1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mewujudkan Impian Menjadi Penulis di Indonesia dari Jerman

30 Agustus 2019

Beberapa bulan berlalu, saya menerima dua balasan email dari penerbit yang berisi penolakan. Jujur, itu sedikit mematahkan semangat saya. Oleh Ivanasha.

Ivanasha  Bücher schreiben und veröffentlichen
Foto: privat

Sejak kecil saya bercita-cita untuk menjadi seorang penulis. Bahkan ketika teman-teman seusia saya dulu ditanya ingin menjadi apa, jawaban paling sering mereka berikan adalah ingin menjadi seorang dokter. Sementara saya selalu kukuh dengan jawaban: ingin menjadi seorang penulis. Sebelum memasuki Sekolah Dasar, hobi saya memang menulis di sebuah catatan kecil. Di setiap lembar saya menuliskan satu cerpen. Dengan cerita-cerita sederhana, saya penuhi lembar demi lembar dalam catatan kecil itu dengan imajinasi saya tentang pangeran dan putri yang cantik.

Foto: privat

Hobi menulis itu berlanjut hingga saya remaja dan dewasa. Namun, bukan lagi cerpen yang sering saya tuliskan, melainkan puisi. Saya ingat, sejak usia 12 tahun, ketika pertama kali saya mendapat pelajaran puisi dari guru Bahasa Indonesia, saya jatuh cinta dengan puisi. Saya merasa, menuliskan puisi lebih memuaskan saya daripada menuliskan cerpen atau cerita-cerita seperti yang gemar saya lakukan sewaktu kecil. Hingga akhirnya ketika saya SMA, saya banyak menuliskan puisi-puisi singkat saya di aplikasi sosial media Twitter.

Kecintaan saya menuliskan puisi pun masih saya lakukan hingga saya tiba di Jerman, tempat saya meneruskan mimpi saya yang lain, yakni menjadi lulusan sarjana di negara makmur ini. Kadang kala, di tengah-tengah pelajaran yang diisi dengan bahasa Jerman, saya mengeluarkan buku kecil saya untuk menuliskan sepenggal puisi yang terlintas di kepala saya dalam Bahasa Indonesia.

Sebetulnya, saya pernah mencoba beberapa kali untuk menulis puisi dalam bahasa Jerman, namun sayang, saya tidak mendapat "rasa” yang cukup dalam ketika menuliskannya dalam bahasa selain bahasa ibu saya sendiri. Barangkali ini pula yang memicu saya untuk mempelajari Bahasa Indonesia lebih dalam lagi. Yang ada di dalam pikiran saya waktu itu adalah: bagaimana bisa saya mempelajari bahasa lain, jika bahasa sendiri pun saya masih banyak salahnya?

Foto: privat

Sejak tinggal di Jerman dan menggunakan bahasa Jerman di keseharian, saya pun menyadari untuk lebih mencintai bahasa ibu saya sendiri. Maka dari itu, menuliskan puisi di catatan kecil atau di sosial media telah menjadi sarana saya untuk tidak melupakan aturan yang benar dalam berbahasa Indonesia. Sebab semakin jauh saya berada dari tanah air saya sendiri, semakin pula saya sadar bahwa saya sangat mencintai apa pun yang berasal dari identitas saya yang sesungguhnya. Salah satunya adalah Bahasa Indonesia.

Karena kecintaan saya terhadap puisi dan Bahasa Indonesia, saya mengingat lagi cita-cita saya sejak kecil: menjadi seorang penulis. Maka saya mengumpulkan semua puisi yang pernah saya tulis dan menjadikannya sebuah naskah. Rencananya, saya ingin menerbitkan naskah buku puisi yang sudah selesai itu secara independen. Namun di titik itu saya menyadari, apakah tidak sebaiknya saya mencoba mengirimkan naskah itu ke penerbit besar?

Tekad itu semakin bulat ketika naskah di laptop sudah rampung seutuhnya. Langkah yang saya ambil selanjutnya adalah melakukan riset di internet. Mencari-cari informasi tentang penerbit yang ada di Indonesia. Saya akui, sedikit lebih sulit bagi saya yang sedang tidak berada di Indonesia, namun tetap ingin menerbitkan buku untuk masuk ke toko buku di Indonesia. Tapi saya tidak menyerah. Saya percaya, saya akan lebih menyesal jika tidak berusaha dengan maksimal. Ini mimpi saya, dan ini adalah sesuatu yang harus saya kejar, tak peduli di mana pun saya berada.

Foto: privat

Setelah menemukan beberapa calon penerbit yang saya incar, saya kirimkan naskah saya melalui email. Masing-masing penerbit memiliki syarat dalam menerima naskah. Beberapa syaratnya adalah melampirkan naskah di badan email, menampilkan biodata penulis, membuat sinopsis naskah, dan sang penulis juga diharuskan untuk menjabarkan kelebihan apa yang ada di dalam naskah tersebut. Saya pun berhasil mengirimkan naskah saya ke enam penerbit yang saya kira cocok dengan naskah puisi saya. Memang saya tidak berharap besar untuk langsung diterima, tapi saya ingin sekali gambling di naskah perdana yang selesai saya tuliskan sendiri ini. Pikir saya, kalaupun tidak diterima, saya masih bisa menerbitkan naskah itu secara indie di kemudian hari.

Beberapa bulan berlalu. Saya menerima dua balasan email dari penerbit yang berisi penolakan. Jujur, itu sedikit mematahkan semangat saya. Saya pun sudah bersiap-siap untuk mencari percetakan saja, dan menerbitkan naskah saya secara indie. Namun siapa yang sangka, tepat 3 bulan setelah saya mengirimkan naskah, saya mendapat email dari salah satu editor di penerbit Mediakita yang menyatakan tertarik untuk menerbitkan naskah saya menjadi buku. Tuhan! Betapa bergejolak hati saya waktu itu. Bersyukur luar biasa dan bahagia tanpa mengada-ada. Akhirnya, naskah saya ada yang menerima!

Penerbit Mediakita tidak mempermasalahkan keberadaan saya yang jauh dari tanah air. Saya dan editor melangsungkan revisi naskah secara virtual. Semua diskusi kami lakukan melalui email dan Whatsapp. Mulai dari pembahasan mengenai isi buku, layout, hingga cover buku. Namun untuk pengurusan SPPB (Surat Perjanjian Penerbitan Buku), saya mengirimkan surat kuasa ke Indonesia. Dengan itu, saya menyerahkan kuasa ke Ibu saya untuk menandatangani SPPB tersebut.

Foto: privat

Setelah hampir satu tahun proses pengerjaan naskah, akhirnya buku saya yang berjudul "Hadiah Perasaan" bisa dipasarkan di toko buku seluruh Indonesia. Tidak ada kata yang bisa menyimpulkan seluruh perasaan saya saat itu, selain bersyukur. Sebab pada akhirnya saya sampai di titik ketika saya merasa salah satu mimpi saya akhirnya terpenuhi juga. Melihat buku yang saya tulis sendiri itu terletak di rak toko buku, bersisian dengan buku dari penulis-penulis kesukaan saya, adalah kebahagiaan yang tak terkira.

Di titik itulah saya percaya bahwa mimpi bisa terwujud asal kita terus berusaha dan melakukan yang terbaik untuk mencapainya. Tidak peduli halangan apa pun yang membuat seolah itu mustahil, jika kita melaluinya dengan upaya yang maksimal, kita akan memperoleh hasil yang terbaik. Bahwa hasil tidak pernah mengkhianati upaya, adalah benar dan itu telah saya rasakan sendiri di dalam hidup saya. Sebab sebaik-baiknya mimpi adalah mimpi yang kita wujudkan di dunia nyata, dengan mata terbuka.

*Ivanasha saat ini sedang studi Komparatistik di Ruhr-Universität, Bochum, Jerman

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.