Presiden Joko Widodo tetap melanjutkan tur Asia-nya sesuai jadwal dengan perjalanan ke Afghanistan pada hari Senin (29/01/18), meskipun ada serangan teror baru-baru ini yang menewaskan sedikitnya 103 orang.
Iklan
Presiden Joko Widodo tiba di bandar udara internasional Hamid Karzai, di Kabul, hari Senin (29/01/18). Akhir pekan lalu sebuah bom meledak di ibukota Afghanistan itu. Ini merupakan kunjungan kepresidenan pertama setelah terakhir Presiden Soekarno mengunjungi negara yang dililit konflik ini pada tahun 1961. Kabul, yang dalam beberapa hari terakhir diguncang tiga serangan teror, termasuk yang terjadi Sabtu (27/01/18) pekan lalu dan Senin (29/01/18) pagi tadi.
Dikutip dari Detik.com, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, pengamanan untuk Jokowi di Afghanistan sudah sangat maksimal, baik dari Paspampres maupun pihak keamanan Afghanistan: "Paspampres masih saya terima dari Dan (Komandan) Paspampres dari pihak Afghanistan sendiri sudah sangat-sangat maksimal dengan mekanisme pengamanan." Ditambahkannya: lawatan ke Kabul, Afghanistan, tersebut memang merupakan keinginan keras Jokowi. Meski diakui Pratikno situasi keamanan di sana sedang tidak kondusif.
Pada hari Sabtu (27/01/18), sebuah bom di sebuah ambulans meledak di Kabul, menewaskan sedikitnya 103 orang dan melukai lebih dari 200 orang lainnya. Ledakan itu terjadi di kawasan sibuk yang merupakan lokasi beberapa organisasi penting, termasuk kantor Uni Eropa. Kuatnya ledakan menghancurkan puluhan bangunan dan kendaraan di dekatnya.
Pemerintah menuding jaringan Haqqani yang berafiliasi dengan Taliban sebagi otak di balik peledakan ini, dimana pejabat Afghanistan dan Barat mencurigai kelompok itu terlibat dalam setidaknya beberapa serangan terakhir di ibukota tersebut.
Serangan tersebut terjadi seminggu setelah gerilyawan Taliban menyerbu Hotel Intercontinental di Kabul dan menewaskan setidaknya 25 orang, yang sebagian besar adalah warga asing.
10 Negara Paling Berbahaya di Dunia
Tiap tahun Institut Ekonomi dan Perdamaian (IEP) publikasi Global Peace Index. Peringkat dibuat berdasarkan 22 indikator, antara lain konflik ekstern dan intern serta korban tewas. Semakin tinggi skor, semakin berbahaya.
Foto: Zac Baillie/AFP/Getty Images
10. Korea Utara (skor GPI: 2.977)
Setelah merdeka dari Jepang, Korea terbagi dua. Korea Utara dipimpin keluarga Kim. Merekalah pemimpin struktur pemerintahan. Militerisasi besar-besaran menjadikan ekonomi negara lemah. Warga tidak punya properti, sehingga menyulut korupsi. Warga tidak punya hak bicara. Pemerintah bisa tangkap dan tahan orang tanpa alasan. Eksekusi dan kelaparan jadi penyebab peringkat rendah negara dalam GPI.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Chol Jin
9. Pakistan (skor GPI: 3.049)
Sejak kemerdekaan tahun 1947, Pakistan sudah berperang tiga kali dengan India. Ini melemahkan ekonominya. Situasi politik yang tidak stabil dan kekuasaan militer membuat situasi tambah buruk. Pakistan kerap digunakan teroris sebagai basis.
Foto: Reuters
8. Republik Demokrasi Kongo (skor GPI: 3.085)
Setelah digulingkannya rezim otoriter di negara itu, tepatnya sejak 1997 negara selalu dilanda perang saudara. Lebih dari 5,5 juta orang tewas akibat perang atau situasi yang diakibatkan perang. Pengungsian besar-besaran sebabkan penyebaran penyakit berbahaya seperti malaria. Di samping itu kurang gizi menyebar luas.
Foto: Reuters/N'Kengo
7. Sudan (skor GPI: 3.295)
Sudan terpuruk karena kekerasan antar etnis yang tak kunjung henti. Dua perang saudara dan konflik antar suku memecah-belah negara, yang akhirnya menyebabkan pemisahan diri bagian selatan Sudan menjadi negara Sudan Selatan. Tingginya kemiskinan dan praktek perbudakan memperburuk kondisi negara. Foto: serangan terhadap Kedutaan Besar Jerman di Khartum, 2012.
