Meraba Strategi Ekonomi Cina Hadapi Ancaman Tarif Trump
29 November 2024Ekonomi Cina masih berjuang untuk pulih dari pandemi, hampir dua tahun setelah Beijing mencabut kebijakan karantina atau ‘lockdown' nol-COVID di wilayah itu. Dalam tiga kuartal pertama 2024, pertumbuhan ekonomi Cina tercatat sebesar 4,8%, sedikit di bawah target 5%.
Deflasi, lemahnya permintaan konsumen, dan kehancuran besar di sektor properti telah merusak jalur pertumbuhan negara ini. Sementara, ketegangan dagang dengan Amerika Serikat (AS), yang diperkirakan jauh memburuk di bawah masa jabatan kedua Donald Trump itu, telah merugikan sektor ekspor, di mana sektor ini adalah pendorong utama Cina untuk menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia.
"Cina menghadapi masalah kelebihan produksi dan kurangnya konsumsi," ujar George Magnus, seorang peneliti di Pusat Cina Universitas Oxford dan mantan kepala ekonom di UBS, kepada DW. "(Para pemimpin Cina) akhirnya menyadari bahwa ekonomi tampaknya kehilangan momentum dan ini bukan masalah sekali saja."
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Pendekatan terarah dalam stimulus ekonominya
Pada September, Beijing menyuntikkan likuiditas ke dalam sistem perbankan senilai 2,7 triliun yuan (sekitar Rp5,9 triliun) untuk mendorong pinjaman, menurunkan suku bunga, serta mengumumkan pengeluaran infrastruktur baru dan bantuan bagi pengembang properti yang terlilit utang.
Awal bulan ini, pemerintah Cina mengumumkan adanya tambahan dana bantuan senilai 10 triliun yuan (sekitar Rp22 triliun) untuk membantu meredakan krisis utang di antara pemerintah daerah, yang sebelumnya banyak meminjam dana untuk proyek infrastruktur dan pengembangan ekonomi.
Langkah-langkah ini memicu lonjakan spektakuler dalam beberapa saham Cina, di mana indeks CSI 300 dari saham-saham terbesar yang terdaftar di Shanghai dan Shenzhen melonjak hingga 35%. Investor bertaruh bahwa Beijing akan segera kucurkan lebih banyak triliunan yuan untuk meningkatkan konsumsi domestik.
"Ada spekulasi bahwa akhirnya akan ada kebijakan dari sisi permintaan untuk mendukung konsumsi. Namun sejauh ini, belum ada yang terwujud," ujar Jiayu Li, Associate senior di firma penasihat kebijakan publik Global Counsel yang berbasis di Singapura, kepada DW.
Bukan langkah stimulus yang nyata
Li mengatakan bahwa meskipun paket yang diumumkan cukup "mengesankan," fokus utamanya ada pada restrukturisasi utang yang ada dan "tidak dapat dianggap sebagai stimulus baru." Ia menambahkan bahwa Beijing masih meremehkan besarnya utang pemerintah daerah yang mencapai 14,3 triliun yuan (sekitar Rp31,3 triliun). Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperkirakan angka itu mencapai 60 triliun yuan (sekitar Rp131,3 triliun), atau 47,6% dari produk domestik bruto (PDB).
Langkah-langkah baru ini jauh lebih besar daripada jumlah yang dikeluarkan setelah krisis keuangan 2008/2009, yang bernilai hingga 4 triliun yuan (sekitar Rp8,7 triliun). Namun, upaya saat itu setara dengan hampir 13% dari PDB, dibandingkan dengan sekitar 10% pada tahun ini. Intervensi tersebut membantu Cina menjaga pertumbuhan PDB di atas 8% selama krisis global.
Magnus percaya bahwa serangkaian upaya terbaru ini hanya akan memiliki "efek marjinal" terhadap pertumbuhan karena hanya akan mengurangi tekanan pada pemerintah lokal dan provinsi untuk memangkas anggarannya.
Namun, ia juga memperingatkan bahwa Beijing "hanya berputar-putar di tepian" dan dalam waktu dekat perlu mengambil langkah-langkah "radikal" untuk menangani banyak masalah struktural dalam ekonominya.
Trump 2.0 akan membutuhkan dukungan dari Beijing
Banyak pengamat Cina lainnya yang juga berpendapat bahwa langkah-langkah baru ini tidak akan cukup, terutama dengan ancaman baru tarif Trump AS atas impor Cina, sesaat ia kembali ke Gedung Putih pada Januari mendatang.
