Tradisi dan kebudayaan lokal itu bisa menodai kemurnian akidah dan doktrin keislaman. Benarkah demikian? Simak ulasan Sumanto Al Qurtuby.
Iklan
Belakangan mulai gencar terdengar kembali sejumlah kelompok keislaman puritan di Indonesia yang begitu gigih mendakwahkan tentang pentingnya atau wajibnya bagi seorang Muslim/Muslimah untuk menjaga kemurnian akidah (teologi) dan ajaran Islam dari aneka tradisi dan kebudayaan lokal. Hal itu disebabkan karena, menurut mereka, tradisi dan kebudayaan lokal itu bisa menodai kemurnian akidah dan doktrin keislaman.
Sayangnya, sejumlah kelompok Islam puritan ini bukan hanya berwacana tetapi juga menyerukan dan bahkan melakukan penghancuran terhadap sejumlah ikon, simbol dan khazanah tradisi dan kebudayaan Nusantara demi memuluskan jalan purifikasi atas doktrin, ajaran, dan akidah keislaman itu.
Sayangnya lagi, kelompok Islam puritan ini, karena keterbatasan wawasan sejarah, sosiologi dan antropologi Islam, sering kali tidak bisa membedakan mana "ajaran Islam” dan mana "kebudayaan Arab” sehingga dalam implementasinya apa yang mereka klaim sebagai upaya penegakan "ajaran agama” Islam itu sejatinya adalah"ajaran budaya” Arab atau Timur Tengah secara umum.
Misalnya saja tentang "niqab” dan sejenisnya seperti burqa dan khimar atau kain penutup muka (cadar) yang dikenakan bagi kaum perempuan. Cadar, baik yang dikenakan bagi kaum perempuan maupun lelaki (seperti yang dikenakan oleh suku bangsa Tuareg yang mendiami gurun sahara di Afrika seperti Libia, Aljazair, Mali, Niger, dan Burkina Paso) jelas merupakan produk kebudayaan Timur Tengah (dan Afrika Utara) secara umum, bukan hanyaBangsa Arabsaja. Tradisi bercadar ini, khususnya bagi kaum perempuan, sudah ada dan dipraktikkan oleh masyarakat di Timur Tengah jauh sebelum Islam hadir di abad ketujuh Masehi di Jazirah Arabia.
Para sarjana dan sejarawan seperti Fadwa El Guindi, Fatima Mernissi, Abd El Schafi dan sebagainya telah mengungkap berbagai alasan pemakaian cadar ini: dari alasan lingkungan (seperti respon atas cuaca dan kondisi gurun pasir yang ekstrim) dan keamanan individual (dari gangguan lelaki hidung belang) sampai alasan penjagaan status sosial, kehormatan, dan bahkan sebagai produk atas pemaksaan kebijakan politik yang dilakukan sejumlah rezim Muslim.
Tetapi oleh sejumlah kelompok Islam puritan, niqab dianggap sebagai "ajaran Islam” yang wajib dikenakan bagi Muslimah, kapan saja dan dimana saja. Tidak memandang ruang dan waktu.
Itulah sebabnya, di Indonesia, ada sekelompok perempuan Muslimah, tua-muda, bercadar ria. Lucunya, karena dianggap sebagai "ajaran agama” tadi dan lantaran ketidaktahuannya, sejumlah orang tua juga memaksakan anak-anak perempuan balita mereka untuk mengenakan cadar. Sejumlah sekolah juga ada yang memberi aturan wajib bercadar untuk para siswi.
Indonesia Bakal Jadi Pusat Hijab Dunia?
