1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Merayakan Kepahlawanan Soeharto

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
6 Juni 2025

Bila keputusan administratif gelar pahlawan nasional bagi bekas presiden Soeharto kelak benar-benar terwujud, bisakah kamu menerima dengan lapang dada? Simak opini Aris Santoso.

Suharto berhak mendapat gelar pahlawan?Foto: CPA Media/picture alliance

Hari-hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Setelah tarik-ulur sekian lama,  Soeharto segera ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Tentu saja keputusan itu tidak bulat, masih ada sejumlah resistensi, baik dari gerakan masyarakat sipil maupun para akademisi. Namun perlawanan itu kelak hanya akan menjadi catatan peristiwa.

Periode  pemerintahan Prabowo adalah kesempatan terbaik untuk mewujudkan niatan itu, mengingat antara Soeharto dan Prabowo pernah ada hubungan personal yang sangat dekat. Bila keputusan administratif gelar pahlawan nasional (bagi Soeharto)  kelak benar-benar turun, bangsa ini harus menerima dengan lapang dada, mengingat publik yang tidak setuju juga terbilang besar.

Sejarah selalu berulang. Apa yang dilakukan Prabowo hari ini, seperti mengulang apa yang dilakukan (Presiden)Bung Karno ketika memberikan gelar pahlawan nasional kepada Tan Malaka (tahun 1963).

Ketika Bung Karno jatuh dari kekuasaan, nama Tan Malaka dengan berbagai cara dilenyapkan oleh rezim Soeharto. Sebagaimana kita tahu, rezim Orde Baru dikenal kurang ramah terhadap tokoh-tokoh kiri, betapa pun besarnya jasa mereka. Sehingga gelar pahlawan nasional bagi Tan Malaka seolah "hangus” begitu saja.

Demikian juga dengan gelar pahlawan nasional Soeharto, kelak bisa jadi juga akan mengikuti peta jalan status Tan Malaka, usai dirayakan sebagai pahlawan nasional, kemudian segera dilupakan oleh generasi yang akan datang, yakni Gen Z, Gen Alpha, dan seterusnya, yang pada dasarnya memang kurang familier terhadap figur Soeharto.

Tidak ada jaminan rezim yang akan datang, seandainya Prabowo tidak maju lagi pada Pilpres 2029, akan memberi respek yang memadai untuk Soeharto. Semuanya sudah menjadi kehendak sejarah, dan bangsa ini harus menerima keputusan itu, semata-mata karena adanya dukungan kekuasaan, bukan murni aspirasi publik secara luas.

Aris SantosoFoto: privat

Bertumpu pada kekuasaan

Dalam menjelaskan siapa Soeharto, diperlukan narasumber yang kompeten, artinya yang benar-benar melihat, bagaimana perilaku politik Soeharto saat berkuasa.

Bila publik bertanya pada narasumber yang terafiliasi pada kekuasaan, seperti Menteri Kebudayaan Fadli Zon, tentu Soeharto akan dibela habis-habisan.

Dalam beberapa kali kesempatan, Fadli Zon  mengklaim dirinya sebagai mantan aktivis pergerakan mahasiswa, tepatnya aktivis gerakan mahasiswa yang mendukung rezim  penguasa di masa lalu (baca: Soeharto), sama sebangun dengan organisasi kepemudaan KNPI, AMPI, Pemuda Panca Marga, FKPPI, dan seterusnya. Dengan kata lain, informasi dari tokoh seperti Fadli Zon sama sekali tidak signifikan dalam menjelaskan sosok Soeharto.

Keputusan ini benar-benar bersandar pada kekuasaan. Tampaknya Prabowo mumpung sedang berkuasa, ingin memberikan kado terindah saat ulang tahun Soeharto ke 104 (lahir 8 Juni 1921),  kepada lingkaran Keluarga Cendana, dimana Prabowo pernah menjadi bagian aktif di dalamnya. Kita harus ingat, Soeharto dan Prabowo adalah sama-sama mantan komandan pasukan yang andal, artinya yang berlaku adalah sistem "komando”, soal cara seperti itu kemudian dikatakan tidak demokratis, bukan masalah benar, karena begitulah karakter figur militer.

Selalu ada paralelisme dalam sejarah. Mungkinkah ini kebetulan belaka, ketika peta jalan  Soeharto dan Prabowo menuju kekuasaan, harus melalui jalan yang tidak sepenuhnya terang benderang.  Bila pada akhirnya, baik Soeharto maupun Prabowo, benar-benar menapaki puncak kekuasaan, mungkin itu sudah menjadi kehendak sejarah pula.

Beban berat ada pada Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Wakil Mensos Agus Jabo Priyono, yang di masa lalu termasuk bagian dari gerakan oposisi terhadap Soeharto, kini seolah tidak berdaya. Apa boleh buat, kekuasaan memiliki logikanya sendiri.

Kelompok yang dulu menentang Soeharto, bersama yang mendukung Soeharto, kini bergabung dalam gerbong yang sama, gerbong yang mengangkut manisnya madu kekuasaan.

