Merdeka Puluhan Tahun, Urusan Tinja Pun Belum Selesai
17 November 2017
Apakah kita ingin buang air besar dengan beradab? Apa yang ingin Indonesia capai ketika sudah menyatakan merdeka puluhan tahun? Simak opini Zaky Yamani.
Iklan
Jawabannya pasti yang hebat-hebat: kita ingin menguasai teknologi tinggi, kita ingin jadi negara kaya, kita ingin yang paling depan dalam ilmu pengetahuan, kita ingin pergi ke luar angkasa, kita ingin punya pasukan militer yang hebat.
Tapi pernahkah kita bertanya, apakah kita ingin buang air besar atau berak dengan beradab?
Apa yang dimaksud berak dengan beradab? Tentu saja buang air besar yang tidak mengganggu makhluk hidup lain, buang air besar yang bersih, berak yang tidak menimbulkan penyakit bagi orang lain.
Di usia kemerdekaannya yang sudah lewat 72 tahun, dalam urusan berak orang Indonesia ternyata belum benar-benar beradab. Di kota-kota di Indonesia saja, seperti dilaporkan di Laporan Bank Dunia, hanya lima persen yang sanitasinya aman. Artinya, bahkan di kota-kota yang citra warganya lebih terdidik dan modern, hanya lima persen warga yang urusan tinjanya sudah beres: tidak dibuang ke sungai dan memenuhi standar kesehatan.
Di desa-desa malah lebih parah lagi. Potretnya misalnya di Kabupaten Cirebon, dari 424 desa yang ada di sana, warga di 365 desa masih buang tinja sembarangan. Bayangkan, dari desa sebanyak itu, hanya 68 desa yang urusan buang air besar warganya memenuhi standar kesehatan.
Contoh lainnya, di satu sungai saja, yaitu Sungai Citarum, setiap hari tidak kurang dari 100 ton tinja yang dibuang langsung ke sungai itu. Di Jawa Barat—yang pemerintahnya bercita-cita menjadikan provinsi itu sebagai provinsi termaju di Indonesia—berdasarkan catatan statistik 2016, ada 4.351.031 atau sekitar 34,56 persen keluarga di Jawa Barat membuang tinja tanpa sarana WC yang memadai. Artinya, 4,3 juta keluarga di provinsi terdekat dengan ibukota itu, buang airnya masih di sungai, di kebun, atau tempat terbuka lainnya.
Cafe Jamban Kampanyekan Toilet Bersih
Sebuah cafe di Semarang mengundang perhatian dunia. Pasalnya Cafe Jamban menyajikan makanan di dalam toilet jongkok. Dengan cara itu pemiliknya mengaku ingin mengkampanyekan toilet bersih di Indonesia
Foto: AP
Konsep Nyeleneh
Cafe Jamban di Semarang punya cara unik buat mengundang pengunjung. Pemiliknya mengusung konsep restoran bertemakan toilet. Sesuai namanya, Cafe Jamban menyajikan hidangan di dalam toilet jongkok berwarna warni.
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Kepedulian Sosial
Tapi konsep unik Cafe Jamban bukan cuma sekedar akal-akalan buat menjaring konsumen. Pemiliknya, Budi Laksono yang juga seorang dokter, mengaku sengaja mengusung konsep tersebut buat mengkampanyekan toilet bersih di Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Toilet Jorok Sarang Penyakit
Budi mengeluhkan betapa di Indonesia sekitar 24 juta rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap toilet bersih. Akibat minimnya kebersihan "banyak orang yang meninggal dunia akibat disentri, demam tifoid atau infeksi usus," ujarnya.
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Kampanye Bersih
Tidak semua orang suka dengan ide Budi Laksono. Seorang pengguna Facebook bahkan menyebut konsep Cafe Jamban "menjijikkan." Namun buat Budi, pemberitaan yang marak tentang Cafe-nya itu justru membantunya meningkatkan kepedulian penduduk tentang masalah kebersihan buat kaum miskin di Indonesia
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Toilet Terbuka
Akses toilet menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi kaum miskin di Indonesia. Menurut data Badan Kesehatan Dunia, sebanyak 63 juta penduduk Indonesia 2014 silam masih menggunakan toilet terbuka. Jumlah tersebut cuma dikalahkan oleh India yang mencatat 636 juta penduduk tanpa akses toilet.
Foto: LOIC VENNIN/AFP/GettyImages
Jamban Sehat untuk Semua
Kementerian Kesehatan berambisi menyediakan akses toilet bersih terhadap semua penduduk Indonesia selambatnya tahun 2019. Program itu antara lain dijalankan dengan memberikan kredit bagi desa-desa kecil untuk membangun jamban sehat.
Foto: AP
6 foto1 | 6
Bagaimana dengan tempat-tempat lain di Indonesia?
Saya pikir potretnya hampir sama. Bahkan di Jakarta sekali pun, saya yakin urusan tinja belum selesai.
Lalu wajah Indonesia yang seperti apa yang akan terlihat jika urusan buang hajat ini ternyata masih jauh dari beradab? Tentu saja wajah Indonesia yang jorok: tidak higienis dan tidak bisa dipercaya kehigienisan produk-produknya.
Saya pikir persoalan tinja ini bukan persoalan yang bisa disepelekan. Ini persoalan citra sebuah bangsa dan kehigienisan produk bangsa itu. Misalnya, bagaimana kita bisa percaya dengan makanan produk Indonesia jika sumber airnya saja berisiko tinggi tercemar tinja? Belum lagi dalam urusan bisnis wisata alam, bagaimana kita akan mengajak wisatawan bermain di sungai atau pantai, jika setiap hari jutaan warga buang air besar di sungai-sungai?
Atasi Kemiskinan Lewat WC
Sepertiga warga dunia tidak punya akses ke toilet yang bersih dan aman. Padahal sarana sanitasi tidak hanya higienis, tapi juga membantu pendidikan dan pekerjaan. Ini berperan dalam pembangunan ekonomi.
Foto: Patrick Baumann
HAM dan Toilet
Di seluruh dunia, aktivis seperti di stasiun kereta Berlin ini menuntut sarana kebersihan yang lebih baik. Sekitar 30 persen penduduk di dunia tidak punya akses ke toilet yang lebih bersih dan aman. Sehingga lebih banyak manusia yang meninggal karena masalah kebersihan dibandingkan akibat malaria dan campak.
Foto: John Macdougall/AFP/Getty Images
Investasi bagi Kesehatan
Penyakit yang ditularkan lewat air, seperti typhus dan disentri, menyebar dengan cepat di daerah tanpa sarana sanitasi. Di Kibera salah satu wilayah termiskin di Afrika, ini bukan masalah baru. Warga buang air besar di kantong plastik dan membuangnya begitu saja. Kini didirikan toilet umum di daerah kumuh Nairobi tersebut. Jumlah warga yang jatuh sakit pun berkurang.
Foto: DW
Pekerjaan Kotor
Di beberapa wilayah India tanpa instalasi penyaringan air, masih ada pembersih kakus seperti perempuan asal Mudali ini. Sebenarnya sejak 20 tahun ada larangan untuk melakukan pekerjaan tersebut, karena dianggap sebagai pekerjaan budak. Tapi belum ada perusahaan yang dihukum karenanya. Di New Delhi, "manual scavenging" atau pembersihan kakus kering oleh manusia dilarang sejak awal tahun ini.
Foto: Lakshmi Narayan
Bertahan di Wilayah Krisis
Pada situasi krisis, sulit untuk memenuhi kebutuhan logistik bagi sarana sanitasi. Kadang harus mengantri berjam-jam hingga bisa buang air kecil. Pengungsi, seperti warga Somalia yang melarikan diri ke Tunisia, butuh sarana tambahan yang sayangnya tidak mampu disediakan infrastruktur setempat.