Pemerintah mencanangkan Indonesia sebagai pusat mode Muslim di tingkat Asia pada 2018 dan tingkat dunia pada 2020. Sejauh ini ekspor busana Muslim Indonesia masih kalah jauh dibanding Cina dan India.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
US$ 230 milyar belanja busana Muslim dunia
Data Thomson Reuters dalam State of the Global Islamic Economy 2015 menunjukkan nilai belanja yang dikeluarkan masyarakat untuk belanja busana (termasuk sepatu) Muslim cukup fantastis: yakni sekitar 230 milyar dollar AS pada tahun 2014. Atau, sekitar 11 persen dari total belanja busana warga dunia, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3,8 persen per tahun.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Indonesia no-5
Berdasarkan data tahun 2014, negara dengan tingkat konsumsi pakaian Muslim tertinggi adalah: Turki (US$25 milyar), Uni Emirat Arab (US$ 18 milyar), Nigeria (US$15 milyar), Arab Saudi (US$14,7 milyar) dan Indonesia ($US 12,7 milyar).
Foto: picture-alliance/Pacific Press/Azwar
Cina eksportir terbesar
Cina menempati posisi utama sebagai negara pengekspor terbesar ke negara-negara anggota OKI(Organisasi Negara Islam) yakni sebesar US$ 28,7 juta. Disusul India (US$3,87 juta) dan Turki (US$2,3 juta).
Foto: picture alliance/CPA Media
Memanfaatkan momen Ramadhan
Jelang Ramadhan 2016, para desainer sudah berlomba menampilkan karya-karya busana Muslim terbarunya. Di antaranya lewat ajang Muslim Fashion Festival Indonesia (MUFFEST) yang berlangsung di Jakarta.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
#ScreenshotTheLooks
Sekitar 200 desainer, termasuk perancang dari 40 dari usaha kecil menengah ikut ambil bagian dari ajang Muslim Fashion Festival Indonesia (MUFFEST) ini. Tema MUFFEST 2016 adalah #ScreenshotTheLooks.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Partisipasi dari manca negara
Bukan hanya perancang busana Muslim dari tanah air yang tampil dalam MUFFEST 2016, melainkan juga para desainer dari negara-negara lain seperti Turki, Italia, Rusia, Malaysia dan Bangladesh.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Cintai produk lokal
Panita ajang fashion show busana Muslim mengatakan, MUFFEST 2016 menitikberatkan pada kecintaan akan produk lokal, kepedulian sosial dan lingkungan hidup. Para desainer Indonesia yang tampil di antaranya Norma Hauri, Monika Jufry, Najua Yanti dan Itang Yunasz.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Lirik pangsa pasar internasional
Pemerintah berharap, ajang MUFFEST 2016 diharapkan bisa menjadi batu loncatan bagi dunia fashion Indonesia untuk meluaskan pasar ke tatanan internasional dan dalam jangka panjang sebagai pusat mode busana Muslim dunia. Pemerintah mencanangkan Indonesia sebagai pusat mode Muslim di tingkat Asia pada 2018 dan tingkat dunia pada 2020.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Ekspor meningkat
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti menyatakan, kinerja ekspor busana Muslim pada 2014 nilainya mencapai US$ 4,63 miliar, naik 2,3 % dibandingkan tahun sebelumnya. Sempat turun tipis tahun lalu menjadi US$ 4,57 miliar. Namun pada Januari kemarin kembali naik 2,13% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Negara tujuan ekspor
Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor produk busana Muslim Indonesia adalah Amerika Serikat, Kanada,, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Inggris, Australia,Uni Emirat Arab, Belgia, dan Cina.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Hackenberg
10 foto1 | 10
Padahal, dewasa ini, para Muslimah Arab sendiri sudah jarang sekali yang memakai cadar kecuali di Arab Saudi. Itupun hanya tampak kental di beberapa wilayah saja (seperti Najd) yang masih dominan tradisi bercadar ini. Selebihnya sangat fleksibel. Selain itu, di Arab, cadar juga hanya dikenakan untuk perempuan dewasa saat berada di ruang publik, bukan untuk anak-anak balita serta bukan ketika berada di ruang privat.
Lebih ‘islami'?