Demikian eratnya jalinan kebersaamaan itu, sampai-sampai Gus Ipul dan Mas Agus Jabo siap pasang badan, demi mengamankan  pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional, seandainya masih ada pro-kontra di masyarakat,

Mensos dan Wamensos sejatinya masih bisa berperan dalam rezim sekarang, seandainya dianggap gagal dalam mencegah proses pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Kiranya Gus Ipul dan Mas Agus Jabo tetap bersikap konsisten selaku mantan aktivis gerakan mahasiswa, dengan cara mencegah kembalinya rezim otoritarian, yang salah satu implementasinya adalah jangan sampai menjadikan mantan Presiden Jokowi juga sebagai pahlawan nasional.

Pak Cum dan Benny giliran berikutnya

Sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah, tidak ada yang pasti dalam politik kekuasaan, begitu juga dengan periodesasi kekuasaan Prabowo. Dalam imajinasi para pendukungnya, Prabowo sudah disiapkan untuk dua periode, namun tidak ada jaminan itu akan benar-benar terjadi. Namun setidaknya kita masih bisa berharap,  kebugaran Prabowo tetap mendukung menjelang Pilpres 2029 kelak.

Dalam bacaan saya, mengingat tidak adanya kepastian dua periode, sementara Prabowo sudah terlanjur digadang-dipadatkan untuk dua periode,  maka yang paling mungkin dilakukan adalah, memadatkan segala target dan angan-angan yang idealnya hanya bisa dicapai  dicapai  melalui dua periode (2024-2034), kini dipadatkan dalam satu periode (2024-2029).

Itu sebabnya, bagaimana semester pertama pemerintahan Prabowo terkesan demikian sibuk, rupanya karena ada ikhtiar pemadatan itu. Dan kesibukan ini masih akan berlangsung terus sampai periode pertama selesai.

Didorongnya Soeharto untuk segera ditetapkan sebagai pahlawan nasional, juga bagian dari dipadatkannya target rezim Prabowo. Benar, rezim Prabowo seolah dikejar waktu. Bila Soeharto tidak diangkat sebagai pahlawan nasional saat ini, belum tentu besok-besok ada kesempatan yang setara.

Bila tahapan administratif gelar pahlawan nasional bagi Soeharto sudah rampung, maka figur berikutnya yang perlu segera diproses adalah Sumitro Djojohadikusumo (Pak Cum, ayah Prabowo) dan Jenderal Purn Benny Murdani. Nama Pak Cum sudah diusulkan warga Kebumen, untuk kemudian diproses lebih lanjut, sampai ke tingkat pusat. Dan saya kira proses administratif untuk Pak Cum, sama dengan proses bagi Soeharto, akan berlangsung relatif cepat.

Demikian juga dengan proses untuk figur Benny Murdani. Pengangkatan Benny sebagai pahlawan nasional, memiliki makna positif bagi citra Prabowo, karena selama ini dikesankan ada konflik berlarut antara Benny dan Prabowo, sejak tahun awal dekade 1980-an lalu, ketika Prabowo baru bergabung dalam keluarga besar (presiden) Soeharto.

Beberapa purnawirawan yang selama ini diketahui dekat dengan Benny, seperti Hendro Priyono (Akmil 1967), Agum Gumelar (Akmil 1968), dan Luhut B Panjaitan (Akmil 1970), yang di masa sebelumnya terkesan kurang ramah terhadap Prabowo, terutama saat Pilpres 2009 sampai Pilpres 2019, kini semuanya sudah ramai-ramai berkumpul di sekitaran Prabowo, sehingga konflik antara Benny dan Prabowo, seandainya memang benar-benar terjadi, akan segera menjadi kisah masa lalu.

Begitu terburu-burunya rezim Prabowo dalam memburu target, khawatir periode kekuasaan kedua benar-benar tidak terjadi, mereka terkesan kurang halus dalam bermanuver. Salah satunya adalah target mengembalikan dominasi militer dalam panggung politik nasional.

Ketika tulisan ini disiapkan, sedang ramai menjadi perbincangan publik, ketika Letjen Djaka Budi Utama yang segera dilantik sebagai direktur jenderal bea dan cukai, kementerian keuangan.

Kementerian keuangan, sejak lama dikenal sebagai kementerian atau lembaga  negara yang sangat kuat memegang prinsip kompetensi, kurang lebih sama dengan lembaga kemiliteran (TNI). Namun kali ini akan diberikan kepada perwira tinggi TNI AD, yang kompetensinya jauh dari "dunia dalam” Kementerian Keuangan.

Demikian tingginya syarat kompetensi di kementerian keuangan, sehingga ada sekolah kedinasan untuk menyiapkan SDM terlatih untuk mengabdi di kememkeu, yang dikenal sebagai STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), yang dahulu  kampusnya terletak di dekat rumah pribadi Pak Cum di Kebayoran Baru, Jakarta  Selatan.

Dengan kata lain, pengangkatan Letjen Djaka sebagai Dirjen Bea dan Cukai, sangat jauh dari nilai kompetensi dan meritokrasi yang didengungkan rezim sekarang. Dan lagi, pilihan itu sama saja mengabaikan eksistensi STAN, beserta para alumnusnya.

Ketimbang mengangkat Letjen Djaka, tentu lebih pantas mengangkat alumnus STAN yang telah menjadi figur publik pula, seperti Sudirman Said atau Edwin Manansang (Trio Libels). Sudirman Said mungkin jauh lebih kompeten dibanding Letjen Djaka, mengingat Sudirman selain alumnus STAN, juga  pernah menjabat Menteri ESDM (2014-2015), terlepas Sudirman Said sempat masuk bagian tim sukses Anies Baswedan saat pilpres terakhir.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait