1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Merawat Tradisi dan Kebudayaan Indonesia

4 Desember 2017

Tradisi dan kebudayaan lokal itu bisa menodai kemurnian akidah dan doktrin keislaman. Benarkah demikian? Simak ulasan Sumanto Al Qurtuby.

Tarian Saman, Indonesia
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS/A. H. Firsawan

Belakangan mulai gencar terdengar kembali sejumlah kelompok keislaman puritan di Indonesia yang begitu gigih mendakwahkan tentang pentingnya atau wajibnya bagi seorang Muslim/Muslimah untuk menjaga kemurnian akidah (teologi) dan ajaran Islam dari aneka tradisi dan kebudayaan lokal. Hal itu disebabkan karena, menurut mereka, tradisi dan kebudayaan lokal itu bisa menodai kemurnian akidah dan doktrin keislaman.

Sayangnya, sejumlah kelompok Islam puritan ini bukan hanya berwacana tetapi juga menyerukan dan bahkan melakukan penghancuran terhadap sejumlah ikon, simbol dan khazanah tradisi dan kebudayaan Nusantara demi memuluskan jalan purifikasi atas doktrin, ajaran, dan akidah keislaman itu.

Sayangnya lagi, kelompok Islam puritan ini, karena keterbatasan wawasan sejarah, sosiologi dan antropologi Islam, sering kali tidak bisa membedakan mana "ajaran Islam” dan mana "kebudayaan Arab” sehingga dalam implementasinya apa yang mereka klaim sebagai upaya penegakan "ajaran agama” Islam itu sejatinya adalah"ajaran budaya” Arab atau Timur Tengah secara umum.

Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Misalnya saja tentang "niqab” dan sejenisnya seperti burqa dan khimar atau kain penutup muka (cadar) yang dikenakan bagi kaum perempuan. Cadar, baik yang dikenakan bagi kaum perempuan maupun lelaki (seperti yang dikenakan oleh suku bangsa Tuareg yang mendiami gurun sahara di Afrika seperti Libia, Aljazair, Mali, Niger, dan Burkina Paso) jelas merupakan produk kebudayaan Timur Tengah (dan Afrika Utara) secara umum, bukan hanyaBangsa Arabsaja. Tradisi bercadar ini, khususnya bagi kaum perempuan, sudah ada dan dipraktikkan oleh masyarakat di Timur Tengah jauh sebelum Islam hadir di abad ketujuh Masehi di Jazirah Arabia.

Baca:

Kaum Islamis Datang, Budaya Toleransi Hilang

Pancasila Yes, Islamisme No

Para sarjana dan sejarawan seperti Fadwa El Guindi, Fatima Mernissi, Abd El Schafi dan sebagainya telah mengungkap berbagai alasan pemakaian cadar ini: dari alasan lingkungan (seperti respon atas cuaca dan kondisi gurun pasir yang ekstrim) dan keamanan individual (dari gangguan lelaki hidung belang) sampai alasan penjagaan status sosial, kehormatan, dan bahkan sebagai produk atas pemaksaan kebijakan politik yang dilakukan sejumlah rezim Muslim.

Tetapi oleh sejumlah kelompok Islam puritan, niqab dianggap sebagai "ajaran Islam” yang wajib dikenakan bagi Muslimah, kapan saja dan dimana saja. Tidak memandang ruang dan waktu. 

Itulah sebabnya, di Indonesia, ada sekelompok perempuan Muslimah, tua-muda, bercadar ria. Lucunya, karena dianggap sebagai "ajaran agama” tadi dan lantaran ketidaktahuannya, sejumlah orang tua juga memaksakan anak-anak perempuan balita mereka untuk mengenakan cadar. Sejumlah sekolah juga ada yang memberi aturan wajib bercadar untuk para siswi.

Padahal, dewasa ini, para Muslimah Arab sendiri sudah jarang sekali yang memakai cadar kecuali di Arab Saudi. Itupun hanya tampak kental di beberapa wilayah saja (seperti Najd) yang masih dominan tradisi bercadar ini. Selebihnya sangat fleksibel. Selain itu, di Arab, cadar juga hanya dikenakan untuk perempuan dewasa saat berada di ruang publik, bukan untuk anak-anak balita serta bukan ketika berada di ruang privat.

Lebih ‘islami'?

Bukan hanya mendakwahkan budaya berbusana ala Arab yang menurut mereka lebih "Islami”, kelompok Islam puritan juga mendakwahkan pentingnya atau wajibnya meninggalkan gaya berbusana ala Indonesia yang menurut mereka dipandang "tidak Islami” atau "tidak relijius”. Oleh karena itu, di sejumlah kawasan kelompok Islam puritan ini semangat berdakwah tentang wajibnya mengenakan pakaian model abaya Arab atau "jilbab gelombor” bagi perempuan dan jubah bagi lelaki seraya "mengharamkan” pemakaian jenis-jenis pakaian adat lokal Nusantara, meskipun sebetulnya sudah "sangat Islami”.

