MERS Terus Menyebar Tanpa Pengobatan
6 Mei 2014Penyakit dimulai dengan gejala menyerupai flu yang dapat berkembang menjadi infeksi paru-paru atau bahkan gagal ginjal.
"Tingkat kematiannya sekitar 30 atau 40 persen," kata Gregory Härtl, jurubicara Badan Kesehatan Dunia (WHO). "Selama kita tidak mengetahui bagaimana perilaku virus dan cara mengontrolnya, virus ini tetap membahayakan."
Virus MERS (Middle East Respiratory Syndrome) termasuk dalam kelompok koronavirus yang juga mencakup virus SARS yang mewabah satu dekade lalu.
Pengobatan?
Belum ada terapi yang khusus menangani virus ini, belum ada pengobatan maupun vaksin. Hanya gejalanya saja yang bisa diobati.
Para pakar sepakat bahwa cara pencegahan termanjur adalah higienitas yang baik, karena virus ini menyebar melalui udara, seperti melalui bersin atau batuk seorang penderita. Virus ini juga dapat bertahan hidup pada permukaan objek untuk beberapa lama.
Meski kalangan periset belum sepenuhnya yakin, mereka menduga Camelus dromedarius - yang biasa disebut unta Arab - sebagai sumber infeksi. Mayoritas spesies ini ditemukan memiliki antibodi melawan MERS-CoV serta virus itu sendiri. Meski tes pada unta Arab cenderung memberi hasil positif, hewan ini tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Alasannya masih menjadi satu dari banyak pertanyaan yang belum mempunyai jawaban yang jelas.
Ilmuwan juga belum dapat menjelaskan apakah penyebaran virus hanya dari hewan ke manusia atau produk-produk hewani tertentu juga bertanggung jawab dalam penyebaran penyakit. Pemerintah Arab Saudi akhir April 2014 mengeluarkan rekomendasi kepada warga untuk tidak makan daging unta dan minum susu unta.
Manusia ke manusia?
Sementara virus ini semakin menjangkiti banyak pekerja medis, termasuk dokter dan suster. WHO melaporkan bahwa 60 dari 100 kasus sekunder - ditularkan dari manusia ke manusia - terjadi di antara pekerja medis atau anggota keluarga pasien.
Di Eropa juga sudah ditemukan sejumlah kasus. Udo Buchholz dari Institut Robert Koch mengatakan kasus di Eropa melibatkan individu yang terinfeksi ketika berada di Arab Saudi sebelum kembali ke Eropa.
Bagi pakar epidemiologi, mengetahui apakah seorang pasien MERS dapat menularkan ke orang lain, yang kemudian bisa menularkannya lagi, menjadi faktor penting.
"Fakta bahwa infeksi sekunder sangat jarang terjadi, ini cukup menenangkan. Tapi semuanya tetap perlu diamati lebih jauh," tutur Buchholz.