1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Dengan Kerja Keras dan Keberanian Meraih Mimpi di Jerman

Marjory Linardy
24 Mei 2022

Jerman sudah hasilkan banyak tenaga ahli, dan punya citra bagus di Indonesia. Oleh sebab itu Jerman jadi tujuan Romaston Silalahi untuk dalami bioteknologi. Di situ juga, dia memulai menekuni olahraga mendaki gunung.

Ramaston Silalahi | indonesischer Experte in Biotechnologie und Bergsteiger
Foto: Privat

“Waktu kecil aku pernah bermimpi untuk menikmati empat musim. Terutama yang ada saljunya,” kata Romaston Silalahi sambil tertawa. Itu alasan pribadinya, ketika ditanya mengapa dia memilih berkuliah dan bekerja di Jerman. “Lama kelamaan ga mau pulang,” begitu ditambahkannya lagi masih sambil tertawa. Maston, begitu panggilan akrabnya, lahir di Paropo di tepi danau Toba. Kalau keluar rumah sudah bisa langsung lihat air danau kemudian gunung-gunung di sekitarnya, begitu cerita Maston.

Di Indonesia, dia dulu berkuliah di Universitas Negeri Medan jurusan biologi. Kebetulan salah seorang profesornya pernah studi di kota Halle di negara bagian Sachsen Anhalt, di Jerman bagian timur. Dialah yang membuka jalan bagi mahasiswanya untuk bisa berkuliah di Eropa. Mereka bersama-sama memilih Jerman, karena banyak ahli di berbagai bidang berasal dari Jerman. Itulah alasan utamanya untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Selain itu, Maston mengatakan, di Indonesia Jerman citranya bagus. Di Jerman dia melanjutkan studi ke jenjang S2 di Hochschule Bremerhaven, dalam bidang bioteknologi.

Ia tiba di Jerman tanggal 3 Oktober 2008. “Tepat pada Tag der Deutschen Einheit [Hari Penyatuan Jerman],” kata Maston. Ia bercerita, karena untuk berkuliah juga dibutuhkan kemampuan berbahasa Jerman, dia harus belajar bahasa Jerman terlebih dahulu selama dua tahun, sebelum mendapat izin tinggal untuk berkuliah. Itu dilakukannya di kota Bremen.

Menyantap makanan Indonesia bersama teman-teman setanah air di Oberstdorf, JermanFoto: Privat

Ketika masih dalam proses mempersiapkan diri untuk berkuliah, ia juga sudah harus bekerja untuk membiayai hidup. Demikian pula ketika sedang berkuliah. “Dapat 450 Euro sebulan sudah senang,” katanya lagi. “Datang ke Jerman dengan bekal kemauan aja.” Tidak pakai beasiswa dan tidak ada bantuan dari orang tua. Kalau ditanya mengapa di Bremen, dia bercerita, kalau di Jerman bagian selatan biaya menyewa tempat tinggal dan biaya lain-lainnya lebih mahal daripada di Jerman bagian utara. “Selain itu di Jerman Utara lebih mudah belajar bahasa jerman karena di sana orang Jermannya menggunakan Hochdeutsch [bahasa Jerman tanpa dialek].“

Sebetulnya, dulu ketika baru tamat SMU, dia bercita-cita menjadi dokter. Ketika mengikuti ujian untuk berkuliah di universitas negeri, dia memilih jurusan kedokteran di Universitas Sumatra Utara, dan jurusan biologi di Universitas Negeri Medan. Yang dia peroleh adalah pilihan ke dua. Awalnya dia berencana untuk mulai berkuliah saja di jurusan biologi, kemudian ikut seleksi lagi di tahun berikutnya.

Tapi akhirnya dia memutuskan untuk menyelesaikan kuliah di bidang biologi saja, karena merasa sayang, sudah menginvestasikan waktu dan dana selama setahun di jurusan itu. “Kalau di Indonesia, kita kan ga bisa sambil kuliah sambil kerja,” begitu dijelaskan Maston. Di jurusan biologi, dia juga pernah punya dosen dari Kanada, yang pintar dalam bidang bioteknologi. “Jadi misalnya, bagaimana membuat zat A dari bakteri? Atau dari organisme lainnya,” dijelaskan Maston. Akhirnya dia tertarik untuk memperdalam bidang bioteknologi.

