1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
ReligiIndonesia

Merancang Anggaran yang Berkeadilan bagi Semua Golongan

13 Januari 2023

Tidak ada aturan tetap yang membatasi penggunaan APBN/APBD untuk tempat ibadah karena tiap provinsi punya kewenangan sendiri. Ini yang memicu kepala daerah menggunakannya sesuai kepentingan politiknya.

Ilustrasi masjid di Bandung, Jawa Barat
Ilustrasi masjid di Bandung, Jawa BaratFoto: N. Indradona/DW

Lini masa sosial media Twitter di awal Januari 2023 sempat diriuhkan dengan perdebatan seputar penggunaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membangun Masjid Al Jabbar di Kota Bandung, Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengucurkan anggaran hingga Rp1,2 triliun untuk membangun masjid yang diresmikan pada 30 Desember 2022 itu.

Diskursus di dunia maya pun semakin dinamis, ketika Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membela diri dalam cuitannya di Twitter, terkait alokasi anggaran belanja daerah tersebut.

Sontak akun Ridwan Kamil banjir kritikan dan para pengguna internet dan media sosial yang mengatakan, anggaran belanja daerah yang jumlahnya sangat fantastis tersebut, akan lebih bermanfaat apabila dialokasikan untuk pembenahan transportasi publik baik di Bandung atau di provinsi Jawa Barat secara keseluruhan.

Lebih banyak anggaran untuk mayoritas?

Kasus Jawa Barat terkait pengunaan APBN/APBD untuk pembangunan atau renovasi rumah ibadah bagi pemeluk agama mayoritas di wilayah tersebut, bukan yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. Ada sederet contoh kasus kecenderungan sejumlah pemerintah daerah atau provinsi di Indonesia yang mengalokasikan anggaran dengan prioritas semacam itu.

Sebagai contoh, renovasi kawasan seputar Pura Besakih di Bali, yang berstatus masuk daftar tentatif warisan budaya UNESCO, menggunakan biaya sebesar Rp900 miliar di tahun 2021 baik dari APBD dan APBN. Tahun 2022 Gereja Katedral Kristus Raja di Kupang, Nusa Tenggara Timur, juga direnovasi dengan biaya sebesar Rp28 miliar dari APBN.

Rosniaty Azis, aktivis dari gerakan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) yang secara khusus melakukan advokasi terkait APBD dan APBN, membenarkan kecenderungan ini. Ia memberi contoh serupa di Provinsi Sulawesi Selatan. Ia menuturkan penggunaan anggaran untuk layanan pembangunan tempat ibadah lebih banyak digunakan untuk bantuan ke masjid-masjid di provinsi tersebut.

Rosniaty kepada DW Indonesia menjelaskan, di tahun 2021, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang mengalokasikan anggaran sebesar Rp24,5 miliar untuk pembangunan Masjid 99 Kubah di Makassar. Di tahun yang sama, Pemprov Sulawesi Selatan melalui Biro Kesejahteraan juga menyiapkan anggaran untuk pengelolaan sarana dan prasarana spiritual sebesar Rp19,6 miliar yang ditujukan untuk masjid dan gereja.

"Kemudian, instansi yang sama pada tahun 2022, merencanakan penggunaan APBD senilai Rp45 miliar untuk lanjutan pembangunan Masjid 99 Kubah," tambahnya. Selain itu ada pula kucuran APBD untuk tempat ibadah bertambah menjadi Rp25,8 miliar yang diperuntukkan bagi masjid, gereja, klenteng, dan wihara di propinsi itu.

"Berdasarkan data APBD 2021 dan 2022 Provinsi Sulawesi Selatan, agama minoritas seperti Kristen dan Buddha mendapatkan bantuan dari APBD melalui Biro Kesejahteraan Provinsi Sulawesi Selatan, kata Rosniaty kepada DW Indonesia. 

Prinsip nondiskriminatif

Mujtaba Hamdi, Direktur Eksekutif Wahid Foundation mengatakan, "tidak ada aturan tetap yang membatasi penggunaan APBD untuk tempat ibadah, karena masing-masing provinsi punya kewenangan sendiri.”