Foto: picture-alliance/dpa
Solusi Berkesinambungan
Di El Alto, dekat ibukota Bolivia La Paz, dikembangkan toilet yang mampu mengolah kotoran manusia menjadi pupuk. Para petani dari daerah sekitar memperoleh pupuk secara cuma-cuma dan rumput lapangan bola baru juga terawat karenanya.
Foto: Sustainable Sanitation/Andreas Kanzler
Bukan Tempat Ideal
20 juta warga Uni Eropa tidak punya akses ke instalasi sanitasi. Di wilayah pedesaan Eropa Timur, toilet dalam bentuk jamban atau kakus masih ditemukan dimana-mana. Akibatnya, air minum terkotori. Di daerah ini kurangnya kebersihan juga menghambat perkembangan ekonomi.
Foto: picture-alliance/CTK
Bantuan Terarah
Toilet sederhana adalah sarana termurah dalam upaya memerangi kemiskinan. Tirame Ayago, 55, (foto) kini memiliki kakus pribadi berkat bantuan Organisation Toilet Twinning. Dulu keluarganya sering sakit, kini ia bisa menabung uang yang biasanya dibutuhkan untuk pengobatan.
Foto: Richard Hanson
Tempat Sunyi dan Pemandangan Indah
Di tempat paling terisolasi di dunia, toilet harus berfungsi tanpa air, listrik atau instalasi penyaringan air. Toilet di Mount McKinley di Alaska menawarkan pemandangan spektakuler dari gunung tertinggi Amerika Utara. Tempat seperti itu memberi inspirasi penggemar toilet Luke Barclay untuk mengabadikannya dalam bukunya "A loo with a view" atau "Toilet dengan pemandangan".
Foto: Patrick Baumann
8 foto1 | 8
Bukan semata persoalan fasilitas
Persoalan tinja bukan semata persoalan membangun banyak fasilitas sanitasi. Persoalan tinja adalah persoalan budaya yang harus segera dicari solusinya. Karena buktinya, dari sekian banyak fasilitas sanitasi yang dibangun pemerintah, banyak yang dibiarkan tidak terawat, bahkan mungkin tidak digunakan warga. Alasannya: warga tidak diajari dengan benar bagaimana menggunakan dan merawat fasilitas sanitasi dengan benar.
Terkait dengan pendidikan bagi warga, saya pernah mengobrol dengan seorang kawan yang kenal dekat dengan sebuah pemilik perusahaan. Kata dia, pemilik perusahaan itu ingin memberikan bantuan berupa toilet duduk dan urinoar di sekolah-sekolah di kota kelahirannya. Alasannya sederhana: dia malu melihat banyak warga di kotanya yang tidak tahu cara menggunakan toilet dan urinoar di bandara ketika mereka berangkat haji. Dia berharap, jika anak-anak sekolah belajar cara menggunakan toilet dengan benar, suatu hari nanti jamaah haji dari kotanya tidak terlalu membuat malu.
Metamorfosis Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung adalah nadi kehidupan sejak era Tarumanegara hingga Jakarta. Setelah dijadikan lubang sampah ibukota, sungai bersejarah itu mulai berubah. Kini Ciliwung menjadi ladang perseteruan demi identitas kota
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nadi Peradaban
Tanpa Ciliwung Jakarta mungkin tidak pernah ada. Sungai sepanjang 120 kilometer itu ikut melahirkan peradaban awal berupa Kerajaan Tarumanegara. Kesultanan Banten, pemerintahan kolonial Portugal dan Belanda menggunakan Ciliwung sebagai jalur transportasi utama dan sumber air minum. Namun sejarah panjang sungai tersebut kini nyaris dilupakan.
Foto: public domain
Pelarian Kaum Terbuang
Sejak 40 tahun terakhir wajah bantaran Ciliwung dipenuhi pemukiman kumuh buat kaum terpinggirkan. Ketiadaan ruang hidup yang terjangkau memaksa mereka menempati lahan milik negara tersebut. Buruknya perencanaan tata kota dan infrastruktur untuk mendukung pemukiman penduduk membuat Ciliwung menjadi daerah kotor dan berpolusi.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Polusi demi Uang
Namun begitu penduduk bukan satu-satunya sumber polusi Ciliwung. Studi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama empat tahun yang dipublikasikan 2014 silam menyebut 17 perusahaan rajin membuang limbahnya di sungai tersebut. Pada 2011 Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD Jakarta telah memperingatkan, air resapan tanah di Ciliwung telah terkontaminasi bakteri E Coli lebih dari 90 persen.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Proyek Masa Depan
Bahkan sejak 1995 perusahaan air minum Jakarta, PT Palyja dan PT Aetra, tidak lagi mengambil air dari Ciliwung, melainkan Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Seharusnya harga air buat sekitar 5 juta konsumen di Jakarta bisa berkurang drastis jika kejernihan air Ciliwung bisa dikembalikan. Dengan kebutuhan air yang kian melonjak, normalisasi Ciliwung menjadi proyek masa depan yang tak bisa diabaikan
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Polemik di Bantaran Sungai
Rencana itu kemudian dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2012. Normalisasi Ciliwung melibatkan pelebaran bibir sungai hingga mencapai 50 meter, seperti pada era kolonial Belanda. Namun hal tersebut berarti menggusur penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Ujung-ujungnya proyek pemprov DKI itu mengundang polemik dan kritik karena dianggap mengorbankan penduduk miskin.
Foto: picture-alliance/dpa
Perang Identitas Kota
Arus balik animo publik berkutat pada masalah penggusuran. Sejumlah aktivis menilai normalisasi Ciliwung mengebiri identitas kota dan mengubur predikat Jakarta yang inklusif buat semua. Membangun tanpa menggusur menjadi moto yang dirapal oleh sebagian pakar tata kota. Pemerintah Provinsi sebaliknya terkesan ingin mempercepat normalisasi karena khawatir kehilangan momentum politik jelang Pilkada
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Penggusuran atau Relokasi?
Penggusuran sebagai bagian dari normalisasi sungai adalah ganjalan terbesar. Menurut Pemprov DKI, sebanyak 75.000 keluarga harus direlokasi untuk membebaskan bantaran sungai dari pemukiman kumuh. Kondisi tersebut menambah rumit masalah Ciliwung. Tidak heran jika rencana awal menyebut proyek normalisasi akan memakan waktu hingga 20 tahun.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Jernih Sungai Ciliwung
Perlahan wajah Ciliwung mulai berubah. Sungai yang dulunya dipenuhi sampah dan berbau busuk, kini bersih dan terkesan asri. Pemerintah dan penduduk berharap normalisasi bisa menghadang banjir yang tiap tahun menggenangi bantaran sungai. Namun proyek raksasa ini belum akan selesai dalam waktu dekat. Prahara yang menyertai penggusuran pun akan terus berlanjut selama belum ada model pendekatan lain
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
8 foto1 | 8
Kisah tersebut bagi saya menggambarkan dua hal. Pertama, orang yang mampu pergi haji pun belum tentu paham tentang kebersihan saat buang hajat, dan itu bisa mencoreng citra bangsa kita di hadapan dunia. Kedua, absennya peran pemerintah. Selama ini pemerintah ke mana saja, sampai urusan buang hajat pun warganya tidak terdidik dengan baik?
Jadi, kita boleh bercita-cita yang tinggi-tinggi, tapi ingat semua cita-cita itu akan ditertawakan bangsa lain kalau urusan buang air, seperti berak dan kencing kita tidak kita perbaiki. Urusan buang hajat adalah urusan setinggi apa adab sebuah bangsa.