Foto: AFP/Getty Images
6. Somalia (skor GPI: 3.307)
Somalia tidak punya pemerintahan definitif, dan jadi tempat ideal bagi tumbuhnya kelompok radikal. Somalia dilanda perang saudara sejak 1991. Perang menyebabkan negara dilanda kemiskinan dan intervensi internasional memicu situasi tambah buruk. Foto: seorang tentara berpatroli di pantai Lido setelah serangan terhadap restoran Beach View Cafe, di Mogadishu, 22 Jan 2016.
Foto: Reuters/F. Omar
5. Republik Afrika Tengah (skor GPI: 3.332)
Negara ini merdeka dari Perancis 1960, setelahnya dikuasai rezim militer. Pemilu pertama diadakan 1993, tapi gagal menciptakan stabililitas. Pemerintah, kelompok Kristen dan Islam adu kuat memperebutkan kekuasaan. Foto: seorang tentara PBB berpatroli dekat mesjid Koudoukou di Bangui sebelum kedatangan Paus Fransiskus, 30 November 2015.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Medichini
4. Sudan Selatan (skor GPI. 3.383)
Negara terbentuk 2011 setelah memisahkan diri dari Sudan. Sejak itu negara baru ini terus dilanda perang saudara dan perang antar suku yang berebut kekuasaan. Konflik sebabkan tewasnya ratusan ribu orang, mungkin jutaan. Selain kekerasan etnis, kondisi kesehatan sangat buruk. Foto: seorang pengungsi Sudan Selatan membawa harta miliknya di Joda, setelah lari dari daerah perang Januaryi2014.
Foto: Reuters
3. Afghanistan (skor GPI: 3.427)
Negara ini selama beberapa dekade diduduki kekuatan asing . Setelah serangan teror 11 September di New York, AS menggulingkan kekuasaan Taliban di negara itu. Sejak 2001 tentara AS bercokol di negara itu. Akibat perang yang tak kunjung henti, infrastruktur negara rusak berat. Foto: polisi Afghanistan menjaga lokasi tempat terjadinya serangan bom di Kabul, 19 Mei 2015.
Foto: Reuters/M. Ismail
2. Irak (skor GPI: 3.444)
Setelah penggulingan Saddam Hussein 2003, Irak tidak pernah tenang. Sekarang Irak harus hadapi kelompok teroris ISIS (Islamic State) yang memperluas kekuasaan di wilayahnya dan di Suriah. ISIS sekarang berhasil bercokol di Mosul, Tikrit, Falluja dan menguasai sejumlah ladang minyak. Foto: aparat keamanan Irak memeriksa lokasi terjadinya ledakan bom mobil di New Baghdad 11 Januari 2016.
Foto: Reuters/Stringer
1. Suriah (skor GPI: 3.645)
Suriah jadi negara paling tidak aman sedunia. Perang saudara berkecamuk antara kelompok pemberontak lawan rezim Bashar al Assad. Untuk atasi konflik, pemerintah gunakan cara brutal dan senjata kimia. Situasi politik ini disalahgunakan, antara lain oleh ISIS. Ratusan ribu orang tewas sejauh ini. Foto: warga beri pertolongan setelah serangan bom oleh tentara pemerintah di Aleppo, 20 November 2015.
Sebelumnya, Jokowi kunjungi kamp pengungsi Rohingya
Sebelum ke Kabul, Presiden Joko Widodo menyambangi Bangladesh. Di sana, ia menghimbau solusi damai dan cepat bagi penanganan pengungsi Rohingya, yang mengalami krisis membentang antara Bangladesh dan Myanmar.
Joko Widodo, yang tiba di Dhaka pada hari Sabtu, terbang ke tenggara distrik Cox's Bazar pada hari Minggu (28/01) dini hari, demikian menurut Khaleda Begum, juru bicara kementerian luar negeri Bangladesh.DI tenggara Bangladesh, Joko Widodo berkunjung ke kamp-kamp pengungsi, di mana ratusan ribu Muslim Rohingya tinggal di tenda darurat setelah melarikan diri dari tindakan militer Myanmar.
Kantor berita Sangbad Sangstha melaporkan pemimpin Indonesia itumeyakinkan Bangladesh atas bantuan negaranya dalam mengatasi penderitaan pengungsi dan mengembalikan mereka ke Myanmar."Bangladesh telah memberi contoh tindakan kemanusiaan dengan melindungi sejumlah besar pengungsi Rohingya, "kata Widodo kepada wartawan selama kunjungannya.
