Meninggalkan negara asal untuk tinggal di luar negeri dapat menjadi pengalaman yang mengubah hidup. Keputusan untuk memulai petualangan baru di negeri orang bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Opini Gita Savitri.
Iklan
Saya masih ingat waktu saya kelas 5 SD dulu. Seringkali saya mendengar percakapan ibu dan ayah saya di rumah soal keribetan mengumpulkan dokumen-dokumen resi, membuat paspor, dan mengajukan permohonan visa. Sebagai anak bocah umur 9 tahun, saya tidak benar-benar memahami apa yang sedang mereka lakukan sampai saya bertanya kepada ibu saya, "Ma, ngurus-ngurus beginian buat apaan sih?”. Ternyata setelah krisis moneter tahun 1998, sulit sekali mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak di Indonesia. Hal ini kemudian menginspirasi orang tua saya untuk mengadu nasib ke negara lain. Mereka pun harus membuat keputusan sulit siapa yang tetap tinggal bersama anak-anak dan siapa yang harus melancong ke Amerika Serikat.
Tidak lama setelah ayah saya tiba di Amerika, saya dihujani pertanyaan dari teman-teman dan keluarga jauh. Ternyata pada zaman itu, konsep merantau dan berpisah dari keluarga masih cukup asing di kalangan masyarakat umum. Wajar saja jika pertanyaan-pertanyaan mereka bernada intrusif seperti, "Bapaknya mana?”, "Kenapa dia tinggal di sana?”, "Kapan dia pulangnya?”, dan "Bapak dan ibu kamu tapi nggak cerai, kan?”. Fast forward ke tahun 2010, rupanya saya berkesempatan mengikuti jejak ayah saya untuk tinggal di luar negeri. Bukan untuk mengadu nasib, tapi untuk mendapat pendidikan yang lebih baik. Dan di sinilah saya, hampir 13 tahun menjadi diaspora Indonesia di Jerman.
Berbeda dengan pengalaman ayah saya, pada saat saya mempersiapkan kepergian ke Jerman, jelas ada penekanan yang kuat pada sisi akademisnya. Katanya kuliah di Jerman itu susah karena masyarakatnya dikenal sangat memprioritaskan pendidikan dan kegiatan intelektual. Bahasa pengantar studinya pun bukan bahasa yang sudah saya kuasai. Jadi, fokus saya pada saat itu adalah saya harus mulai mengubah mindset soal belajar. Maklum saja, waktu saya sekolah di Indonesia dulu, saya adalah murid yang sangat malas dan kurang bertanggung jawab. Saya tidak pernah mengerjakan tugas dan jarang memperhatikan guru di kelas. Saya juga dituntut untuk fokus menguasai bahasa Jerman supaya nanti saya tidak menghadapi kesulitan di kampus. Spoiler alert. Ternyata persoalan akademik itu cuma seujung kuku dari segambreng lika-liku yang saya hadapi sebagai perantau di sini.
Yang Harus Diketahui Sebelum Studi di Jerman
Jerman menarik minat mahasiswa asing karena kualitas universitasnya dan biaya yang murah. Tapi sebelum memutuskan berkuliah di Jerman, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Foto: picture alliance / dpa
"Bebas Bayaran" Sifatnya Relatif
Universitas Jerman hanya bebas bayaran jika calon mahasiswa yang mendaftar ke universitas negeri juga diterima oleh universitas itu. Selain itu, calon mahasiswa juga bermaksud untuk berkuliah dalam kondisi seperti warga Jerman biasa. Itu berarti: menghadapi tantangan yang sama. Program studi yang lain dari itu, atau di universitas swasta, kualitasnya juga bagus, tetapi tidak bebas biaya dan mahal.
Foto: dapd
Mahasiswa dan Kerja Sampingan
Visa mahasiswa membatasi jumlah waktu yang boleh digunakan untuk bekerja. Bagi mahasiswa tanpa paspor Uni Eropa, batasnya 120 hari per tahun. Dalam semester kuliah hanya boleh bekerja 20 jam per minggu. Tetapi biaya hidup di Jerman lebih murah daripada di banyak kota AS dan Inggris. Sebaiknya tidak mencoba kerja gelap. Ada risiko eksploitasi, dan jika tertangkap bisa dideportasi.