Trump mengatakan pada Senin (25/11) bahwa ia akan memberlakukan tambahan 10% pajak pada semua barang Cina yang masuk ke AS, yang berpotensi menaikkan tarif keseluruhan hingga 35%. Sebuah survei ekonom oleh kantor berita Reuters pekan lalu memperkirakan bahwa tarif baru AS dapat merugikan pertumbuhan Cina hingga satu poin persentase.
"Pasar berharap bahwa Beijing memilih untuk menunda langkah-langkah fiskal lebih lanjut hingga tahun depan (saat Trump menjabat)," ujar Li kepada DW, seraya menambahkan bahwa kekhawatiran semakin meningkat pada dampak dari potensi stimulus apa pun yang akan semakin terbatas pada saat itu.
Mata uang Cina kemungkinan akan melemah
Sementara itu, Magnus mengatakan bahwa tarif baru ini "tidak akan memiliki dampak besar" pada ekonomi Cina, meskipun hal ini mungkin akan menyebabkan melemahnya mata uang yuan.
Selama putaran pertama diberlakukannya tarif Trump pada Maret 2018 silam, Beijing mengimbangi sebagian dampaknya dengan membiarkan mata uang yuan terdepresiasi, yang membuat ekspor Cina menjadi jauh lebih murah.
Yuan turun sekitar 12% terhadap dolar AS, di mana itu adalah titik terendahnya dalam hampir satu dekade pada Agustus 2019. Washington kemudian menyebut Cina sebagai "manipulator mata uang," yang memicu tarif AS menjadi lebih tinggi selama berbulan-bulan hingga negosiasi meredakan ketegangan di antara kedua kekuatan ekonomi dunia tersebut.
Apakah Cina membutuhkan "Rencana Marshall”?
Huang Yiping, dekan Sekolah Pembangunan Nasional di Universitas Peking dan anggota Komite Kebijakan Moneter Bank Rakyat Cina, telah menyerukan program stimulus yang jauh lebih besar untuk "menstabilkan dan mendorong permintaan domestik."
Dalam sebuah wawancara bulan ini dengan South China Morning Post, ia menyerukan agar Beijing meluncurkan "Rencana Marshall Cina," merujuk pada program bantuan ekonomi pasca-Perang Dunia ke-II yang diluncurkan oleh AS untuk membangun kembali Eropa.
Versi Huang mengusulkan penggunaan kapasitas industri surplus Cina untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah di Selatan Global, untuk membangun infrastruktur baru dan beralih ke energi terbarukan. Namun, proposal ini kemungkinan akan menghadapi reaksi keras dari Barat, yang sudah khawatir tentang pengaruh Cina yang semakin besar di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Berapa banyak yang akan dikeluarkan Beijing selanjutnya?
Analis lain sepakat bahwa Beijing masih perlu menyuntikkan dana dalam jumlah besar ke sektor ekonominya, dengan proyeksi berkisar antara 5 triliun yuan hingga 10 triliun yuan (sekitar Rp11 triliun hingga Rp22 triliun).
Carlos Casanova, ekonom senior Asia di Union Bancaire Privee (UBP), mengatakan kepada Reuters bulan ini bahwa diperlukan setidaknya paket senilai 23 triliun yuan (sekitar Rp50,4 triliun).
Banyak analis juga merekomendasikan agar stimulus di masa depan lebih berfokus pada pengeluaran kesejahteraan sosial untuk rumah tangga dan lebih banyak bantuan pada sektor properti yang sedang terpuruk, daripada investasi industri tradisional dan proyek-proyek infrastruktur.
Sementara Magnus setuju bahwa pemerintah Cina akan "menyesuaikan" kebijakannya untuk meningkatkan permintaan domestik. Namun, ia skeptis apakah Cina akan segera beralih dari ekonomi berbasis produksi menjadi ekonomi berbasis ekspor.
"Saya tidak mengatakan bahwa Beijing akan menjadi hampa dalam hal langkah-langkah stimulusnya, tetapi saya pikir prioritas pemerintah jelas bukan untuk mengubah model pembangunan menjadi ekonomi yang lebih berorientasi pada konsumen dan kesejahteraan," ujarnya kepada DW.
Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris