Selalu ada tempat bagi orang yang cerdas, entah itu berasal dari militer atau sipil. Apa alasannya? Simak opini Aris Santoso.
Iklan
Dari sekian generasi yang pernah lahir di negeri ini, tak salah bila dikatakan bahwa Generasi 45 sudah menjadi seperti mitos, mengingat generasi ini yang menjadi pemandu peralihan zaman, dari periode kolonial menuju masa kemerdekaan, dan berakhir di era Orde Baru. Dalam perjalanan waktu terjadi paradoks, ketika elemen dari mereka sendiri yang justru memberi andil bagi merosotnya citra generasi ini.
Bagi generasi milenial atau Generasi Y, yang kini sangat menguasai opini di media sosial, secara alamiah dalam posisi diuntungkan, karena tidak pernah berhadapan langsung dengan Generasi 45. Sementara bagi generasi sebelumnya, mereka yang lahir di tahun 1960-an sampai 1980-an, Generasi 45 lebih dipandang sebagai beban ketimbang sebuah fenomena pencerahan.
Tentara langit
Dalam lingkungan TNI, ada satuan yang disebut pasukan para atau lintas udara, yakni pasukan yang menuju daerah operasi dengan menggunakan parasut. Ada sebutan indah untuk menggambarkan kehebatan pasukan seperti itu, yaitu "tentara langit”. Metafora tentara langit bisa pula untuk menggambarkan situasi riil pasca-Orde Baru, ketika tiba-tiba muncul begitu banyak jenderal di wilayah publik.
Saat Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, Soeharto juga membawa gerbong berisi sekian banyak jenderal dari generasinya (Generasi 45), yang kemudian menjadi penyangga pemerintahannya. Sejumlah jenderal ini layak pula disebut tentara langit, karena mereka datang secara dadakan, mengingat publik tidak cukup memiliki pengetahuan tentang latar belakang mayoritas jenderal tersebut.
Pada umumnya para jenderal yang "turun dari langit” ini, berkumpul di sekitar Istana dan Golkar, parpol instan bentukan rezim Soeharto. Celakanya lagi, bila salah satu dari mereka ada yang menjadi pejabat publik, nama mereka akan menjadi materi pelajaran di SD dan SMP. Dengan kata lain ada unsur "paksaan” kepada anak didik untuk mengagumi tokoh yang kurang dikenal tersebut, sementara rasa kagum itu bersifat alamiah, tidak bisa dipaksakan.
Memang semuanya telah menjadi masa lalu. Namun satu hal yang patut dicatat adalah, segala perilaku (politik) dan gaya hidup mereka telah menjadi catatan tersendiri bagi Generasi 45. Ada satu perilaku politik, yang kemudian banyak ditiru generasi berikutnya, sebut saja itu sebagai komodifikasi jasa. Maksudnya, bahwa jasa mereka di masa perjuangan dulu, harus bisa dikonversi dengan kekuasaan, yang berujung pada kesejahteraan.
Model ini yang kemudian ditiru generasi-generasi berikutnya, mulai Angkatan 66 sampai 1990-an, bahwa andil dalam menumbangkan sebuah rezim di masa lalu harus ada imbal baliknya. Dengan cara seperti ini, publik tidak wajib lagi memberikan apresiasi, karena jerih payah mereka di masa lalu, sudah terbayar lunas, bahkan mungkin berlebih.
Satu lagi adalah soal gaya hidup hedonis para jenderal di masa Orde Baru, yang masih meninggalkan jejaknya sampai sekarang. Di Jakarta hari ini, adalah pemandangan biasa bila para elite politik atau pengusaha besar, menjalankan gaya hidup hedonis, tanpa rasa empati sedikit pun pada jutaan rakyat yang masih didera kemiskinan. Gaya hidup seperti ini sedikit-banyaknya merupakan warisan pahit dari para jenderal Orde Baru, berkat privelese yang melekat pada para jenderal tersebut, dalam mengakses kekuasaan dan sumber kesejahteraan.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Diselamatkan Yusuf dan Benny
Adalah Jenderal TNI M Yusuf dan Jenderal TNI Benny Moerdani, dua Panglima TNI (d/h Pangab) dari garda terakhir Generasi 45, dengan cara mereka masing-masing yang menyelamatkan citra generasi mereka, agar tidak terperosok lebih dalam. Saya kira, tanpa kehadiran dua figur ini, citra Generasi 45 benar-benar sedang menuju titik nadir.
