1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

14 ABK WNI Akan Dipulangkan, Investigasi Tetap Berlanjut

Prihardani Ganda Tuah Purba
7 Mei 2020

Kepulangan 14 awak kapal Indonesia yang hari ini menjalani karantina terakhir di Busan tengah dipersiapkan. Investigasi oleh otoritas Korea Selatan terhadap dugaan eksploitasi yang mereka adukan juga terus dilanjutkan.

Foto nelayan di atas kapal
Foto ilustrasiFoto: Getty Images/AFP/A. Berry

Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan (Korsel) Umar Hadi memastikan bahwa gugatan dari 14 awak kapal asal Indonesia atas dugaan tindakan tidak manusiawi dan eksploitasi yang mereka alami saat bekerja di atas kapal berbendera RRT yang beberapa hari lalu bersandar di Pelabuhan Busan akan ditindaklanjuti.

Ia menyampaikan bahwa aparat hukum Korsel, baik kepolisian dan coast guard, tengah menginvestigasi klaim dari 14 awak kapal tersebut, termasuk penyelidikan perihal pelarungan tiga jenazah rekan mereka di tengah laut.

"Kapten kapal bersangkutan ketika bersandar di Pelabuhan harus melapor pada syahbandar, sama port authority, ada syarat-syaratnya, persetujuan keluarga, persetujuan pemilik kapal dan sebagainya. Itu yang sekarang sedang dicek oleh kepolisian, oleh coast guard, apakah prosedur itu sudah dipenuhi atau belum,” kata Umar Hadi saat dihubungi DW, Kamis (07/05).

Hadi yakin bahwa tidak hanya 14 awak kapal Indonesia saja yang dimintai keterangan, tapi pemilik kapal dan perusahaan serta agen yang melakukan perekrutan tenaga kerja untuk kapal tersebut juga akan dimintai keterangan. "Akan makan waktu prosesnya,” jelas Hadi.

Meski begitu, Hadi menerangkan bahwa kepulangan 14 anak kapal ini ke Indonesia tengah dikoordinasikan pemerintah. Menurutnya, hari ini adalah hari terakhir periode karantina pencegahan COVID-19 yang telah mereka jalankan sejak tiba di Pelabuhan Busan. "Mulai besok sudah bisa kita pulangkan,” ujar Hadi.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Hadi menjelaskan bahwa ada 15 awak kapal asal Indonesia yang sebenarnya diturunkan dari Kapal Tian Yu 8 berbendera RRT yang beberapa hari lalu bersandar di Pelabuhan Busan. Mereka ini menurutnya dipindahkan di tengah laut dari kapal lain bernama Long Xin 629. Tidak dijelaskan secara rinci apa alasan pemindahan 15 awak kapal ini. Namun, youtuber Jang Hansol dalam kanal youtube Korean Reomit miliknya menyebutkan, pemindahan awak kapal tersebut dilakukan untuk menghindari masalah akibat aktivitas ilegal penangkapan hiu yang dilakukan kapal. 

"Karena di dalam kapal banyak sekali sirip atau bagian-bagian dari hiu, jadi kalau misalnya mereka berhenti di sebuah daratan, mereka bisa kena masalah,” kata Hansol saat mengulas video berita dari MBC, stasiun televisi Korea Selatan yang mengangkat kisah anak kapal Indonesia itu.

Dari 15 awak kapal tersebut, satu di antaranya dilaporkan sakit, dan meski sudah dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani perawatan, awak kapal tersebut meninggal dunia 29 April 2020 lalu, kata Dubes Umar Hadi. Merujuk pada keterangan resmi Kementerian Luar Negeri RI, Kamis (07/05), satu awak kapal berinisial E dilaporkan meninggal dunia di Rumah Sakit Busan karena gejala pneumonia.

14 anak kapal yang lain kemudian menyampaikan keluhan dan gugatan atas perlakuan terhadap mereka di atas kapal. Kisah ini kemudian diangkat stasiun televisi MBC, lalu diulas oleh youtuber Jang Hansol, dan pada akhirnya menjadi viral di media sosial Indonesia. 

Beberapa kesaksian awak kapal yang diulas Hansol menyebutkan bahwa kontrak kerja mereka bagaikan "kontrak kerja perbudakan”. Beberapa hal yang disebutkan antara lain jam kerja hingga 18 jam, minum air hasil filtrasi air laut karena tidak diberikan air mineral, dan gaji bulanan sebesar 100 ribu rupiah saja.

Awak kapal meninggal karena penyakit menular?

Pelarungan jenazah di tengah laut yang diperlihatkan dalam berita stasiun TV MBC lalu menjadi sorotan di Indonesia. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (RI) menyatakan bahwa pelarungan jenazah dilakukan pada tiga awak kapal WNI, yaitu pada Desember 2019 dan Maret 2020, di kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604, saat berlayar di Samudera Pasifik. 

Menurut rilis resmi Kemenlu RI itu, kapten kapal telah menjelaskan bahwa keputusan melarung jenazah dilakukan karena kematian awak kapal disebabkan oleh penyakit menular, dan sudah berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.

"Kemlu RRT menerangkan bahwa pelarungan telah dilakukan sesuai praktek kelautan internasional untuk menjaga kesehatan para awak kapal lainnya,” tulis keterangan Kemenlu RI di laman resminya, Kamis (07/05), terkait perkembangan ABK Indonesia yang saat ini berada di Korsel. Meski begitu, "guna meminta penjelasan tambahan mengenai alasan pelarungan jenazah dan perlakuan yang diterima ABK WNI lainnya, Kemlu akan memanggil Duta Besar RRT”, tulis keterangan Kemlu RI tersebut.

Kemenlu RI: "Pelarungan jenazah karena ada penyakit menular"Foto: MoFA Indonesia

Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan RI, Capt. Sudiono melalui keterangan tertulis juga menjelaskan bahwa penanganan ABK yang meninggal dunia saat berlayar sudah diatur dalam ILO Seaferer's Service Regulation, Circular letter International Maritime Organization (IMO), yang merupakan ketentuan internasional maupun nasional. Ketentuan itu menyebutkan bahwa salah satu penanganan jenazah dilakukan dengan melarungkan ke laut.

Selain dilarung ke laut, menurutnya jenazah juga dapat disimpan di dalam mesin pendingin sampai tiba di pelabuhan berikutnya, jika berpotensi menyebarkan penyakit berbahaya bagi ABK lain. Jika tidak memiliki mesin pendingin, jenazah dapat dikremasi dan abunya diberikan kepada pihak keluarga.

Namun dalam kesaksian para awak kapal , tidak disebutkan adanya penyakit menular. Terlebih, berita MBC yang diulas Hansol juga mengungkap bahwa awak kapal telah menandatangani surat pernyataan yang menyebutkan bahwa "bila terjadi musibah sampai meninggal maka jenazah akan dikremasikan di tempat di mana kapal menyandar, dengan catatan abu jenazah akan dipulangkan ke Indonesia.”

"Praktek perbudakan modern terburuk”

Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo mengatakan bahwa apa yang dialami oleh awak kapal asal Indonesia ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. 

"Mereka terenggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapatkan hak atas informasi, hingga hak yang paling dasar yaitu hak atas hidup pun terenggut,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (07/05).

Menurutnya, kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan memang bukan hal baru. Hal ini dipicu oleh tidak adanya instrumen perlindungan yang memadai. "Meskipun UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Perlindungan Pekerja Migran di Sektor Kelautan dan Perikanan, hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit”.

Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 juga menempatkan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan, sebagai praktek perbudakan modern terburuk. gtp/hp (dari berbagai sumber).