Di puncak Watzmann-Königssee, JermanFoto: Privat

Mengapa dia memutuskan untuk berkuliah di Hochschule Bremerhaven, juga ada alasan tersendirinya. Jika berkuliah di Hochschule, 60% yang dipelajari adalah praktek, dan bukan teori seperti di universitas. “Dan karena saya orangnya tidak pandai komunikasi, jadi pengennya kerja aja di laboratorium. Ga harus ngomong, ga harus menginformasikan ke orang lain, dan ga harus menerangkan secara lisan cukup dengan tulisan.” Begitu dijelaskan Maston. Ketika kuliah, spesialisasinya adalah bidang bioanalitik.

Mulai bekerja di bidang yang diminati

Maston bercerita, ketika selesai kuliah ia mulai bekerja di sebuah perusahaan industri farmasi internasional. Awalnya dia bekerja di bagian DNA Sintesis. Setelah tiga setengah tahun di bagian itu, ia pindah ke bagian Gen Sintesis, dan tetap di perusahaan sama. Di bagian tempat kerjanya sekarang, dia sudah bekerja selama hampir empat tahun. Dia menjelaskan, tidak semua yang ia pelajari di bidang bioanalitik bisa digunakan di tempat kerjanya. Tapi misalnya, alat untuk Massenspektrometrie  atau spektrometri massa (MALDI TOF), yang ia gunakan ketika berkuliah di Bremerhaven sama dengan yang digunakan di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.

Dia menjelaskan, yang dikerjakan di bagian DNA Sintesis adalah membuat DNA, misalnya untuk tes PCR, yang baru-baru ini marak disebut-sebut akibat pandemi Corona. Sebelum pandemi, tes PCR sudah banyak digunakan di bidang forensik, misalnya untuk Vaterschaftstest, yang juga dikenal dengan sebutan tes paternity test menentukan hubungan darah antara ayah dan anak. Untuk tes seperti itu, DNA dari ayah dan anak harus dianalisa. Untuk itu DNA harus dimultiplikasi terlebih dahulu, yaitu dengan mendesain Primer DNA. “Primer DNA akan membaca untaian selanjutnya,” begitu kata Maston.

Bersama teman-teman di MünchenFoto: Privat

Dia bercerita, di bagian Gen Sintesis tempat dia bekerja sekarang, untaian DNAnya lebih panjang lagi. Dia menjelaskan pula, mereka membuat untaian DNA yang digunakan dalam terapi gen. Ia menambahkan, pelanggan terbesar mereka sekarang adalah BioNTech, yang terkenal di banyak negara setelah meluncurkan vaksin yang meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus COVID-19.

Ia menambahkan, ia dan rekan-rekannya membuat raw data atau sekuens yang masih mentah. Setelah itu, BioNTech akan mengubahnya lagi menjadi mRNA (messenger ribonucleic acid) atau RNA duta. Begitu jugalah pada vaksin, dan itulah yang nanti akan ijeksikan kepada pasien. “Jadi DNA buatan untuk terapi gen,” begitu disimpulkan Maston.

Tapi ia menambahkan pula, perusahaannya tidak melakukan penelitian. Itu dilakukan pelanggan seperti BionTech. Jadi perusahaannya hanya menerima pesanan, setelah klien menjelaskan untaian DNA seperti apa yang mereka inginkan. “Jadi yang kami kerjakan itu di bagian molekular biologinya,” kata Maston.

Ketika melakukan Hochtour di Silvrettahorn, AustriaFoto: Privat

Penggunaan Fachbegriffe dengan cepat dan tepat masih jadi tantangan

Dalam pekerjaan, seperti dalam urusan dengan customer support atau layanan bagi pelanggan, ia selalu menulis dalam bahasa Jerman, walaupun dalam bahasa Inggris juga bisa. Laporan di saat mengakhiri magang dulu dia tulis dalam bahasa Inggris, tetapi tesisnya untuk mendapat gelar Master dalam bahasa Jerman. “Tapi logatnya masih tetap Batak,” kata Maston sambil tertawa.

Maston menjelaskan, dalam hal pekerjaan, dia masih menghadapi tantangan dalam hal bahasa. Misalnya klien ada yang menanyakan suatu hal. Dia kadang menghadapi kesulitan memberikan penjelasan kepada klien dalam satu bahasa, jika selama ini informasi yang ia dapat menggunakan dua bahasa, yaitu Inggris dan Jerman. “Jadi Fachbegriffe [istilah spesifik dalam sebuah bidang] yang harus digunakan ga bisa langsung tepat.”

