1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

MIC, Indonesia, dan Masa Suram Penanggulangan HIV/AIDS

Zaky Yamani
Zaky Yamani
30 November 2018

Sulit bagi Moyong untuk optimistis melihat tahun-tahun ke depan, bagaimana penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berjalan. Mengapa demikian? Simak opini Zaky Yamani berikut ini.

Foto: Getty Images/J.Kriswanto

Direktur Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) itu sudah khawatir sejak bertahun-tahun lalu, ketika mendengar kabar bantuan luar negeri untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berkurang, dan mungkin akan sepenuhnya berhenti pada 2020.

Yakeba adalah satu dari sekian banyak organisasi masyarakat sipil yang aktif terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Moyong bercerita kepada saya, sudah banyak organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang gulung tikar atau setidaknya kesulitan beroperasi, karena mereka sudah tak lagi memiliki dana yang cukup untuk melakukan kegiatan.

Macetnya aktivitas organisasi masyarakat sipil berkaitan erat dengan macetnya program penanggulangan mulai dari wilayah preventif (pencegahan) sampai dengan kuratif (pengobatan).

Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Walau pemerintah adalah pihak yang dominan di wilayah kuratif itu, terutama dalam penyediaan layanan kesehatan dan distribusi obat, namun peran itu tidak akan berjalan tanpa aktivitas organisasi masyarakat sipil. Sebabnya, pengobatan pasien HIV/AIDS membutuhkan pendampingan, mulai dari mengajak mereka berobat, memastikan obat dikonsumsi sesuai dosis dan jadwal yang ditetapkan, sampai memastikan setiap pasien rutin menjalani pengobatan dan meminimalkan kasus pasien putus obat dan tak terpantau (disebut juga kasus Lost To Follow-Up/LFU).

Sejauh ini, di Indonesia dan di negara mana pun di dunia, semua aktivitas pendampingan itu hanya bisa dilakukan organisasi masyarakat sipil, karena negara tidak memiliki sumber daya untuk melakukan hal-hal itu. Apa lagi jika kita melihat aktivitas di wilayah preventif, yang sangat mengandalkan kerja organisasi masyarakat sipil, karena melalui mereka populasi kunci HIV/AIDS bisa dijangkau dan diajak terlibat dalam program kampanye pencegahan penularan HIV.

Indonesia memiliki masalah yang kompleks dengan HIV/AIDS

Diperkirakan, pada 2016, jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia sebanyak 640.443 orang. Namun yang sudah dilaporkan sampai Maret 2018 baru 291.129 orang.

Artinya, sebagian besar orang yang sudah terinfeksi HIV belum terdeteksi dan belum mendapatkan layanan kesehatan. Dari jumlah yang sudah terdeteksi, sebanyak 288.009 orang sudah mendaftar ke program perawatan. Namun yang pernah menjalani pengobatan hanya 225.483 orang. Yang masih menjalani pengobatan ARV (anti-retroviral) sampai Desember 2017 sebanyak 93.938 orang. Dan yang terdeteksi putus obat sebanyak 43.707 orang.

Persoalan-persoalan di atas terjadi akibat silang-sengkarut antara rendahnya komitmen pemerintah (terutama pemerintah daerah), minimnya anggaran, terbatasnya kemampuan aparat negara, minimnya kampanye pencegahan dan pengobatan, semakin berkurangnya kemampuan organisasi masyarakat sipil untuk terus aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS, masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), juga persekusi terhadap populasi-populasi kunci (terutama kepada gay, transgender, pekerja seks komersil, dan pengguna napza suntik).

Indonesia saat ini duduk di peringkat 14 di dunia dalam jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS, dan nomor 3 di Asia, setelah India dan Tiongkok. Dalam angka kematian akibat AIDS, Indonesia berada di posisi 62 di dunia dengan jumlah kematian 12,90 dari setiap 100.000 orang.

Dari mana dananya?