Foto: Fotolia/MNStudio
Melamar Beasiswa
Di Jerman banyak ditawarkan beasiswa bagi mahasiswa asing di berbagai bidang. Jika berprestasi baik dan ulet mencari beasiswa, kesempatan bisa diperoleh. DAAD adalah lembaga negara Jerman yang memberikan beasiswa paling banyak bagi mahasiswa asing. Yayasan yang memberi beasiswa dengan spesifikasi tertentu juga banyak.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Visa
Mahasiswa dari negara bukan anggota Uni Eropa kerap hadapi masalah visa. Tiap orang bertanggungjawab sendiri untuk mengurus asuransi kesehatan, buktik emampuan menunjang hidup secara finansial, temukan tempat tinggal, daftarkan diri pada kantor wilayah, buat janji soal perpanjangan visa, dan dokumen lainnya. Bagi banyak negara, masalah ini sudah dimulai saat meminta visa di kedutaan besar Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Menanggulangi Banyak Formulir
Orang harus bersedia mengisi formulir. Sebaiknya biasakan diri dengan kata-kata birokratis Jerman. Juga organisir semua surat, lengkap dengan fotokopinya, mulai dari urusan visa sampai bayar sewa kamar. Triknya: jika dapat surat resmi, kirim kembali surat resmi yang lebih banyak lagi. Begitu saran Leah Scott-Zechlin, yang pernah kuliah di Berlin, dan veteran "Papierkrieg" (perang kertas).
Foto: picture alliance/dpa/Patrick Pleul
Bisa Bahasa Jerman Sangat Membantu
Tentu di kota besar orang asing bisa tinggal tanpa bisa bahasa Jerman. Sebagian program studi juga ditawarkan dalam bahasa Inggris. Tetapi setiap aspek hidup lebih mudah jika bisa bahasa Jerman, baik untuk bicara dengan petugas negara, maupun untuk bersosialisasi dengan orang Jerman. Kalau ingin bekerja, kemampuan berbahasa Jerman jadi aset sangat besar di pasaran tenaga kerja.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Kalaene
Universitas Tidak Menuntun Mahasiswa
Di Jerman mahasiswa tidak dibimbing seperti di sekolah. Sepenuhnya tergantung tiap mahasiswa asing untuk bisa jalani hidup di negara asing, datang ke kuliah dan belajar. Mata kuliah ada yang berkesan sangat bebas. Terserah mahasiswa, apakah serahkan pekerjaan rumah, berpartisipasi dalam kuliah atau tidak. Sebagian mata kuliah tergantung sepenuhnya pada ujian akhir atau makalah di akhir semester.
Foto: imago/Westend61
Masalah Tempat Tinggal
Asrama mahasiswa ada di banyak kota. Tetapi untuk dapat tempat kadang sulit. Di samping asrama, mahasiswa Jerman juga sering tinggal di Wohngemeinschaft (WG). Dalam sistem ini, beberapa mahasiswa bersama-sama menyewa sebuah apartemen. Tiap orang dapat satu kamar. Dapur dan kamar mandi biasanya digunakan bersama. Ini cara baik untuk bersosialisasi dengan orang Jerman dan memperbaiki bahasa Jerman.
Foto: Fotolia
Mencari Saran
Tinggal dan belajar di luar negeri kerap butuh tanggung jawab tinggi. Dan kadang orang merasa harus berjuang sendirian menghadapi banyak tantangan. Tapi tidak usah khawatir. Anda bukan mahasiswa asing pertama di Jerman. Sumber informasi dan saran kerap bisa ditemukan di internet. Untuk yang berbahasa Inggris ada forum "Toytown Germany".
