Sungguh persoalan pelik bila pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional benar-benar terwujud, mengingat tidak ada yang bisa diteladani dari figur Soeharto. Demikian opini Aris Santoso.
Iklan
Sekitar dua tahun lalu sempat muncul wacana pengangkatan figur Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Untungnya wacana tersebut akhirnya tidak berlanjut, sehubungan besarnya resistensi masyarakat. Sungguh persoalan pelik bila pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional benar-benar terwujud, mengingat tidak ada yang bisa diteladani dari figur Soeharto.
Pencarian figur yang bisa dijadikan teladan selalu menjadi problem dari generasi ke generasi. Seorang figur yang telah memperoleh predikat Pahlawan Nasional, tidak secara otomatis menjadikan dirinya dikenal publik, khususnya bagi generasi milenial. Karena bisa jadi figur dimaksud memang benar-benar tidak populer, sehingga tidak ada aspek yang menarik untuk dibahas. Tokoh (tidak menarik) semacam ini di negeri kita tak terhitung jumlahnya.
Spirit TNI
Sementara di sisi lain ada banyak figur nasional yang namanya nyaris dilupakan, namanya seakan tersembunyi dalam lipatan sejarah. Bisa jadi mereka belum pernah masuk nominasi sebagai pahlawan nasional, walaupun sejatinya tidak mengurangi makna kontribusi mereka bagi bangsa. Bagi figur semacam ini, status (pahlawan nasional) bukanlah segalanya. Dari sekian banyak figur, saya memilih empat nama secara random, masing-masing adalah Didi Kartasasmita, Bambang Supeno, M Oemar Qatab, dan Zulkifli Lubis.
Didi Kartasasmita, Bambang Supeno, dan Zulkifli Lubis, berasal dari satu rumpun, yakni tokoh senior Angkatan Darat. Sementara Oemar Qatab adalah pendiri dinas intelijen Polri. Didi Kartasasmita berperan dalam mendisain organisasi TNI di masa awal kemerdekaan, dan Bambang Supeno berjasa dalam membentuk spirit TNI, yang masih meninggalkan jejak sampai hari ini.
Salah satu aksi fenomenal Didi adalah, ketika dia berinisiatif dan berkeliling Jawa guna meminta tanda tangan sejumlah mantan perwira KNIL (tentara kolonial Hindia-Belanda) untuk segera bergabung dengan TNI. Didi sendiri adalah juga mantan perwira KNIL lulusan KMA Breda (1935). Salah satu nama penting yang setuju segera bergabung adalah Oerip Sumohardjo, perwira pribumi dengan pangkat tertinggi dalam KNIL, yakni mayor. Sesaat setelah itu, Didi bersama Oerip bahu-membahu membangun struktur Markas Besar TNI, yang baru saja berdiri.
Didi juga membangun pasukan di lapangan, yaitu Komandemen Jawa Barat, sebagai embrio Kodam (atau Divisi) Siliwangi. Hanya karena kompleksitas zaman itu, karier Didi sedikit terhambat. Dan namanya selaku pendiri pasukan Siliwangi, berada di bawah bayang-bayang AH Nasution. Padahal dari segi pendidikan formal, Didi lebih firm, mengingat Nasution hanya sampai taruna senior di KMA Bandung, yang merupakan "cabang” dari KMA Breda.
Kemudian soal Kolonel Bambang Supeno. Di lingkungan TNI, Bambang Supeno akan selalu terus diingat, karena beliau adalah konseptor "Sapta Marga”, informasi ini mungkin masih asing bagi publik sekarang. Sayang sekali figur Bambang Supeno terlalu cepat menghilang. Konflik yang berkepanjangan dengan KSAD saat itu (Kolonel AH Nasustion), pasca-Peristiwa 17 Oktober 1952, menjadikan dirinya mundur sebagai Wakil KSAD.