"Penyusunan APBD membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)," ujarnya. Penyusunannya pun dilakukan oleh otoritas daerah sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) masing-masing provinsi.

Masyarakat sipil kemudian bisa mengusulkan pembangunan atau renovasi rumah ibadah melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Forum ini adalah wadah masyarakat dalam menyampaikan pendapat, kritik, dan saran terhadap program pemerintah.

"Yang kemudian menjadi persoalan adalah saat hasil rapat Musrenbang dan DPRD ini dituangkan dalam panduan teknis penggunaan APBD. Karena sering timbul pemahaman berbeda, masalahnya setiap pemerintah provinsi akan menafsirkan berbeda-beda sesuai dengan konteks kehidupan keagamaan masyarakat setempat," tambah Direktur Eksekutif Wahid Foundation itu.

Mujtaba mengingatkan bahwa prinsip utama penggunaan APBD harus demi kepentingan publik, tidak mendiskriminasi, serta melibatkan banyak pihak.

Lebih lanjut, Mujtaba menegaskan bahwa semua pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan keagamaan dari pemerintah, utamanya Kementerian Agama. "Bahkan pemeluk agama selain Islam juga bisa menerima hibah dari negara," ujarnya.

"Pemerintah bisa menggunakan aset yang dimiliki untuk memberikan layanan pada semua pemeluk agama untuk menjalankan ibadahnya,” papar Mujtaba.

Pengawasan pengelolaan APBD lemah

Rosniaty mengakui bahwa peran aktif masyarakat dalam pengawasan pengelolaan keuangan daerah saat ini masih lemah. "Banyak kasus penyelewengan anggaran disebabkan oleh kurangnya kontrol masyarakat terhadap keuangan daerah," ujarnya. Penyebabnya, biasanya karena tidak adanya ruang komunikasi publik, sehingga masyarakat tidak mengetahui cara melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah.

Menurutnya, masyarakat dapat mengawasi proses penyusunan hingga realisasi APBD. "Misalnya, pengawasan penyusunan APBD dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan ikut terlibat dalam perencanaan keuangan daerah. Kemudian, masyarakat bisa memantau pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan daerah," ujar Rosniaty. 

"Pengawasan setelah kegiatan (pembangunan) dapat dilakukan dengan memantau hasil pembangunan di daerah,” kata Rosniaty kepada DW Indonesia.

Bahkan, menurut Mujtaba, pemerintah perlu mempublikasikan persentase penggunaan anggaran kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Perlunya prinsip melayani semua golongan

Mujtaba berharap penyelenggara negara ataupun daerah bisa lebih adil dalam mengatur anggaran agar semua pemeluk agama dapat terlayani dengan setara.

Direktur Eksekutif Wahid Foundation itu mengatakan lebih lanjut, alokasi anggaran baik daerah maupun pusat rawan disalahgunakan, baik yang sifatnya maladministrasi atau politis. "Seorang kepala daerah bisa saja menggunakan APBD untuk kepentingan politik demi membangun citra diri yang dia inginkan, misalnya supaya terlihat relijius," jelas Mujtaba.

"Kepala daerah karena memahami pendukungnya di wilayah tertentu, maka mengalokasikan di sana supaya bisa terpilih kembali,” kata Mujtaba kepada DW Indonesia.

Ia mengatakan, perlu ada sanksi politik yang bisa diterapkan apabila masyarakat menilai seorang kepala daerah menggunakan APBD untuk mendongkrak elektabilitasnya.

"Ga usah dipilih lagi karena dia ga melayani semua golongan,” kata Mujtaba kepada DW Indonesia.

Mengomentari keriuhan di lini masa beberapa waktu lalu, Mujtaba menilai: "Justru momentum tersebut perlu dipikirkan untuk membuat kebijakan anggaran yang mengandung kesetaraan bagi semua agama.” (ae/as)

Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait