Mesir Tangkap Jurnalis yang Beritakan Kekerasan Polisi
5 Oktober 2020
Jurnalis Basma Mostafa yang beritakan dugaan pembunuhan seorang pria oleh polisi, dilaporkan hadapi tuduhan sebarkan berita palsu. Dalam beberapa tahun terakhir, Mesir menindak independensi media dan perbedaan pendapat.
Iklan
Otoritas Mesir menahan seorang jurnalis lokal, diduga karena memberitakan peristiwa tentang seorang pria yang terbunuh dalam penggerebekan polisi.
Basma Mostafa tiba di kota selatan Luxor pada hari Sabtu (03/10). Namun, dia segera kehilangan kontak dengan al-Manassa, kantor berita tempat dia bekerja. Dalam sebuah laporan, atasannya meyakini bahwa Mostafa sedang diawasi oleh polisi.
Kantor berita al-Manassa pun dilarang beroperasi di Mesir, dan situs webnya diblokir.
Ditahan di Kairo
Mostafa, seorang ibu berusia 30 tahun dengan dua orang anak, tengah mengerjakan sebuah berita tentang bentrokan yang terjadi setelah dugaan pembunuhan terhadap seorang pria warga setempat oleh pihak kepolisian.
Al-Manassa kemudian mengonfirmasi bahwa Mostafa telah diinterogasi oleh jaksa penuntut, yang telah memerintahkan untuk menahan Mostafa selama 15 hari. Suami Mostafa, pengacara Karim Abdel-Rady, mengatakan istrinya muncul pada Minggu (04/10) di markas besar penuntutan keamanan negara Mesir di Kairo.
Dilansir kantor berita AP, Abdel-Rady dan kuasa hukum lain yang menghadiri persidangan mengatakan Mostafa menghadapi tuduhan menyebarkan berita palsu dan bergabung dengan kelompok teroris. Ini merujuk pada kelompok Ikhwanul Muslimin yang dilarang pemerintah Mesir sejak 2013.
Tindakan keras terhadap media
Penangkapan Mostafa adalah tindakan terbaru dari serangkaian pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintah terhadap media independen. Pemerintah Presiden Abdel Fattah el-Sissi telah memenjarakan puluhan jurnalis, dan mengusir koresponden dari beberapa negara seperti Inggris, Turki, dan China, menurut Komite Perlindungan Jurnalis.
Kantor Al-Manassa sendiri telah digerebek pada bulan Juni tahun ini, dan editornya sempat ditangkap dengan tuduhan beroperasi tanpa izin.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim
Benarkah radikalisme agama ikut mengancam kebebasan pers? Berikut peringkat negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional versi Reporters Sans Frontières.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekuasaan Musuh Kebebasan
Kekhawatiran bahwa gerakan radikal Islam membatasi kebebasan pers hampir sulit dibuktikan. Kebanyakan penindasan yang terjadi terhadap awak media di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dilakukan oleh pemerintah, bukan ormas atau masyarakat, kecuali di kawasan konflik seperti Irak, Suriah atau Libya. Berikut peringkat kebebasan pers sejumlah negara muslim terbesar.
Foto: picture-alliance/ZB/J. Büttner
#120 Afghanistan
Wartawan di Afghanistan memiliki banyak musuh, selain Taliban yang gemar membidik awak media sebagai sasaran serangan, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga sering dilaporkan menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis, tulis RSF. Namun begitu posisi Afghanistan tetap lebih baik ketimbang banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain.
Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini
#124 Indonesia
Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan dilaporkan terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Terutama kelompok radikal seperti FPI dan GNPF-MUI tercatat terlibat dalam aksi pemukulan atau penangkapan terhadap awak media. Namun begitu kaum radikal bukan dianggap ancaman terbesar kebebasan pers di Indonesia, melainkan militer dan polisi yang aktif mengawasi pemberitaan di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kurniawan
#139 Pakistan
Wartawan di Pakistan termasuk yang paling bebas di Asia, tapi kerap menjadi sasaran serangan kelompok radikal, organisasi Islam dan dinas intelijen, tulis Reporters sans frontières. Sejak 1990 sudah sebanyak 2,297 awak media yang tewas. April silam, Mashal Khan, seorang wartawan mahasiswa tewas dianiaya rekan sekampus lantaran dianggap menistakan agama.
Foto: Getty Images/AFP/F. Naeem
#144 Malaysia
Undang-undang Percetakan dan Penerbitan Malaysia memaksa media mengajukan perpanjangan izin terbit setiap tahun kepada pemerintah. Regulasi tersebut digunakan oleh pemerintahan Najib Razak untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah dan aktif melaporkan kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Selain itu UU Anti Penghasutan juga dianggap ancaman karena sering disalahgunakan.
Foto: Getty Images/R. Roslan
#155 Turki
Perang melawan media independen yang dilancarkan Presiden Recep Tayyip Erdogan pasca kudeta yang gagal 2016 silam menempatkan 231 wartawan di balik jeruji besi. Sejak itu sebanyak 16 stasiun televisi, 23 stasiun radio, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit dipaksa tutup.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
#161 Mesir
Enam tahun setelah Revolusi Januari, situasi kebebasan pers di Mesir memasuki masa-masa paling gelap. Setidaknya sepuluh jurnalis terbunuh sejak 2011 tanpa penyelidikan profesional oleh kepolisian. Saat ini paling sedikit 26 wartawan dan awak media ditahan di penjara. Jendral Sisi terutama memburu wartawan yang dicurigai mendukung atau bersimpati terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin.
Foto: Reuters/A.A.Dalsh
#165 Iran
Adalah hal ironis bahwa kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan revolusi yang menanggalkan kekuasaan Shah Iran pada 1979. Namun janji itu hingga kini tidak ditepati. Iran masih menjadi kuburan dan penjara terbesar bagi awak media, tulis Reporters Sans Frontières. Saat ini tercatat 29 wartawan dipenjara dan belasan media independen diberangus oleh pemerintah.
Foto: MEHR
#168 Arab Saudi
Berada di peringkat 168 dari 180 negara, Arab Saudi nyaris tidak mengenal pers bebas. Internet adalah satu-satunya ranah media yang masih menikmati sejumput kebebasan. Namun ancaman pidana tetap mengintai blogger yang nekat menyuarakan kritiknya, seperti kasus yang menimpa Raif Badawi. Ia dihukum 10 tahun penjara dan 10.000 pecutan lantaran dianggap melecehkan Islam. (rzn/yf - sumber: RSF)