Yusuf akan selalu dikenang sebagai pimpinan yang sangat memperhatikan moril dan percaya diri prajurit. Salah satu cara Yusuf memulihkan rasa percaya diri prajurit TNI, adalah dengan meluncurkan program pemantapan kembali 100 bataliyon setingkat raiders, sebagai respons atas performa pasukan TNI yang memprihatinkan dalam Operasi Seroja. Kemudian merintis modernisasi persenjataan TNI, dengan mendatangkan pesawat supersonik F-5E Tiger.
Terlebih lagi, dengan posisi setinggi itu, Yusuf berani melawan arus, dengan tetap hidup sederhana. Sebenarnya ada dua jenderal lagi yang "berani” hidup sederhana, yakni Mayjen Mung Parhadimulyo (mantan Komandan RPKAD/Kopassus) dan Mayjen Soerjosoerarso (Gubernur AMN Magelang pertama), sayangnya dua nama terakhir ini hanya dikenal pada lingkaran terbatas. Terlebih bagi Mayjen Soerjosoerarso, nama istrinya justru lebih dikenal, yakni Gusti Nurul, puteri dari Pura Mangkunegaran.
Sementara Benny akan selalu diingat dengan gaya kepemimpinannya yang khas. Adalah Benny yang mulai berani "mengimbangi” dominasi Soeharto, setidaknya dengan dua cara. Pertama, menggeser posisi Prabowo Subianto (saat itu masih berpangkat mayor), dari Kopassus ke kesatuan lain.
Kedua, dan ini lebih penting, yaitu memberi keleluasaan pada PDI untuk berkembang, sebagaimana terlihat ketika kampanye PDI terkait Pemilu 1987, berlangsung dengan gegap gempita. Dan ini masih berlanjut dengan memberi ruang politik pada Megawati Soekarno, yang menjadikan Mbak Mega bisa seperti sekarang.
Satu faktor yang membedakan Benny atau M. Yusuf, dengan kebanyakan jenderal Orde Baru lainnya adalah soal kharisma. Kharisma berkorelasi dengan apa yang sudah dia berikan bagi anak buah, korps, dan bangsa. Begitulah, jenderal atau pemimpin tanpa kharisma, kelak hanya akan jadi bahan tertawaan anak buah, dan langsung dilupakan begitu tidak menjabat lagi.
Dosa Tentara di Serambi Mekah
Bertahun-tahun rakyat Aceh menanggung kebiadaban TNI selama operasi militer menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Serupa kasus 65, darah yang membalur Serambi Mekah adalah dosa yang selamanya menghantui militer Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
Perintah dari Istana
Pada 19 Mei 2003, pemerintahan Megawati melancarkan operasi militer di Aceh dengan mengirimkan lebih dari 30.000 serdadu dan 12.000 polisi. Sebelumnya Gerakan Aceh Merdeka menolak status otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. Perang yang dikobarkan Megawati berlangsung selama setahun.
Foto: Getty Images/AFP/Raka
Senjata Gelap TNI
GAM sudah berperang demi kemerdekaan Aceh sejak tahun 1976. Kegigihan gerakan separatis itu menyulut perang berkepanjangan dengan TNI. Ironisnya GAM banyak membeli senjata secara gelap dari TNI. Tahun 2000 silam Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah dan menemukan bukti pembelian senjata TNI oleh GAM dengan nilai sebesar tiga miliar Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Berpaling Simpati
Perang pemberontakan Aceh 1990-1998 termasuk yang paling rentan pelanggaran HAM. Selama delapan tahun sekitar 12.000 nyawa menghilang, kebanyakan adalah warga sipil Aceh. Kebiadaban TNI selama itu diyakini justru menambah simpati rakyat Aceh terhadap gerakan separatis.