Foto: Fotolia/Creativa
Mungkin Ingin Tinggal Selamanya
Mungkin Anda individu yang tahu cara peroleh kesempatan terbaik dalam hidup: kuliah beberapa tahun di Jerman, raih gelar, mungkin kerja sedikit, lalu kembali ke tanah air dan dapat penghasilan tinggi. Bisa jadi juga, Anda jatuh cinta dengan Jerman, sehingga hadapi dilema ucapkan "Tschüß" (selamat tinggal) selamanya kepada tanah air, atau rindu Jerman seumur hidup. Penulis: Caitlin Hardee (ml/vlz)
Foto: DW
10 foto1 | 10
Culture shock adalah suatu keniscayaan
Salah satu tantangan merantau yang paling signifikan adalah menavigasi perbedaan budaya dan norma yang mungkin tidak kita kenal atau bahkan bertentangan dengan pendidikan budaya kita sendiri. Sebagai contoh, di banyak negara barat termasuk Jerman, individualisme sangat dihargai. Berbeda sekali dengan kultur di Indonesia, di mana kita diajarkan untuk menghargai indentitas kolektif di atas identitas individu. Orang Indonesia cenderung diajarkan untuk memprioritaskan keluarga, komunitas, kelompok etnis atau agama. Sementara itu di Jerman saya menyaksikan bagaimana orang-orang seperti punya dinding yang mengelilingi dirinya karena mereka mementingkan privasi pribadi. Orang-orang di sini umumnya sangat menghormati keputusan individu. Karena prinsip hidupnya adalah "live and let live”, tidak banyak yang "kepo” soal kehidupan pribadi orang lain.
Saya ingat ketika saya pertama kali mengenakan hijab pada tahun 2015. Tidak ada satu orang pun di kampus saya yang bertanya. Jujur saya sendiri pun kaget. Saya berharap akan dapat pertanyaan seperti "Itu apa yang ada di kepalamu?” atau "Kenapa kamu pakai hijab?” karena Islam masih termasuk ideologi asing di Jerman. Tapi teman-teman saya sangat menghargai keputusan saya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Satu hal lain yang dulu memberi saya culture shock adalah tidak adanya konsep hierarki. Di Indonesia, orang yang berada di posisi otoritas diharapkan untuk menunjukkan sikap kepemimpinannya, sementara mereka yang lebih rendah diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat dan ketaatan. Hal in tidak melulu terjadi di Jerman. Begitu pula ketika ingin menyapa seseorang. Sebagai orang Indonesia kita pasti pakai berbagai imbuhan seperti Mbak, Mas, Kak, Bu, Pak untuk menunjukkan rasa hormat terutama kepada orang yang lebih tua. Sementara di sini, pada dasarnya kita menyapa semua orang dengan nama mereka saja. Sebagai seseorang yang menghargai kesetaraan, saya merasa perilaku ini cukup keren. Meskipun memang bertanya soal umur di Jerman agak kurang digemari, sih.
Iklan
Homesickness akan menjadi temanmu (semoga untuk sementara)
Yang tidak enak dari tinggal di luar negeri adalah perasaan terisolasi dan homesick yang bisa muncul karena jauh dari keluarga dan teman. Kesulitan untuk menyesuaikan diri adalah hal yang wajar karena seseorang pasti perlu waktu untuk membangun jaringan sosial dan rasa kebersamaan di tempat barunya.
Tinggal di luar negeri juga mengharuskan Anda untuk melepaskan kenyamanan dan fasilitas tertentu yang biasa Anda nikmati di negeri asal. Jika di Indonesia dulu kita biasa pesan GoFood kalau lapar, di Jerman kita harus pikir dua kali karena harganya jauh lebih mahal. Begitu pula dengan saya yang harus rela melepaskan kecintaan saya main drum karena di sini saya harus menyewa Proberaum hanya untuk gebuk-gebuk drum satu jam. Kalau sembarangan berisik main musik di dalam apartemen, tetangga satu gedung bisa pada mengamuk.