Penulis:
Zaky Yamani
Jurnalis dan novelis. *Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
9 Benda Yang Lebih Kotor dari Dudukan Toilet
Anda mungkin selama ini mengira, benda yang paling banyak dipenuhi kuman adalah dudukan toilet. Tapi hasil penelitian menunjukkan, benda-benda seperti handuk dan ponsel ternyata jauh lebih kotor dari dudukan WC.
Foto: picture-alliance/dpa
Smartphone dan Tablet
Tahun 2013. tim peneliti Inggris memeriksa 30 tablet, 30 ponsel dan dudukan WC kantor. Tablet punya 600 unit bakteri staphylococcus (staph: bisa menyebabkan infeksi kulit) dan ponsel memiliki 140 unit. Sementara dudukan toilet hanya memiliki kurang dari 20 unit.
Foto: Robert Kneschke - Fotolia.com
Keran Air
Keran di kamar mandi bisa memiliki 21 kali lebih banyak bakteri dibanding dudukan toilet. Sementara keran di dapur bahkan mencapai 44 kali lebih banyak. Gunakan desinfektan dan bersihkan wastafel secara teratur.
Foto: CWindemuth/Fotolia
Tas
Saat memeriksa 25 tas tangan, peneliti menemukan bahwa tas rata-rata tiga kali lebih kotor dibanding dudukan toilet. Tas yang digunakan secara rutin, bahkan 10 kali lebih kotor. Tali tas yang mengandung paling banyak bakteri. Virus radang lambung terbukti ada yang berasal dari tas belanja yang digunakan ulang.
Foto: Ruslan Kudrin - Fotolia.com
Sikat Gigi
Saat Anda menyiram toilet, semburan air yang mengandung kotoran bisa menyebar hingga sejauh enam meter, ujar Dr Philip Tierno Jr, pakar mikorobiologi di NYU. Jadi jika Anda membiarkan sikat gigi dalam kondisi terbuka di atas wastafel, kotoran bisa hinggap di sikat gigi Anda.
Foto: Fotolia/dkimages
Tombol Lift
Hasil studi Universitas Toronto menemukan, tombol lift mengandung lebih banyak bakteri dibanding dudukan WC. Studi lain di Arab Saudi mengatakan, 97 persen tombol lift terkontaminasi. Satu diantara 10 lift memiliki kuman yang bisa menyebabkan keracunan makanan atau infeksi sinus.
Foto: picture-alliance/dpa
Handuk
Dr. Peter Barratt, direktur Initial Washroom Hygiene, mengatakan kepada MailOnline, bakteri butuh tiga elemen untuk berkembang: kelembaban, suhu hangat, dan materi organik. "Tentu handuk menjadi basah dan partikel kulit mati menempel padanya usai digunakan. Ini menjadi makanan organik bagi mikroba." Jadi cuci handuk seminggu sekali dengan suhu panas.
Foto: Imago/bonn-sequenz
Mesin ATM
Setiap tombol yang Anda pencet pada ATM, rata-rata mengandung 120 kuman - termasuk virus influensa dan E. coli, demikian menurut peneliti Universitas Arizona. Dan 94 persen lembaran uang membawa bakteri yang bisa membuat Anda sakit, ini menurut studi Southern Medical Journal.
Foto: Fotolia/Aleksandar Todorovic
Karpet
Bakteri senang bermukim di dalam karpet. Menurut Readers Digest, rata-rata per orang kehilangan 1,5 juta sel kulit setiap jam dan karpet memiliki 200.000 bakteri per inci persegi. Artinya, karpet bagaikan surga makanan (sel kulit) bagi bakteri. Bersihkan karpet dengan sistem uap setidaknya setahun sekali.
Foto: Colourbox
Talenan
"Ada 200 kali lebih banyak bakteri fecal (bakteri yang ditemukan pada tinja) pada talenan biasa dibandingkan dengan dudukan WC," ujar pakar kebersihan Dr. Gerba ke Fairfax. Pengolahan makanan mentah mewujudkan kondisi yang ideal bagi kuman. Dan, "mengelap meja dapur justru akan semakin menyebar kuman," tambahnya.