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Kejahatan Demi NKRI?
Tahun 2013 silam Komnas HAM menyelidiki lima kasus kejahatan perang selama DOM 1990-1998, yakni tempat penyiksaan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur dan Simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan massal di Bener Meriah.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Intimidasi Demi Informasi
TNI berikrar akan lebih hati-hati selama operasi militer di Aceh 2003. Tapi serupa di Timor Leste, tentara dilaporkan sering mengintimidasi penduduk desa untuk mengungkap tempat persembunyian pemberontak. Human Rights Watch mencatat berbagai kasus penculikan dan penganiayaan anggota keluarga terduga gerilayawan. Desember 2003 Polri memerintahkan "menembak mati" siapapun yang "membawa bendera GAM."
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Pondok Kelabu
Pada 17 Mei 2003 tiga truk tentara mendatangi desa Jambo Keupok, Aceh Selatan. Di sana mereka menginterogasi penduduk desa ihwal persembunyian GAM. Hasilnya 16 penduduk tewas. Sebagian ditembak, ada yang disiksa atau bahkan dibakar hidup-hidup, tulis Komisi untuk Orang Hilang, Kontras. Insiden tersebut kemudian dikenal dengan istilah Tragedi Jambo Keupok.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Media Propaganda
Berbeda dengan DOM 1990-1998, TNI menggandeng media untuk menguasai pemberitaan ihwal perang di Aceh. Wartawan misalnya dilarang mengutip sumber dari GAM. "Saya berharap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Kalau saya terkesan keras, harap dimaklumi," tutur penguasa darurat militer Aceh saat itu, Mayjen Endang Suwarya.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Adu Klaim Soal Korban
Selama satu tahun antara Mei 2003 hingga 2004, sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran. TNI mengklaim semuanya adalah gerilayawan GAM. Namun berbagai LSM dan termasuk Komnas HAM membantah klaim tersebut. Sebagian besar korban ternyata warga sipil biasa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Pagar Manusia
Salah satu strategi TNI adalah membangun "pagar betis" yang terdiri dari warga sipil. Mereka diperintahkan untuk menyisir sebuah kawasan yang diduga dijadikan tempat persembunyian GAM. Dengan cara itu, TNI berharap GAM tidak akan menembak dan mau keluar dari sarangnya. Strategi serupa sering diterapkan saat Operasi Seroja di Timor Leste.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Tanpa Keadilan
Berbagai penyelidikan yang dilakukan LSM Kemanusiaan dan Komnas HAM terkait kejahatan perang di Aceh gagal membuahkan keadilan buat korban. Hingga kini sebagian rakyat Aceh masih hidup dengan trauma perang.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
10 foto1 | 10
Generasi peralihan
Pada dasarnya politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari figur militer. Dalam rezim Jokowi sekarang, ada nama Letjen TNI (Purn) Luhut B Panjaitan (lulusan terbaik Akmil 1970), yang peranannya luar biasa menonjol. Tampak sekali Presiden Jokowi sangat mengandalkannya, dan Jokowi benar-benar diringankan dengan keberadaan Luhut, bahkan sejak hari pertama Jokowi masuk gerbang Istana.
Selain Luhut ada nama Jenderal TNI (Purn) Wiranto (Akmil 1968), keduanya bisa disebut sebagai generasi peralihan pasca-Angkatan 1945. Tanpa disadari Presiden Jokowi sendiri, keberadaan Luhut dan Wiranto sebenarnya merupakan representasi baret korps di TNI AD, yakni Luhut sebagai representasi baret merah (Kopassus), dan Wiranto dari baret hijau (Kostrad). Karakter satuan asal masih terus terbawa-bawa ketika keduanya membantu presiden.
Tentu kita masih ingat, Luhut selalu berperan dalam situasi krisis dan genting, terutama pada hari-hari pertama Jokowi menjabat Presiden. Ketika situasi sudah relatif terkontrol, giliran Wiranto yang mengambil alih, sesuai dengan fungsinya saat masih bertugas di satuan baret hijau dulu.