Tantangan dalam hal budaya juga ada. Dia menyinggung bahwa dulu, ketika masih kuliah banyak kesulitannya, tapi dia harus berusaha untuk mengingat terlebih dahulu. “Sekarang sudah enak jadi sudah lupa,” jelasnya sambil tertawa. Yang jelas, karena sejak kuliah dia sudah biasa bergaul dengan orang Jerman, ia mengatakan sambil senyum-senyum, “Man fühlt sich wie ein Deutscher [rasanya sudah seperti orang Jerman].”

Yang jelas ia ingat, ketika kuliah, profesornya tidak akan bertanya, apa masalah yang ia hadapi. Tapi jika dia berani dan mengutarakan, apa saja yang belum dia mengerti, profesornya akan mengambil waktu untuk menjelaskan semuanya sampai dia mengerti. “Tapi kalo kita ga bertanya, ga ada yang akan peduli,” begitu papar Maston.

Selain itu, ada perbedaan menonjol yang ia rasakan ketika berkuliah di Hochschule Bremerhaven, dibanding dengan ketika kuliah di Indonesia, dan hal ini ia pandang dengan kritis. “Waktu kuliah di Indonesia, kalau kita menggunakan pipet untuk sesuatu, ya asal-asal aja, gitu,” kata Maston. Sedangkan di Jerman, pipet ada lengkap dari berbagai ukuran, yang dibawah 0,5 mikroliter juga sudah biasa.

Bagi dia, yang ia rasa paling memalukan adalah ketika berkuliah di Bremerhaven, dia tidak tahu bagaimana cara menggunakan pipet yang diperlukan. “Waktu kuliah di Universitas Negeri Medan, ga pernah megang itu. Padahal itu hal dasar yang diperlukan orang untuk masuk ke universitas.” Ia bercerita merasa malu bertanya ke rekan kuliah lainnya. “Karena gimana caranya masuk ke universitas, kalau megang pipet ini aja ga pernah, gitu.”

Di Hoher Goll, AustriaFoto: Privat

Dia bercerita pula, semua peralatan di Hochschule Bremerhaven canggih. Semuanya belum pernah dia lihat di Indonesia, hanya pernah dengar. “Tapi itupun, dengarnya bukan saat kuliah. Mungkin dari YouTube, atau dari baca artikel, gitu.”

Namun karena menyadari ada kekurangan, ia berjuang menutupi kekurangan itu. Sehingga ketika mahasiswa yang lain sudah pulang, dia meminta izin kepada penjaga laboratorium untuk melihat semua peralatan yang ada di sana. “Jika bertanya, mereka langsung respek,” kata Maston. “Ja bitte, das gehört alles Dir.”  [Silahkan, terserah kamu mau melihat yang mana.]  Kemudian dia bisa mencoba-coba dan membaca semuanya. “Buka semua laci. Ini untuk apa? Baca sendiri. Biar nanti, kalau Praktikum [praktek] berikutnya, tahu di mana letaknya bahannya. Supaya ga terlalu bloon lah,” kata Maston sambil tertawa.

Kejujuran dan integritas sangat dihargai orang Jerman

“Kalau kita sudah percaya kepada orang Jerman, dan mereka sudah melihat kejujuran kita. Mereka akan mengobankan lebih banyak lagi.” Demikian dikatakan Maston, dan dia memang punya pengalaman khusus yang mendasari pandangannya itu. Dia bercerita, bahwa dia kenal sebuah keluarga Jerman ketika berkuliah dulu di Bremerhaven. Karena keluarga itu juga merasa sudah mengenal kejujuran dan integritasnya, maka keluarga itu bersedia menandatangani surat bagi Maston di Ausänderbehörde [kantor urusan orang asing], yang memberikan Verflichtungserklärung, yaitu surat jaminan, hingga dia selesai berkuliah.

“Itu tidak mudah diperoleh dari orang Jerman,” kata Maston. Dia juga tidak menyangka bahwa mereka akan berbaik hati sampai sejauh itu, karena kesedian menjamin bisa saja hanya untuk beberapa bulan, atau dua tahun saja. Karena kalau terjadi apa-apa terhadap dirinya atau kalau terjadi kecurangan, maka keluarga itulah yang harus menanggung. “Itu salah satu contohnya, orang Jerman akan mengapresiasi kejujuran kita, selama kita juga respek sama mereka, gitu.”