Bukan hanya mendakwahkan budaya berbusana ala Arab yang menurut mereka lebih "Islami”, kelompok Islam puritan juga mendakwahkan pentingnya atau wajibnya meninggalkan gaya berbusana ala Indonesia yang menurut mereka dipandang "tidak Islami” atau "tidak relijius”. Oleh karena itu, di sejumlah kawasan kelompok Islam puritan ini semangat berdakwah tentang wajibnya mengenakan pakaian model abaya Arab atau "jilbab gelombor” bagi perempuan dan jubah bagi lelaki seraya "mengharamkan” pemakaian jenis-jenis pakaian adat lokal Nusantara, meskipun sebetulnya sudah "sangat Islami”.
Di sini saya perhatikan mereka gagal menangkap "pesan moral” atau tujuan utama Syariat Islam (maqashid syari'ah) tentang hijab sebagai "penutup aurat”, bukan merujuk pada jenis dan desain busana tertentu.
Lagi, ekspresi berbusana dan persepsi tentang tata-busana kelompok Islam puritan di Indonesia ini berbeda dengan masyarakat Arab kontemporer di Timur Tengah yang memandang busana gamis dan abaya adalah "ajaran budaya” (bukan ajaran agama) mereka. Oleh karena itu, dalam berbusana mereka cenderung sangat fleksibel. Bahkan masyarakat Arab modern, khususnya generasi muda, sudah terbiasa dengan pemakaian jenis pakaian kasual ala Barat. Jubah hanya dikenakan oleh mereka pada saat salat Jumat atau acara-acara tertentu saja: saat berdinas, wisuda, pesta pernikahan, dan lainnya, bukan dalam kehidupan sehari-hari.
Potret Muslim Uighur di Cina
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
Bukan hanya soal busana saja. Kelompok Islam puritan juga bersemangat mengeliminasi atau melenyapkan berbagai kebudayaan material dan imaterial seperti patung-patung hasil karya seni maupun berbagai adat-istiadat daerah yang sudah turun-temurun dipraktikkan dan menjadi institusi sosial di masyarakat. Alasannya tentu saja karena semua itu dianggap atau diyakini tidak relijius dan berpotensi merusak keimanan dan kemurnian Islam. Ada pula yang ingin "mengislamkan” berbagai peninggalan sejarah atau warisan berharga para leluhur non-Muslim.
Mereka berdalih meniru Nabi Muhammad yang dulu menghancurkan arca-arca di area Kabah pada saat peristiwa Fathu Makah yang menandai kemenangan Islam atas kelompok "kafir Quraisy”. Padahal, berbagai analisa kesejarahan menunjukkan bahwa penghancuran patung-patung itu merupakan simbol dari penghancuran dominasi dan arogansi berbagai kelompok suku dominan yang selama ini melakukan hegemoni politik dan ekonomi di kawasan Makah dan Jazirah Arab, bukan lambang anti-non-Islam.
Lagi-lagi, di saat sejumlah kelompok Islam puritan di Indonesia bernafsu ingin memusnahkan artifak dan berbagai peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya, Arab Saudi, melalui Saudi Commission for Tourism and National Heritage yang diketuai oleh Pangeran Sultan bin Salman, justru sedang gencar-gencarnya mengumpulkan, mendokumentasikan, dan menyelamatkan berbagai peninggalan purbakala dan situs-situs sejarah. Sejak 2011, Saudi Commission for Tourism and National Heritage melaporkan telah mengumpulkan sekitar 52,000 artifak dan aneka ragam peninggalan purbakala sebagai bagian dari National Project for Digital Recording of Antiquities dengan mengikuti standar internasional pengarsipan dan pencatatan data-data arkeologis.
Buah Haram Wahabisme
Sejak lama dunia mengkhawatirkan paham Wahabisme sebagai wadah terorisme global. Ajaran puritan itu diyakini tidak cuma menjadi rumah ideologi, tapi penganutnya juga ikut membiayai tindak terorisme di Timur Tengah.