Semua hal ini memang terdengar sepele, tapi juga bisa membuat frustrasi dan kewalahan terutama untuk anak-anak muda yang belum pernah tinggal jauh sebelumnya. Namun sebagai imbalannya merantau bisa membantu Anda mengembangkan keterampilan yang berharga seperti kemampuan beradaptasi, ketahanan, dan kemandirian. Anda akan dipaksa untuk keluar dari zona nyaman, belajar menavigasi situasi yang tidak biasa, dan berkomunikasi dengan orang-orang yang mungkin tidak berbicara dalam bahasa Anda sendiri. Pengalaman-pengalaman ini dapat meningkatkan kemampuan Anda dalam memecahkan masalah dan tentunya meningkatkan kepercayaan diri.
Petik Manfaat dari Pedihnya Merantau
Jauh dari keluarga karena merantau? Mulai dari nol dan dirundung kangen? Kesulitan hadapi tantangan di tempat baru, bisa berbuah segudang manfaat luar biasa bagi pengembangan dirimu.
Foto: lassedesignen/Fotolia
Mandiri
Tinggal jauh dari orang terkasih atau kampung halaman memang berat. Mau tak mau, tinggal di lingkungan baru membuatmu terpaksa melakukan banyak hal tanpa banyak bantuan orang lain. Tapi kamu akan jadi lebih tanggung jawab terhadap diri sendiri, yang menuntunmu lebih bertanggung jawab bagi banyak hal atau orang lain. Kamu belajar mengatur diri sendiri dengan lebih baik. Juga belajar mengatur uang.
Foto: picture-alliance/dpa
Hidup lebih menantang
Hidup ‘begitu-begitu‘ saja? Banyak orang menjadi depresi karena rutinitas. Nah dengan merantau, kamu akan mendapat banyak tantangan baru. Mungkin tantangan menghadapi orang yang baru dikenal, mengeksplorasi lingkungan baru, mengurus dokumen, memasak makanan sendiri, dll. Tantangan membuatmu lebih hidup dan menjauhkanmu dari kebosanan.
Foto: Colourbox/Andrey Armyagov
Lebih tegar
Hidup di lokasi baru bukan perkara mudah. Tiap tantangan dan kesulitan harus dicari solusinya. Kadang kita menghadapi kebuntuan, entah karena faktor bahasa baru, susah adaptasi dan lain sebagainya. Di balik itu semua, kesulitan-kesulitan itu akan membuatmu menjadi sosok yang lebih tegar.
Foto: Fotolia/Masson
Belajar lebih rendah hati & empati
Jika di tempat asal, banyak orang telah mengenalmu atau kamu/keluargamu terpandang, di tempat baru, kamu mulai segala sesuatunya dari awal. Di sinilah kamu akan menjadi dirimu sendiri dalam membangun bagaimana penilaian orang terhadap diri kita sebagai individu baru. Kesulitan yang dialami di tempat baru menuntunmu lebih memperhatikan orang lain yang juga mengalami kesulitan.
Foto: Fotolia
Makin mudah beradaptasi
Pindah ke lingkungan baru memang kadang dihantui perasaan rindu kampung halaman & orang-orang tercinta yang ditinggalkan. Kamu bisa tetap mengontak mereka atau pulang kampung jika ada rezeki lebih. Yang jelas, orang yang merantau akan belajar pula cara beradaptasi pada lingkungan baru. Asyik juga punya teman-teman baru, yang mungkin bisa lebih dekat seperti saudara.
Foto: Fotolia/clabert
Jaringan lebih luas
Kenalan baru atau kawan baru di tempat merantau juga menjadi gerbang melebarkan koneksi. Siapa tahu bisa membuka celah untuk mendapat karier yang lebih baik lewat mereka. Dalam urusan percintaan, siapa tahu ada di antara mereka merupakan ‘comblang‘ kamu dalam mendapatkan belahan jiwa. Atau, bisa jadi pula ada salah satu dari mereka yang bakal jadi calon jodohmu.
Foto: Fotolia/Robert Kneschke
Mengenal budaya lain
Hidup di kultur yang berbeda memperluas wawasan kita. Kita akan belajar hal-hal baru dan orang-orang di tempat baru juga bisa mempelajari budayamu. Saling mengenalkan budaya membuka peluang dalam saling memahami orang lain. Kamu akan mengenal lebih banyak karakter orang lain.