Satu hal yang patut dicatat, Didi Kartasasmita dan Bambang Supeno adalah perwira yang hidupnya sangat sederhana. Sesuatu yang ironis terjadi, perwira-perwira yang berani hidup sederhana dan idealis, biasanya justru terpinggirkan posisinya, seperti nama-nama tersebut di atas. Itu sebabnya gagasan Presiden Jokowi tentang revolusi mental menjadi relevan, bagaimana membentuk manusia Indonesia untuk berani hidup sederhana.
Koruptor Paling Tamak Dalam Sejarah
Hampir tidak ada diktatur di dunia yang tidak menilap uang negara. Tapi ketika sebagian puas dengan vila atau jet pribadi, yang lain rakus tanpa henti. Berikut daftar koruptor yang paling getol mengumpulkan uang haram
Foto: AP
#1. Soeharto, Indonesia
Selama 32 tahun berkuasa di Indonesia, Suharto dan keluarganya diyakini menilap uang negara antara 15 hingga 35 miliar US Dollar atau sekitar 463 trilyun Rupiah. Jendral bintang lima ini lihai menyembunyikan kekayaannya lewat berbagai yayasan atau rekening rahasia di luar negeri. Hingga kini kekayaan Suharto masih tersimpan rapih oleh keluarga Cendana
Foto: picture alliance/CPA Media
#2. Ferdinand Marcos, Filipina
Ferdinand Marcos banyak menilap uang negara selama 21 tahun kekuasaanya di Filipina. Menurut Transparency International, ia mengantongi setidaknya 10 milyar US Dollar. Terutama isterinya, Imelda, banyak menikmati uang haram tersebut dengan mengoleksi lebih dari 3000 pasang sepatu. Imelda kini kembali aktif berpolitik dan ditaksir memiliki kekayaan sebesar 22 juta USD
Foto: picture-alliance/Everett Collection
#3. Mobutu Sese Seko, Zaire
Serupa Suharto, Mobutu Sese Seko berkuasa di Zaire selama 32 tahun. Sang raja lihai memainkan isu invasi negara komunis Angola untuk mengamankan dukungan barat. Ketika lengser, Mobutu Sese Seko menilap hampir separuh dana bantuan IMF sebesar 12 milyar US Dollar untuk Zaire dan meninggalkan negaranya dalam jerat utang.
Foto: AP
#4. Sani Abacha, Nigeria
Cuma butuh waktu lima tahun buat Sani Abacha untuk mengosongkan kas Nigeria. Antara 1993 hingga kematiannya tahun 1998, sang presiden meraup duit haram sebesar 5 milyar US Dollar atau sekitar 66 trilyun Rupiah. Sesaat setelah meninggal, isterinya lari ke luar negeri dengan membawa 38 koper berisi uang. Polisi kemudian menemukan perhiasan senilai jutaan dollar ketika menggeledah kediaman pribadinya
Foto: I. Sanogo/AFP/Getty Images
#5. Slobodan Milosevic, Serbia
Slobodan Milosevic yang berkuasa di Serbia antara 1989-1997 dan kemudian Yugoslavia hingga 2000 tidak cuma dikenal berkat serangkaian pelanggaran HAM berat yang didakwakan kepadanya, melainkan juga kasus korupsi. Selama berkuasa Milosevic diyakini menilap uang negara sebesar 1 milyar US Dollar atau sekitar 13 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
#6. Jean-Claude Duvalier, Haiti
Selama 15 tahun kekuasaannya di Haiti, Jean-Claude Duvalier tidak cuma bertindak brutal terhadap oposisi, tetapi juga rajin mengalihkan uang negara ke rekening pribadinya di Swiss. Saat kembali dari pengasingan 2011 silam, Duvalier didakwa korupsi senilai 800 juta US Dollar.