Foto: Reuters/C. Barria
Wahabisme Telurkan Radikalisme?
Sejak 2013 silam parlemen Eropa mewanti-wanti terhadap paham Wahabisme. Bahkan Dewan Fatwa Malaysia menilai faham tersebut kerap melahirkan pandangan radikal dan bisa berujung pada tindak terorisme. Pasalnya Wahabisme menganut prinsip pemurnian Islam. Bentuknya yang cenderung eksklusif dan intoleran terhadap ajaran lain membuat penganut Wahabisme rentan terhadap radikalisasi.
Foto: Reuters
Sumber Ideologi
Kebanyakan kelompok teror dari Nigeria, Suriah, Irak hingga ke Pakistan mengklaim Wahabisme atau Salafisme sebagai ideologi dasar. Al-Qaida, Islamic State, Taliban, Lashkar-e-Toiba, Front al Nusra dan Boko Haram adalah kelompok terbesar yang jantung ideologinya merujuk pada paham Islam puritan itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda dari Riyadh
Hingga kini pemerintah Arab Saudi sudah mengucurkan dana hingga 100 miliar dolar AS untuk mempromosikan paham Wahabisme ke seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Uni Soviet cuma menghabiskan dana propaganda Komunisme sebesar 7 miliar dolar AS selama 70 tahun sejak dekade 1920-an. Pakar keamanan mencurigai, sebagian dana dakwah itu disalahgunakan untuk membiayai terorisme.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Brakemeier
Dana Gelap di Musim Haji
Pada nota rahasia senat AS dari tahun 2009 yang bocor ke publik, calon presiden AS Hillary Clinton menyebut hartawan Arab Saudi sebagai "donor terbesar" kelompok terorisme di seluruh dunia. Biasanya teroris memanfaatkan musim haji untuk masuk ke Arab Saudi tanpa mengundang kecurigaan aparat keamanan.
Foto: AFP/Getty Images/M. Al-Shaikh
Bisnis Perang
Penyandang dana teror terbesar di Arab Saudi tidak lain adalah hartawan berkocek tebal. Dengan mengandalkan uang minyak, mereka secara langsung atau tidak langsung menyokong konflik bersenjata di Pakistan atau Afganistan. Hal tersebut terungkap dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor di Wikileaks.
Foto: Getty Images/AFP/A. Karimi
Sumbangan buat Laskar Tuhan
Kelompok teroris tidak jarang menggunakan perusahaan atau yayasan untuk mengumpulkan dana perang. Lashkar-e-Toiba di Pakistan misalnya menggunakan lembaga kemanusiaan Jamaat-ud Dakwa, untuk meminta sumbangan. Kedoknya adalah dakwah Islam. Salah satu sumber dana terbesar biasanya adalah Arab Saudi.
Foto: AP
Senjata dari Emir
Arab Saudi bukan satu-satunya negara Islam yang menyokong terorisme. Menurut catatan Pentagon yang dipublikasikan majalah The Atlantic, Qatar membantu Jabhat al-Nusra dengan perlengkapan militer dan dana. Kelompok teror tersebut sempat beroperasi sebagai perpanjangan tangan Al-Qaida di Suriah. Jerman juga pernah melayangkan tudingan serupa terhadap pemerintah Qatar ihwal dana untuk Islamic State
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Jebreili
Dinar untuk al Nusra
Tahun 2014 silam Washington Post memublikasikan laporan yang mengungkap keterlibatan Kuwait dalam pembiayaan kelompok teror di Suriah, seperti Jabhat al Nusra. Laporan yang berlandaskan kesaksikan perwira militer dan intelijen AS itu menyebut dana sumbangan raksasa senilai ratusan juta dolar AS.