Penampungan Khusus Bagi Janda dan Anak Rohingya di Bangladesh
Sejak Agustus lalu, sekitar 600 ribu warga Rohingya mengungsi dari kekerasan di Myanmar ke Bangladesh. Badan Pengungsi PBB UNHCR mendirikan penampungan khusus bagi pengungsi janda dan anak Rohingya.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Wajah derita pengungsi
Inilah Roshid Jan. Salah satu perempuan Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dengan lima anaknya. Setelah militer Myanmar membakar desanya, mereka menempuh perjalanan selama sepuluh hari untuk mencapai perbatasan. Sekarang mereka ditampung di Cox's Bazar, di sebuah penampungan khusus bagi janda dan anak.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Suaminya ditahan entah di mana
Roshid Jan tidak tahu suaminya ada di mana. Suaminya adalah pemimpin agama di desa Phansi, dekat negara bagian Rakhine di Myanmar. Militer di tempat itu menuduh suami Rosyid Jan sebagai anggota kelompok militan sehingga ia pun ditahan sebelas bulan lalu. Sejak itu Roshid Jan tidak pernah melihat suaminya lagi.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Penampungan Janda
Tempat penampungan Balukhali berada di kota perbatasan Cox's Bazar. Tempat ini memang khusus dibuat untuk menampung para janda dan anak Rohingya. Badan Pengungsi PBB UNHCR dan organisasi lain menyumbang tenda. Sekitar 230 perempuan dan anak-anak sekarang ditampung di sini. Mereka menyebut tempat ini "Penampungan Janda".
Foto: Reuters/D. Sagolj
Saling memberi semangat
Di tempat penampungan ada dapur bersama. Para perempuan bisa bertemu, saling berkenalan dan memasak bersama-sama. Kontak sosial ini penting. Mereka bisa saling memberi semangat dan mengelola pengalaman buruk dan trauma kekerasan yang mereka alami. Makanan dan minuman di penampungan ini merupakan sumbangan dari lembaga-lembaga bantuan internasional.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Momen menyenangkan
Memasak bersama anak-anak. Ibu dan anak ini kelihatan menikmati momen yang menyenangkan di tempat penampungan. Mereka sekarang bebas dari rasa takut, sekalipun tempat tinggalnya hanya sementara dan masa depan mereka masih belum jelas.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Korban sindikat perdagangan manusia
Tidak semua perempuan bisa diterima di penampungan ini. Karena penampungan ini disediakan bagi mereka yang membutuhkan perlindungan khusus. Kebanyakan perempuan dan anak-anak yang ada di sini adalah korban eksploitasi seksual. Reporter DW Arafatul Islam mengunjungi penampungan pengungsi di Cox's Bazar ini dan berbicara dengan para korban dan wakil-wakil lembaga bantuan.
Foto: DW/Arafatul Islam
Penampungan bagi warga Rohingya
Myanmar dan Bangladesh telah mencapai kesepakatan mengenai pemulangan para pengungsi ke Myanmar. Namun kapan hal itu dilaksanakan masih belum jelas. Uni Eropa akan membantu para pengungsi yang memang ingin pulang, sehingga mereka bisa hidup layak, kata pejabat urusan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini. (Foto dan teks: Arafatul Islam/hp/ts)
Bangladesh dan Myanmar pada bulan November menandatangani sebuah kesepakatan untuk memulai repatriasi pengungsi Rohingya pada 23 Januari, namun prosesnya terhenti setelah Bangladesh mengatakan bahwa persiapannya tidak lengkap. Belum ada tanggal baru yang ditetapkan untuk memulai repatriasi.
Diperkirakan 688.000 Muslim Rohingya menyeberang ke Bangladesh setelah Tentara Myanmar melancarkan serangan terhadap gerilyawan Muslim, yang dipersalahkan karena melakukan serangan terhadap pos keamanan di negara bagian Rakhine.
Para pengungsi sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan termasuk tempat penampungan, air bersih dan sanitasi, demikian menurut Organisasi Migrasi International IOM.
Widodo mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Sheikh Hasina dan malakukan penandatanganan lima kesepakatan antara Bangladesh dan Indonesia untuk tingkatkankerjasama ekonomi kedua negara.
ap/yf(jakartapost/detik/dpa/afp)
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)