Foto: picture-alliance/AP/Dieu Nalio Chery
#7. Alberto Fujimori, Peru
Alberto Fujimori berkuasa selama 10 tahun di Peru. Buat pendukungya, dia menyelamatkan Peru dari terorisme kelompok kiri dan kehancuran ekonomi. Tapi Fujimori punya sederet catatan gelap, antara lain menerima uang suap dan berbagai tindak korupsi lain. Menurut Transparency International ia mengantongi uang haram sebesar 600 juta US Dollar atau sekitar 8 trilyun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Bapak intelijen
Tradisi intelijen Indonesia banyak diwarnai oleh dua orang tokoh, yaitu Kolonel Zulkifli Lubis dan Kombes (Pol) M Omar Qatab. Warisan terpenting Zulkifli Lubis adalah konsep intelijen tempur (combat intelligence), sementara Omar Qatab lebih sebagai "intelijen masyarakat”, yakni kegiatan yang memonitor potensi bahaya dalam masyarakat.
Dari segi kelembagaan, jejak mereka juga masih tampak. Bais TNI misalnya, lebih condong pada masalah intelijen tempur, meskipun ada direktorat khusus yang "mengawasi” masyarakat. Sementara konsep "intelijen masyarakat” rintisan Omar Qatab mewujud pada Baintelkam (Badan Intelijen Keamanan) Polri. Nama lembaga intelijen kepolisian bentukan Omar Qatab, awalnya dulu bernama Pengawas Aliran Masyarakat, nama ini menggambarkan fungsinya yang bergerak di tengah masyarakat. Secara kelembagaan, namanya sempat berganti beberapa kali, namun prinsip kerja dan fungsinya tetap sama.
Bila Zulkifli Lubis sudah acapkali dibahas, beda halnya dengan Omar Qatab,yang praktis kurang dikenal masyarakat. Salah satu akses informasi untuk bisa mengetahui kiprah Omar Qatab, adalah melalui puteranya, yang menjadi tokoh di panggung budaya pop, yaitu komedian Indro Warkop. Berkat informasi dari (Mas) Indro Warkop pula, penulis jadi mengetahui bahwa ayahnya dulu yang mendirikan grup kesenian Reog BKAK (Badan Kesenian Angkatan Kepolisian).
Grup Reog BKAK sebenarnya adalah bagian dari operasi intelijen Polri, yang dalam terminologi intelijen, biasa dikenal sebagai "penggalangan” (conditioning). Mungkin sebagian dari kita masih mengingat dengan baik, dalam setiap penampilannya, Reog BKAK selalu membawa misi khusus, semisal menyebar informasi yang menjadi kepentinngan pemerintah. Atau sebaliknya, memberikan klarifikasi atau menangkal informasi bohong yang berkembang di masyarakat (hoax).
Penggalangan atau operasi intelijen melalui grup kesenian ini kemudian dimodifikasi oleh Opsus (operasi khusus) pimpinan Ali Murtopo, menjelang operasi pendudukan di Timor Timur dulu. Dalam hal ini Ali Murtopo melibatkan kelompok musik pop Koes Plus, melalui lagu "Diana”. Lagu ini semula diciptakan, dengan target khusus menjangkau masyarakat Timor Timur, dengan melalui lagu pop itu diharapkan Jakarta atau Indonesia, secara perlahan menjadi wacana di sana.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.
Foto: Davidelit
9 foto1 | 9
Menyelamatkan Generasi 45
Dua dekade setelah Orde Baru jatuh, kita bisa mengambil hikmah atas keberadaan figur-figur di atas, bahwa dengan cara masing-masing, mereka turut andil menyelamatkan citra Generasi 45, agar tidak terperosok lebih dalam. Tanpa kehadiran figur-figur seperti mereka, citra Generasi 45 benar-benar sedang menuju titik nadir.
Bila kita ingat kembali, bagaimana ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, Soeharto juga membawa gerbong berisi sekian banyak jenderal dari generasinya (Generasi 45), yang kemudian menjadi penyangga pemerintahannya.
Sejumlah jenderal ini seolah turun dari langit, mereka datang secara dadakan, tanpa publik pernah tahu bagaimana rekam jejak jenderal-jenderal itu.