Foto: Reuters/H. Katan
Dukungan "tak langsung"
Harus ditekankan tidak ada bukti keterlibatan kerajaan al-Saud dalam berbagai aksi teror di seluruh dunia. Namun pada serangan teror 11 September 2001 di New York, AS, komite bentukan senat menemukan bahwa pelaku memiliki hubungan "tidak langsung" dengan kerajaan dan "mendapat dukungan dari kaum kaya Saudi dan pejabat tinggi di pemerintahan."
Foto: AP
Pencegahan Setengah Hati
Sejauh ini pemerintah Arab Saudi terkesan setengah hati membatasi transaksi keuangan gelap untuk pendanaan terorisme dari warga negaranya. Dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor ke publik, Riyadh misalnya aktif melumat sumber dana Al-Qaida, tapi banyak membiarkan transaksi keuangan untuk kelompok teror lain seperti Taliban atau Lashkar-e-Toiba.
Foto: picture-alliance/dpa/Saudi Press Agency
Bantahan Riyadh
Namun Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, membantah hubungan antara ideologi Wahabi dengan terorisme. "Anggapan bahwa Saudi membiayai ekstremisme atau Ideologi kami menyokong ekstremisme adalah omong kosong. Kami aktif memburu pelaku, uang dan dalang di balik tindak terorisme," tukasnya.
Menjaga kemurnian iman, akidah, dan ajaran Islam tentu saja penting bagi umat Islam. Tetapi menganggap produk-poduk tradisi dan kebudayaan manusia bisa menodai, mengganggu dan membahayakan keimanan dan keislaman seorang Muslim, saya rasa sangat berlebihan. Keyakinan keimanan dan ketauhidan tidak akan menyusut dan berkurang nilainya hanya karena masalah tradisi dan kebudayaan, Justru dengan aneka tradisi dan kebudayaan itulah, umat beragama menjadi semakin kaya dan bermakna. Tradisi dan budaya bukanlah penghalang bagi iman dan agama. Tetapi justru sebaliknya, bisa menjadi medium berharga untuk meningkatkan kualitas agama dan keimanan umat beragama.
Oleh karena itu mari kita turut menjaga, merawat dan mempertahankan berbagai tradisi dan kebudayaan Nusantara, baik yang berbentuk "budaya material” (seperti aneka pakaian daerah, artifak dan situs-situs sejarah) maupun "budaya immaterial” (seperti adat-istiadat) warisan para luluhur bangsa sebelum kita semua menyesal di kemudian hari akibat ulah segelintir orang fanatik, sejumlah manusia bigot, kaum buta sejarah, dan kelompok pikun wawasan keagamaan dan kebudayaan. Semoga bermanfaat.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Bagaimana Iran Menangkan Perang Dingin Lawan Arab Saudi
Iran sedang di atas angin. Negeri Syiah itu tidak hanya memanen rezeki dari perjanjian nuklir, tapi juga mendesak Arab Saudi dan melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah. Riyadh yang mulai gugup bertaruh pada Donald Trump
Foto: Irna
Damai di Dalam Negeri
Popularitas Presiden Hassan Rouhani menguat sejak Donald Trump berkuasa di Gedung Putih. Saat ini Iran fokus memanen sebanyak mungkin keuntungan dari perjanjian nuklir dan menjaga pengaruhnya di kawasan yang kian meluas. Konsensus itu ikut menjaga stabilitas politik di Teheran.
Foto: Mehr/M.Asgaripour
Banjir Pertumbuhan Ekonomi
Kelonggaran embargo ekonomi membuahkan lonjakan pertumbuhan di sejumlah sektor kunci. Dana Moneter Internasional memperkirakan nilai Produk Domestik Brutto Iran akan meroket dari 23,3 miliar menjadi 427,7 milliar Dollar AS pada 2017. Setelah banjir investasi di Cina, pekan ini giliran Presiden Rusia Vladimir Putin yang datang dan membawa kontrak energi senilai 30 miliar Dollar AS.