Foto: dapd
Tambah trampil berbahasa lain
Bepergian ke wilayah lain yang bahasanya berbeda dengan bahasamu, akan menambah ketrampilan baru dalam berbahasa. Kadang memang sulit belajar bahasa baru. Namun jika sering dikelilingi orang-orang berbahasa berbeda, mungkin bisa memicu semangat dalam mempelajari bahasa baru. Semangat!
Foto: picture-alliance/blickwinkel
Melihat pemandangan baru
Pergi ke tempat baru membuka mata kita terhadap dunia luar. Kamu punya kesempatan lebih baik melihat pemandangan baru. Apalagi jika kamu berjiwa petualang dan suka melihat hal-hal baru. Begitu banyak tempat-tempat menarik di belahan bumi ini, bahkan di penjuru-penjuru pelosok.
Foto: Kenike Mana'o - Fotolia
Meninggalkan kesedihan
Setiap orang punya masa lalu. Lokasi baru menyibukkanmu dengan hal-hal baru, yang bisa jadi kesempatan untuk meninggalkan hal-hal menyedihkan yang kamu lalui di tempat asal. Putus pacar misalnya, atau kegagalan hidup sebelumnya. Tempat baru, bisa membantu kita belajar lebih iklhas. Kesedihan hanyalah penggalan kehidupan.
Foto: Fotolia/lassedesignen
10 foto1 | 10
Merantau akan mengubah cara berpikir dan perilaku
Merantau memberikan Anda kesempatan untuk dikelilingi keberagaman. Anda diberi kesempatan untuk membenamkan diri dalam budaya baru dan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang cara hidup yang berbeda. Hal ini dapat memperluas perspektif Anda dan meningkatkan toleransi serta apresiasi Anda terhadap keragaman itu sendiri. Paparan terhadap beragam bahasa,adat istiadat,dan tradisi dapat memperluas wawasan Anda dan membantu Anda mengembangkan pemahaman yang lebih bernuansa dan berempati terhadap dunia.
Hidup menjadi minoritas berarti Anda mungkin dipaksa untuk menghadapi bias dan asumsi Anda sendiri, dan berpikir kritis tentang pengalaman dan keyakinan Anda sendiri. Hal ini terkadang tidak nyaman, tetapi juga bisa sangat bermanfaat dan dapat membantu Anda mengembangkan rasa kesadaran diri dan kerendahan hati yang lebih besar.
Satu perubahan yang saya sadari dalam diri saya adalah cara saya berkomunikasi. Sebagai orang dari Asia, secara stereotip kita cenderung sungkan untuk bilang tidak. Kita biasanya juga sangat hati-hati dalam berbicara karena tidak mau menyakiti hati lawan bicara kita. Kita juga seringkali "enggak enakan” dengan orang lain. Semenjak tinggal di sini, perlahan-lahan gaya berkomunikasi saya pun jadi seperti orang Jerman. Mereka dikenal sangat jujur dan terus terang ketika berbicara. Orang Jerman cenderung memakai bahasa yang lebih jelas dan ringkas ketika ingin menyampaikan sesuatu. Meskipun hal ini terkadang dianggap terlalu blak-blakan dan tidak sensitif oleh orang luar (termasuk saya dulu), cara bicara seperti ini lebih disukai orang Jerman untuk menghindari ambiguitas dan kebingungan.
Hidup jauh dari kenyamanan dan kefamiliaran bukanlah hal yang mudah. Namun begitu, merantau adalah keputusan terbaik yang saya buat dalam hidup saya. Dengan merangkul warisan budaya Indonesia sekaligus merangkul pengalaman dan perspektif baru yang kita peroleh di tempat baru ini, kita dapat menciptakan identitas unik yang mencerminkan latar belakang yang beragam. Pada akhirnya, menjadi diaspora adalah sebuah perjalanan yang berkelanjutan, yang membutuhkan keterbukaan terhadap perubahan.
Gita Savitri adalah seorang content creator yang tinggal di Jerman
*Tulisan kolom ini menjadi tanggung jawab penulis.