Untuk mengatasi rumitnya persoalan HIV/AIDS tersebut, sampai saat ini Indonesia masih mengandalkan bantuan luar negeri yang mencakup 57 persen dari total anggaran penanggulangan HIV/AIDS. Sementara Indonesia sendiri baru menunjukkan peningkatan kemampuan dalam penyediaan ARV melalui pendanaan dalam negeri dari 27 persen pada 2006 menjadi 43 persen pada 2012. Selebihnya—termasuk untuk program penjangkauan dan pendampingan—masih mengandalkan bantuan luar negeri.

Selama ini kebutuhan anggaran bersumber luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS tersebut dipenuhi oleh Global Fund, Departemen Luar Negeri Negara Australia, Dana Dukungan Amerika Serikat (USAID), Pemerintah Inggris, badan-badan PBB, dan organisasi-organisasi nonpemerintah internasional. Diperkirakan, sumber-sumber pendanaan luar negeri tersebut akan berkurang pada periode 2015-2019.

Pertanyaannya sekarang, di tengah persoalan rumit yang merentang dari masalah anggaran sampai penjangkauan dan pendampingan, kenapa bantuan luar negeri untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berkurang, bahkan mungkin hilang sama sekali setelah 2020?

Jawabannya sederhana

Karena Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara yang pendapatan per kapitanya menengah atau istilahnya Middle Income Country (MIC). Dengan masuknya Indonesia ke dalam kelompok MIC, maka negara ini akan dikurangi jatah bantuannya atau tidak dibantu sama sekali. Jika melihat contoh di Eropa Timur dan Asia Tengah, negara-negara di kawasan itu yang sudah masuk ke dalam kelompok MIC harus menanggung 60 persen sampai 100 persen biaya untuk pasien HIV/AIDS dan Tuberculosis (TB).

Siapa yang menetapkan sebuah negara masuk kategori MIC? Lembaga yang paling bertanggung jawab atas pengategorian itu adalah World Bank (Bank Dunia).

Pengategorian itu sudah jadi persoalan sejak pertama kali diberlakukan pada 1989, ketika World Bank menetapkan pengategorian negara-negara menjadi Low Income Countries, Middle Income Countries, dan High Income Countries berdasarkan Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Bruto (PNB). Banyak pengamat menilai GNI tidak bisa digunakan sebagai ukuran kemampuan nyata penduduk sebuah negara, karena yang dihitung adalah adalah total pendapatan warga negara domestik dan asing yang diklaim oleh penduduk, yang terdiri atas Produk Domestik Bruto (PDB) ditambah faktor pendapatan yang diterima oleh warga asing, dikurangi pendapatan yang diperoleh dalam ekonomi domestik oleh orang non-penduduk.

Dengan penghitungan seperti itu, akan banyak penduduk yang berpenghasilan di bawah GNI "hilang” dari pengamatan.

GNI—yang secara bertahap menggantikan Gross National Product (GNP)/Produk Nasional Bruto dalam perhitungan statistik internasional—mungkin berguna sebagai alat analisis ekonomi makro. Tapi ketika GNI dijadikan ukuran bagi hal lainnya, misalnya untuk mengkategorikan negara mana yang masih harus dibantu atau tidak, atau negara mana yang boleh membuat/menjual obat generik atau tidak, persoalan jadi merembet ke mana-mana, apalagi ketika batas terendah MIC adalah negara yang penduduknya berpendapatan 1045 dolar AS/tahun atau 2,86 dolar AS/hari.

Misalnya Indonesia, yang diketahui memiliki GNI sebesar 3.540 dolar AS atau sekitar Rp 53 juta/tahun. Jika dihitung rata-rata, penduduk Indonesia akan dilihat memiliki pendapatan rata-rata per hari 9,6 dolar AS atau Rp 147.416. Tentu saja Indonesia langsung masuk kategori MIC karena GNI-nya lebih dari tiga kali lipat batas terendah MIC. Tapi apakah benar semua orang Indonesia berpendapatan Rp 147.516/hari?