Di sini saya perhatikan mereka gagal menangkap "pesan moral” atau tujuan utama Syariat Islam (maqashid syari'ah) tentang hijab sebagai "penutup aurat”, bukan merujuk pada jenis dan desain busana tertentu.

Lagi, ekspresi berbusana dan persepsi tentang tata-busana kelompok Islam puritan di Indonesia ini berbeda dengan masyarakat Arab kontemporer di Timur Tengah yang memandang busana gamis dan abaya adalah "ajaran budaya” (bukan ajaran agama) mereka. Oleh karena itu, dalam berbusana mereka cenderung sangat fleksibel. Bahkan masyarakat Arab modern, khususnya generasi muda, sudah terbiasa dengan pemakaian jenis pakaian kasual ala Barat. Jubah hanya dikenakan oleh mereka pada saat salat Jumat atau acara-acara tertentu saja: saat berdinas, wisuda, pesta pernikahan, dan lainnya, bukan dalam kehidupan sehari-hari.    

Bukan hanya soal busana saja. Kelompok Islam puritan juga bersemangat mengeliminasi atau melenyapkan berbagai kebudayaan material dan imaterial seperti patung-patung hasil karya seni maupun berbagai adat-istiadat daerah yang sudah turun-temurun dipraktikkan dan menjadi institusi sosial di masyarakat. Alasannya tentu saja karena semua itu dianggap atau diyakini tidak relijius dan berpotensi merusak keimanan dan kemurnian Islam. Ada pula yang ingin "mengislamkan” berbagai peninggalan sejarah atau warisan berharga para leluhur non-Muslim.

Mereka berdalih meniru Nabi Muhammad yang dulu menghancurkan arca-arca di area Kabah pada saat peristiwa Fathu Makah yang menandai kemenangan Islam atas kelompok "kafir Quraisy”. Padahal, berbagai analisa kesejarahan menunjukkan bahwa penghancuran patung-patung itu merupakan simbol dari penghancuran dominasi dan arogansi berbagai kelompok suku dominan yang selama ini melakukan hegemoni politik dan ekonomi di kawasan Makah dan Jazirah Arab, bukan lambang anti-non-Islam. 

Lagi-lagi, di saat sejumlah kelompok Islam puritan di Indonesia bernafsu ingin memusnahkan artifak dan berbagai peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya, Arab Saudi, melalui Saudi Commission for Tourism and National Heritage yang diketuai oleh Pangeran Sultan bin Salman, justru sedang gencar-gencarnya mengumpulkan, mendokumentasikan, dan menyelamatkan berbagai peninggalan purbakala dan situs-situs sejarah. Sejak 2011, Saudi Commission for Tourism and National Heritage melaporkan telah mengumpulkan sekitar 52,000 artifak dan aneka ragam peninggalan purbakala sebagai bagian dari National Project for Digital Recording of Antiquities dengan mengikuti standar internasional pengarsipan dan pencatatan data-data arkeologis.  

Baca:

Ambil Ajarannya, Tinggalkan Budayanya

Saudi Menjadi Modern, Indonesia Menjadi “Primitif”?

Bagaimana menjaga kemurnian iman?

Menjaga kemurnian iman, akidah, dan ajaran Islam tentu saja penting bagi umat Islam. Tetapi menganggap produk-poduk tradisi dan kebudayaan manusia bisa menodai, mengganggu dan membahayakan keimanan dan keislaman seorang Muslim, saya rasa sangat berlebihan. Keyakinan keimanan dan ketauhidan tidak akan menyusut dan berkurang nilainya hanya karena masalah tradisi dan kebudayaan, Justru dengan aneka tradisi dan kebudayaan itulah, umat beragama menjadi semakin kaya dan bermakna. Tradisi dan budaya bukanlah penghalang bagi iman dan agama. Tetapi justru sebaliknya, bisa menjadi medium berharga untuk meningkatkan kualitas agama dan keimanan umat beragama.  

Oleh karena itu mari kita turut menjaga, merawat dan mempertahankan berbagai tradisi dan kebudayaan Nusantara, baik yang berbentuk "budaya material” (seperti aneka pakaian daerah, artifak dan situs-situs sejarah) maupun "budaya immaterial” (seperti adat-istiadat) warisan para luluhur bangsa sebelum kita semua menyesal di kemudian hari akibat ulah segelintir orang fanatik, sejumlah manusia bigot, kaum buta sejarah, dan kelompok pikun wawasan keagamaan dan kebudayaan. Semoga bermanfaat. 

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.