Foto: AP
Ramai Diplomasi di Eropa
Di panggung Diplomasi Teheran pun rajin menebar pesona. Eropa kini mendukung Iran mempertahankan perjanjian nuklir yang ingin dipreteli oleh Presiden AS Donald Trump. Agresi Gedung Putih juga mendorong Rusia dan Cina memperkuat dukungannya atas rejim di Teheran.
Foto: Reuters/Sputnik/Alexei Druzhinin/Kremlin
Sekutu di Jantung Teluk
Embargo Arab Saudi dan tiga negara Arab lain hingga kini urung memaksa Qatar memutus pertalian dengan Iran. Malah sebaliknya. Di balik krisis tersebut Doha juga membidik peluang bisnis dengan berekspansi dan menebar investasi. Qatar Airways misalnya membeli Cathay Pacific dan menggandakan kapasitas layanan logistik.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Heimken
Aliansi dengan Turki
Kedua negara adidaya Islam di Timur Tengah itu tidak hanya merangkai aliansi buat memukul kekuatan Kurdi di Irak dan Suriah, tapi juga bahu membahu menggembosi pengaruh Arab Saudi. Ketika krisis Qatar mulai meruncing, Presiden Recep Tayyip Erdogan buru-buru berikrar dukungan pada Doha. Baru-baru ini ketiga negara berupaya mengakali embargo dengan membangun koridor logistik.
Foto: Tasnim
Menumpas Pemberontakan di Irak
Stabilitas keamanan di Irak saat ini nyaris sepenuhnya bergantung pada Iran. Ketika etnis Kurdi menyatakan kemerdekaan di wilayah utara, adalah milisi Syiah dukungan Iran yang membantu pasukan Irak meredam pemberontakan. AS sempat mendesak Irak agar mengusir milisi tersebut. Tapi Baghdad menolak.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Dicenzo
Libanon di Pangkuan Mullah
Pengaruh Teheran pekat menyelebungi Libanon, terutama sejak penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam. Saat ini lingkar kekuasaan di Beirut tidak berdaya menghadapi Hizbullah yang dibekingi Iran. Buat memecah kebuntuan, Perdana Menteri Hariri mengundurkan diri atas desakan Riyadh. Langkah itu juga diduga buat memancing konflik antara Israel dan Hizbullah.
Foto: Mahmoud Zayyat/AFP/Getty Images
Menjebak Saudi di Yaman
Perang saudara yang dikobarkan milisi Houthi di Yaman dengan uluran tangan Teheran menempatkan Arab Saudi dalam posisi pelik. Sejauh ini kampanye militer Riyadh tidak hanya gagal menghancurkan kekuatan milisi Syiah itu, tetapi malah membuahkan hujan kritik dunia internasional karena memicu bencana kemanusiaan.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Al-Ansi
Memperkuat Assad di Suriah
Presiden Suriah Bashar Assad kian kokoh berkat dukungan militer Rusia dan Iran. Kekuasaan Damaskus saat ini melebar lewat Palmayra hingga ke Raqqa. Takluknya ISIS membuka vakum kekuasaan yang dimanfaatkan oleh serdadu pemerintah buat merebut kembali teritori yang hilang. Bahkan Eropa perlahan harus mengakui, perang saudara ini tidak akan menamatkan riwayat rejim Assad.
Foto: Getty Images/AFP/N. Al.Khatib
Pertaruhan bin Salman
Saat tersudut, penguasa de facto Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman mengintip peluang lewat Presiden AS Donald Trump. Ketika Trump berikrar bakal mengambil kebijakan garis keras terhadap Teheran, Riyadh menimpali dengan konfrontasi. AS saat ini adalah satu-satunya sekutu Saudi yang bisa mengganyang pengaruh Iran. Ironisnya kelemahan terbesar pada rencana Arab Saudi adalah Trump sendiri.