"Hilang” dari pengamatan

Kenyataannya, 9,82 persen orang Indonesia, atau sebanyak 25.578.000 jiwa, pendapatannya hanya Rp 401.220/bulan atau Rp 13.374/hari atau setara 0,87 dolar AS. Saya yakin jika ada penghitungan berapa jumlah warga Indonesia yang berpendapatan di bawah 2,86 dolar AS per hari, jumlahnya akan jauh lebih banyak lagi dari 25,5 juta jiwa. Merekalah yang saya sebut "hilang” dari pengamatan, dan kelompok warga inilah yang paling rentan mendapatkan masalah kesehatan, termasuk HIV/AIDS dan TB.

Dengan potret seperti itu, berbagai kalangan di seluruh dunia memprotes penetapan kategori MIC dengan 2,86 dolar AS per hari oleh World Bank. Pertama karena GNI tidak menunjukkan kenyataan kemampuan ekonomi warga yang sebenarnya. Kedua, kategori itu pula yang digunakan oleh lembaga-lembaga donor untuk menetapkan negara-negara mana yang masih bisa mendapat bantuan dan mana yang tidak. Ketiga, banyak pihak menduga kategori itu juga digunakan oleh perusahaan-perusahaan farmasi dunia melalui kerangka WTO untuk menetapkan harga obat dan boleh/tidaknya sebuah negara memproduksi/menjual obat-obat generik yang berharga murah.

Karenanya, pengategorian GNI 1.045 dolar AS/tahun atau 2,86 dolar AS/hari diprotes oleh banyak pihak, antara lain oleh koalisi 530 organisasi masyarakat sipil dari 45 negara, yang diinisiasi AIDS Healthcare Foundation (AHF) sejak 2015.

Dalam pertemuan tahunan World Bank-International Monetary Fund di Nusa Dua, Bali, pada 8-14 Oktober 2018, koalisi itu juga menyampaikan protes, melalui perwakilan AHF, namun nyaris tidak ditanggapi oleh World Bank.

Pemerintah Indonesia sendiri tidak mempertanyakan atau mengeluarkan pernyataan apa pun terkait MIC dan dampak-dampak yang bisa terjadi di tahun-tahun mendatang. Bahkan sebaliknya, upaya aksi protes terhadap Word Bank dan IMF di Bali telah lebih dulu diberangus aparat keamanan Indonesia. Padahal, aksi protes berupa demonstrasi biasanya terjadi di setiap aktivitas pertemuan World Bank  di berbagai negara di dunia, dan World Bank maupun IMF sendiri tidak menunjukkan penentangan terhadap aksi seperti itu.

Kembali lagi ke persoalan HIV/AIDS di Indonesia, potretnya dalam masa mendatang sepertinya akan suram. Pemerintah Indonesia sendiri belum menunjukkan komitmen yang kuat, dengan alasan anggaran yang tidak mencukupi.

Berdasarkan analisis kebutuhan anggaran penanggulangan HIV/AIDS yang tercantum di dalam Strategi Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2015-2019, Indonesia akan membutuhkan dana sebesar 184,7 juta dolar AS untuk tahun 2019 saja. Namun, negara ini hanya akan mampu membiayai 75,5 juta dolar AS saja. Artinya, kita masih kekurangan 109,1 juta dolar AS, yang entah akan diperoleh dari mana.

Sementara itu bantuan luar negeri akan terus dikurangi sampai berhenti sama sekali, tapi Indonesia tak terdengar menyatakan keberatan apa pun baik kepada World Bank, maupun kepada negara-negara kaya dan industri farmasi dunia. Mungkin, karena kita terlampau bangga untuk disebut sebagai negara kelas menengah baru, walau hal itu semata semu dan bisa mencelakai warganya sendiri.

Zaky Yamani, jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.