Kalimat terakhir yang ingin saya katakan adalah, bahwa selalu ada tempat bagi orang yang cerdas, entah itu berasal dari militer atau sipil. Bangsa ini sungguh merugi bila tidak memberi ruang bagi perwira-perwira hebat seperti Benny Moerdani atau Luhut Panjaitan. Perwira cerdas ibarat bunga teratai, yang tetap terlihat indah, meski tumbuh di air atau lingkungan yang kurang jernih.
Penulis:
Aris Santoso (ap/yf), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Republik di Ujung Bedil Kolonialisme
Negara ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan. Menjelang akhir perang pun Indonesia bahkan masih menghadapi serbuan sekutu. Simak perjalanan panjang nusantara hingga merengkuh kedaulatannya.
Foto: public domain
Dari Portugis ke VOC
Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.
Foto: public domain
Pecah belah dan jajahlah
Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Foto: public domain
Pengorbanan darah dan nyawa
Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.
Foto: public domain
Bersatu melawan penjajahan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.
Foto: public domain
Dijajah saudara tua
Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Foto: Imago
Teks bersejarah bagi bangsa Indonesia
Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", diketik Sayuti Melik.
Foto: public domain
Proklamasi di Pegangsaan
Dengan didampingi Drs. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan di Jalan Pegangsaan Timur no 56. Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.
Foto: public domain
Sang Saka Merah Putih berkibar
Sesaat setelah teks proklamasi diumumkan, bendera Sang Saka Merah Putih pun di kibarkan di halaman Pegangsaan Timur 56. Bendera bersejarah ini dijahit oleh istri Bung Karno, Fatmawati Soekarno. Kini tiap tanggal 17 Agustus, bendera Merah Putih berkibar dan menjadi bagian dari peringatan detik-detik kemerdekaanj Indonesia.
Foto: public domain
Dari Sabang sampai Merauke
Perang terus berkobar. 10 November 1945 di Surabaya, rakyat melawan sekutu. Di penghujung tahun yang sama, sekutu menyerbu Medan. Hampir semua wilayah Sumatera, berperang melawan Jepang, sekutu dan Belanda. Mulai dari Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, para pejuang mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville
Peperangan terus berkobar di berbagai wilayah di tanah air. berbagai diplomasi digelar. Perjanjian Renville disepakati Januari 1948, di atas kapal Amerika, USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Indonesia diwakili PM. Amir Syarifuddin. Saat itu, dissetujui garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dengan wilayah pendudukan Belanda.
Foto: en.wikipedia.org/Indonesia/Public Domain
Penyerahan kedaulatan
Tak semua mematuhi perjanjian Renville. Perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut. Politik Indonesia terus bergejolak. usaha Belanda meredam kemerdekaan Indonesia dikecam masyarakat internasional. Akhirnya penyerahan kedaulatan Indonesia dtandatangani di Belanda, tanggal 27 Desember 1949. Tampak pada gambar, Ratu Belanda, Juliana tengah menandatangani dokumen tersebut.
Foto: public domain
Peta Hindia Belanda dan sekitarnya
Peta Pinkerton untuk Hindia Timur: Mencakup dari Burma selatan ke Jawa, dari Andaman ke Filipina & New Guinea. Peta ini mencatat kota-kota, rawa-rawa, pegunungan, dan sistem sungai. Digambar oleh L. Herbert dan digravir oleh Samuel Neele di bawah arahan John Pinkerton. Sumber gambar: Pinkerton’s Modern Atlas, yang diterbitkan oleh Thomas Dobson & Co di Philadelphia pada tahun 1818.
Foto: public domain
Mencari makna kemerdekaan
Kini lebih dari 70 tahun merdeka, Indonesia memasuki tantangan baru: Memerdekaan diri dari berbagai belenggu penjajahan atas hak asasi manusia,pola pikir dan berekspresi serta memperjuangkan demokrasi.