Maston bercerita pula, pengalaman berharga lain, adalah di bidang akademis. Dia bercerita, menurut pengalamannya dulu di Indonesia, jika orang menulis tesis atau melakukan magang, “Datanya ga transparan gitu.” Jadi data tidak akurat. Sedangkan di Jerman, seperti apapun datanya, itulah yang harus dituliskan. Dan yang dibahas selanjutnya adalah, mengapa data yang dihasilkan seperti itu. Maston menjelaskan lagi, “Kita mungkin menginginkan hasil A, atau A plus B. Kalau misalnya dapatnya C, ya tulis C. Ga boleh diganggugugat. Dan yang nanti jadi pekerjaan kita, menjelaskan kenapa C, begitu.” Ia menambahkan, “Bahkan catatan pribadi (Notizen) sewaktu memulai tesis itu adalah milik projek, tidak boleh dibawa pulang.“

Ketika mencapai puncak gunung tertinggi di Austria, Großglockner, bersama teman-teman pendaki gunung.Foto: Privat

Dalam hal pekerjaan, integritas juga penting. Dia menjelaskan, tugasnya di perusahaan adalah menganalisis DNA atau gen yang dipesan klien. “Kalau misalnya ada satu saja mutasi di dalam sekuensnya, yang kemungkinan tidak diketahui juga oleh klien itu, kami tetap harus bertanya, ‘Kami mendapat untaian seperti ini, dan terjadi mutasi di sini. Apakah Anda menginginkan ini? Atau tidak.’” Itu harus dikomunikasikan, begitu ditambahkan Maston. Walaupun itu bisa saja dikirimkan, dan kemungkinan klien tidak tahu-menahu akan hal itu, mereka harus jujur. “Kalau terjadi kesalahan, kami harus mengambil tindakan untuk mengulanginya.”

Mendaki gunung, mencapai impian ketika kecil

Selain memang ingin menikmati empat musim, dan  terutama yang ada saljunya, Maston senang melihat orang-orang yang bermain ski. Ketika pindah ke kota München di Jerman selatan, awalnya dia senang olahraga lari. “Cuma kalau lari kan ga ada Herausforderung-nya [tantangannya],” kata Maston, “karena itu kan datar, gitu.” Karena merasa sudah biasa, akhirnya dia memanjat gunung, karena itu berupa tantangan. Jika sudah sampai di puncaknya, dari atas tampak pemandangan yang sungguh menakjubkan, begitu dijelaskan Maston.

Waktu baru mulai melakukan hiking, tingkat kesulitannya belum tinggi. Tapi dari bulan ke bulan, keinginannya bertambah, dan yang didaki semakin lama semakin tinggi, atau juga melakukan hiking di musim dingin yang bersalju.

Hobinya ini baru ia temukan di Jerman. Dia bercerita, ketika kecil dia tidak punya waktu untuk hobi. “Harus berantem dulu dengan orang tua,” kata Maston sambil tertawa. Berhubung orangtuanya bertani, setelah bersekolah, ia dan saudara-saudaranya harus membantu orang tua bekerja di ladang. 

Romaston Silalahi ketika mendaki puncak Wilderkaiser.Foto: Privat

Dia dan teman-temannya sekarang selalu mendaki gunung dalam sehari, artinya mendaki sampai ke puncak, kemudian turun gunung di hari yang sama. Biasanya, orang mendaki, dan setelah tiba di puncak, bermalam sehari di kabin. Sekarang, Maston dan teman-temannya para pendaki gunung, sudah mendaki gunung tertinggi di Austria, Großglockner.

Juli hingga September adalah musim tur di kawasan pegunungan tinggi, yang dalam bahasa Jerman disebut Hochtour. Di musim ini, ia dan teman-temannya melakukan pendakian. Ketika kecil dia merasa enak sekali melihat hamparan salju yang menutupi segalanya di gunung-gunung yang tinggi, tumbuhan maupun batu tidak tampak. “Impian waktu kecil sekarang tercapai!” kata Maston dengan bangga.

Pesan singkat Maston untuk orang yang ingin bekerja di Jerman, lakukan yang terbaik di tempat kita mencari sesuap nasi atau di manapun kita berada, jangan setengah-setengah, jangan suam-suam kuku. Bekerjalah semaksimal mungkin, walaupun tidak ada yang melihat, lakukan seperti kita melakukannya untuk Sang Pencipta. Hanya dengan itu kita mempunyai kepuasan tesendiri yang orang lain tidak mengerti. Walau banyak masalah dan banyak perkerjaan, kita akan tetap memiliki peaceful mind, pikiran yang tenang. (ml/hp)