereka mungkin akan menganggap kalau HT adalah pejuang dan pembela agama Islam dan kaum Muslim yang bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai keislaman secara murni dan konsekuen di muka bumi. Bahkan fanatikus HT menganggap HT sebagai satu-satunya organisasi keislaman di jagat raya ini yang spirit dan praktik perjuangannya sesuai dengan petunjuk / isyarat dalam ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi.

Padahal, realitasnya tidak demikian. Pandangan dan praktik sosial-politik-keagamaan HT penuh dengan ambivalensi atau bahkan hipokrisi, serta jauh dari klaim mereka sebagai "pembela umat Islam” dan "pejuang Islam yang lurus dan murni”.

Mari kita lihat dan buktikan kenapa klaim "perjuangan dan jihad” HT (termasuk HTI) penuh dengan ambiguitas dan kemunafikan.    

Pertama, HT mengklaim sebagai pejuang umat Islam sejati dengan menjadikan rujukan aksi-aksi rutin mereka yang membela Palestina dari aneksasi rezim Israel. Pertanyaannya? Betulkah pembelaan terhadap Palestina itu sama dengan pembelaan terhadap agama dan umat Islam dari serbuan non-Muslim (Yahudi)?

Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Bagi yang paham sejarah konflik Israel-Palestina serta peta demografi dan geo-kultural Palestina, klaim HT itu tampak ironis dan menggelikan. Hal itu disebabkan (1) kelompok yang terlibat dalam konflik dan kekerasan Isarel-Palestina itu sangat kompleks melibatkan berbagai komunitas agama, tidak semata-mata Yahudi versus Muslim. Di kubu Palestina, selain umat Islam, juga terdapat umat Kristen dari berbagai denominasi yang juga turut berjuang dan menjadi korban kekerasan. Itulah sebabnya, di Palestina, Kristen-Muslim berkoalisi melawan rezim militan Israel, dan memang banyak tokoh Kristen Palestina (seperti Abuna Elias Chacour) yang membela warga Palestina.

Sementara itu di kubu Israel, selain militan Yahudi tentunya, juga terdapat sekelompok Arab Muslim, Druze, dan Baha'i. Ada sekitar 20 persen populasi Arab di Israel. Umat Druze, Baha'i, dan Kristen juga cukup signifikan di Israel. Menariknya tidak semua umat Yahudi itu pro-aneksasi atas Palestina. Kelompok Yahudi Heredi dan Lev Tahor misalnya sangat pro-Palestina dan anti terhadap gerakan Zionisme. Demikian juga kaum kiri di Israel seperti kelompok Komunis-Marxis yang juga pro-Palestina.

Bukan kekerasan agama

Jadi, konflik Israel-Palestina itu sama sekali bukan kekerasan berbasis agama. Pondasi kekerasan Israel-Palestina adalah klaim atas warisan sejarah, aset kultural, dan hak ulayat tanah atau teritori. Untuk mewujudkan impiannya sebagai "pemilik yang sah” atas tanah, teritori, kebudayaan, dan sejarah tersebut, sebagian kelompok Islamis di Palestina memanipulasi dan mengeksploitasi teks, doktrin, dan wacana keislaman. Hal yang sama juga dilakukan oleh faksi militan Yahudi (khususnya kaum Zionis) yang memanipulasi dan mengeksploitasi teks, doktrin, dan wacana keyahudian, selain membangkitkan kembali memori dan sejarah penderitaan Yahudi, khususnya di era Holocaust Hitler dan Nazi.

Konflik Israel-Palestina paling parah terjadi pada 1948 dimana Israel berhasil menghalau koalisi sejumlah negara Arab. Pendirian HTdilatarbelakangi oleh frustasi Taqiyuddin al-Nabhani (ideolog dan pendiri HT) atas kekalahan "aliansi Arab” dalam membela Palestina dari gempuran Israel. Dari sinilah maka tidak mengherankan kenapa HT dan jaringan internasionalnya (termasuk HTI) selalu membela Palestina serta membuat propaganda anti-Israel, Yahudi, Zionis, dan sekutunya.