Pada umumnya para jenderal yang "turun dari langit” ini, berkumpul di sekitar Istana dan Golkar, parpol instan bentukan rezim Soeharto. Celakanya lagi, bila salah satu dari mereka ada yang menjadi pejabat publik, nama mereka akan menjadi materi pelajaran di SD dan SMP. Dengan kata lain ada unsur "paksaan” kepada anak didik untuk mengagumi tokoh yang kurang dikenal tersebut, sementara rasa kagum itu bersifat alamiah, tidak bisa dipaksakan.
Bagi generasi milenial yang kini sangat menguasai opini di media sosial, secara alamiah dalam posisi diuntungkan, karena tidak pernah berhadapan langsung dengan Generasi 45. Sementara bagi generasi sebelumnya, mereka yang lahir di tahun 1960-an sampai 1980-an, Generasi 45 lebih dipandang sebagai beban ketimbang sebuah fenomena pencerahan.
Penulis Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan menulis pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia di bawah ini.
Apakah Anda bersedia mati bagi negara?
DW bertanya pada beberapa orang di jalanan kota Berlin, apakah mereka bersedia mati bagi negara. Jika tidak, apakah ada alasan lain untuk berkorban bagi negara?
Foto: DW/S. Kirby
Fuat (32 thn, Jerman)
“Saya tidak mau mati bagi negara, karena saya tidak bisa bilang bahwa sanya punya satu negara. Orangtua saya dari Turki dan saya besar di Jerman. Saya merasa tidak punya negara.” Kebanyakan warga Eropa Barat enggan untuk berperang bagi negara mereka. Hanya 25 persen yang mengatakan bersedia. Di Turki, 75 persen warga siap panggul senjata bagi bangsa mereka.
Foto: DW/S. Kirby
Iulia (26 thn, Rumania)
“Tidak mau mati. Mungkin saya akan ikut ambil bagian dalam aksi protes, tidak lebih dari itu. Sejarah negara saya tidak membuat saya menginginkan sesuatu yang lebih. Saya tidak berpikir bisa mengubah sesuatu, walau seandainya saya menyatakan pendapat saya. “ Jajak pendapat pada tahun 2014 menunjukkan, 38 persen warga Rumania bersedia berperang bagi negara, sementara 41 persen menolaknya.
Foto: DW/S. Kirby
James (27 thn, pengungsi dari Kamerun)
"Saya siap mati untuk negara saya. Saya mencintai negara saya. Namun situasi politik, tidak memungkinkan berjuang sendirian. Masalahnya adalah terdapat banyak kepentingan. Saya ingin membuat perubahan, tapi diperlukan banyak orang dengan gagasan, ideologi yang sama untuk memulainya. Saya menolak kekerasan. Kita harus tegas menunjukkan bahwa kekerasan tidak pernah bisa pecahkan masalah..
Foto: picture-alliance/dpa/N. Chimtom
Anonim (Jerman)
"Saya anti-perang. Saya turun berdemonstrasi untuk menentang perang di Ukraina. Saya menolak bergabung dengan militer Jerman, ketika saya dipanggil wajib militer saat Perang Kosovo." Di Jerman, hanya 18 persen warga yang menyatakan bersedia berjuang bagi negara.
Foto: DW/S. Kirby
Soraya (15 thn, Perancis dan Jerman)
"Saya siap membela nilai-nilai tertentu. Tapi saya pikir, kekerasan bukanlah solusi. Saya tidak berpikir akan berjuang untuk negara saya. Tidak ada negara yang bisa saya sebut sebagai negara saya. Dan juga ada berbagai keputusan yang saya tidak setujui. Kita tidak selalu didukung sebagaimana seharusnya. "
Foto: DW/S. Kirby
Emily (30, Kanada)
"Saya tidak tahu, apakah saya bersedia mati untuk negara saya. Ini satu pertanyaan besar dan saya tidak pernah benar-benar berpikir tentang hal ini. Saya orang Kanada, jadinya saya tidak pernah berada dalam posisi seperti itu. Saya pikir, perang adalah sesuatu yang konyol." Menurut jajak pendapat, 30 persen warga Kanada rela mati untuk negara mereka.