Tetapi kemudian menjadi lucu ketika para aktivis dan simpatisan HT mengadakan berbagai aksi pembelaan atas Palestina kemudian diembel-embeli pembelaan terhadap agama Islam dan umatnya. Lebih lucu lagi jaringan internasional HT yang juga ikut-ikutan membela Palestina meskipun tidak memiliki sangkut paut dan ikatan kesejarahan dengan Palestina.

Jika memang benar bahwa mereka mengklaim memperjuangkan nasib umat Islam tanpa pandang bulu, kenapa mereka tidak pernah membela umat Islam Kurdi, Darfur, Yaman, Irak, Suriah, dlsb yang juga mengalami penderitaan lahir-batin?

Kedua, ironi dan ambivalensi HT berikutnya adalah mereka bersikeras memperjuangkan "nasionalisme” Bangsa Palestina tetapi tak pernah peduli dengan nasib bangsa-bangsa Muslim lain yang berjuang untuk memperoleh kedaulatan negara (misalnya Darfur, Kurdi, atau Rohingya).

Lucunya, kelompok HT internasional mengharamkan aksi dan gerakan nasionalisme di negara masing-masing karena dianggap tidak ada dalilnya tetapi getol membela perjuangan nasionalisme Bangsa Palestina.

Selanjutnya, ketiga, aktivis HT mengklaim membela dan pro-umat Islam tapi pada saat yang sama mereka antipati terhadap pemerintah dan negara-negara mayoritas Muslim karena dianggap tidak Islami lantaran tidak menerapkan "sistem khilafah” sebagai sistem politik-pemerintahan mereka. Bukan hanya itu saja, para fanatikus HT juga mengritik para ulama dan ormas-ormas keislaman yang menolak ide sistem khilafah.

Penolakan HT atas semua sistem politik-pemerintahan yang diterapkan oleh negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim itulah yang menyebabkan kenapa orpol ini ditolak dan diharamkan di berbagai negara mayoritas berpenduduk Muslim, termasuk negara-negara di Timur Tengah. Alasan lain karena berbagai rezim politik-pemerintahan di Timur Tengah menganggap ataupun mencurigai Taqiyuddin al-Nabhani menyimpan agenda tersembunyi untuk membangkitkan Dinasti Nabhan, yang didirikan oleh leluhur Taqiyuddin, yang dulu pernah berkuasa di Oman.

Bagaimana sikapnya terhadap dunia barat?

Keempat, HT juga ambivalen dalam hal sikapnya terhadap demokrasi dan Barat. Sejak era HT awal di zaman Taqiyuddin di 1950an hingga kini, HT secara konsisten menolak dan mengkritik demokrasi (juga Barat) karena dianggap tidak Islami atau tidak kompatibel dengan doktrin dan sistem politik-pemerintahan Islam seraya menganjurkan hanya sistem Khilafah-lah yang selaras dengan Islam. Tetapi pada saat yang bersamaan, HT sangat menikmati "buah” demokrasi sehingga mereka bisa bebas dan leluasa mengekspresikan ide, sikap, pendapat, pandangan, atau bahkan aksi-aksi sosial-politik-budaya yang tidak mungkin mereka lakukan di sebuah negara yang menganut sistem politik-pemerintahan yang tidak demokratis. Pula, hanya di negara-negara yang menganut sistem demokrasi saja, anggota HT bisa berkembang biak. Itulah sebabnya markas besar HT ada di London bukan di Baghdad, Amman, Yerusalem, Doha, atau Riyadh.

Mudah-mudahan publik Indonesia sadar bahwa HT itu adalah organisasi politik yang sangat politis, dilatari oleh  faktor politik tertentu dan bertujuan akhir untuk mewujudkan sistem politik tertentu, sama sekali bukan untuk mewujudkan "sistem politik Islam” dan nilai-nilai keislaman seperti klaim mereka selama ini. Mereka hanya menjadikan Islam semata-mata sebagai alat dan sarana belaka untuk mewujudkan ambisi dan cita-cita politik Taqiyuddin yang frustasi menyaksikan kegagalan dan kekalahan "koalasi Arab” dalam membela negerinya, Palestina, atas agresi dan aneksasi Israel. Semoga bermanfaat.

Penulis Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.