Sulit bagi Moyong untuk optimistis melihat tahun-tahun ke depan, bagaimana penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berjalan. Mengapa demikian? Simak opini Zaky Yamani berikut ini.
Iklan
Direktur Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) itu sudah khawatir sejak bertahun-tahun lalu, ketika mendengar kabar bantuan luar negeri untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berkurang, dan mungkin akan sepenuhnya berhenti pada 2020.
Yakeba adalah satu dari sekian banyak organisasi masyarakat sipil yang aktif terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Moyong bercerita kepada saya, sudah banyak organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang gulung tikar atau setidaknya kesulitan beroperasi, karena mereka sudah tak lagi memiliki dana yang cukup untuk melakukan kegiatan.
Macetnya aktivitas organisasi masyarakat sipil berkaitan erat dengan macetnya program penanggulangan mulai dari wilayah preventif (pencegahan) sampai dengan kuratif (pengobatan).
Walau pemerintah adalah pihak yang dominan di wilayah kuratif itu, terutama dalam penyediaan layanan kesehatan dan distribusi obat, namun peran itu tidak akan berjalan tanpa aktivitas organisasi masyarakat sipil. Sebabnya, pengobatan pasien HIV/AIDS membutuhkan pendampingan, mulai dari mengajak mereka berobat, memastikan obat dikonsumsi sesuai dosis dan jadwal yang ditetapkan, sampai memastikan setiap pasien rutin menjalani pengobatan dan meminimalkan kasus pasien putus obat dan tak terpantau (disebut juga kasus Lost To Follow-Up/LFU).
Sejauh ini, di Indonesia dan di negara mana pun di dunia, semua aktivitas pendampingan itu hanya bisa dilakukan organisasi masyarakat sipil, karena negara tidak memiliki sumber daya untuk melakukan hal-hal itu. Apa lagi jika kita melihat aktivitas di wilayah preventif, yang sangat mengandalkan kerja organisasi masyarakat sipil, karena melalui mereka populasi kunci HIV/AIDS bisa dijangkau dan diajak terlibat dalam program kampanye pencegahan penularan HIV.
HIV: 10 Fakta Virus Mematikan
HIV/AIDS mungkin tidak lagi terdengar mengerikan seperti 20 tahun lalu, namun setiap tahun ada sejuta orang lebih yang terinfeksi. Fakta apa saja yang perlu diketahui mengenai penyakit mematikan ini?
Foto: Fotolia/Sebastian Duda
Kehidupan Sehari-hari
Lebih dari 35 juta warga dunia positif HIV - sepertiga diantaranya hidup di Afrika Sub-Sahara. Di Afrika Selatan, negara yang paling parah terjangkit HIV, satu dari enam orang mengidap HIV. HIV bisa dibilang keseharian hidup di Afrika Selatan, sampai-sampai acara anak-anak 'Sesame Street' versi Afrika Selatan memiliki boneka kuning yang positif HIV, Kami.
Foto: picture-alliance/dpa
Lelaki Lebih Berbahaya
Pada hubungan seks antar heteroseksual, HIV lebih mudah ditularkan dari lelaki ke perempuan ketimbang perempuan ke laki-laki. Namun apabila seorang lelaki sudah disunat, risiko penularan ke perempuan berkurang hingga 60 persen.
Foto: imago/CHROMORANGE
Penyakit Seumur Hidup
HIV dan AIDS tidak dapat disembuhkan, meski dapat dikontrol. Obat-obatan antiretroviral mencegah virus berlipat ganda di dalam tubuh penderita. Terapi antiretroviral mencakup tiga atau lebih obat yang harus diminum pasien selama hidupnya. Perawatan semacam ini dapat mengurangi laju kematian dari HIV sebesar 80 persen.
Foto: picture alliance/dpa
Mengurangi Harapan Hidup
Penyebaran HIV setelah tahun 1990 menyebabkan tingkat harapan hidup di banyak negara turun secara dramatis - kebanyakan di Afrika. Lalu pengenalan obat-obatan antiretroviral kembali menaikkan harapan hidup: di Afrika Selatan, contohnya, rata-rata tingkat harapan hidup naik dari 54 tahun pada 2005 menjadi 60 pada tahun 2011.
Foto: AFP/Getty Images
Pengobatan Terbatas
Karena perusahaan farmasi memegang paten yang mencegah produksi obat versi generik, obat-obatan HIV tergolong mahal - sebuah terapi biayanya ribuan Dolar per bulan. Ini pun menghambat pengobatan pada skala besar di negara-negara Afrika, dan trennya berlanjut: Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan 19 juta pengidap HIV tidak mempunyai akses terhadap obat-obatan.
Foto: AP
Masih Tahap Uji Coba
Tidak ada vaksin yang 100 persen efektif melawan HIV, dan baru ada sedikit studi klinik untuk vaksinasi pada manusia. Satu vaksin yang diujicoba di Thailand hingga tahun 2009 tampak mengurangi risiko terinfeksi HIV hingga 31 persen.
Foto: AP
Terlalu Beragam
Satu faktor yang menyulitkan pengembangan vaksin adalah begitu cepatnya HIV bermutasi, termasuk di dalam tubuh pasien. Ada terlalu banyak variasi patogen HIV - meski hanya dua variasi yang menjadi penyebab utama melemahnya sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan sakit.
Foto: picture-alliance/dpa
Masa Inkubasi Lama
Butuh enam minggu bagi seseorang yang terjangkit untuk mengembangkan antibodi, dan tes HIV tidak efektif pada periode ini. Mereka yang terinfeksi juga mengalami yang disebut infeksi HIV awal, yang gejalanya mirip flu. Beberapa pekan setelah terinfeksi, sistem imunitas untuk pertama kalinya mulai bereaksi terhadap virus.
Foto: picture-alliance/dpa
Rentan Penyakit Lain
Campuran mematikan: HIV dan tuberkulosis. Orang yang positif HIV mengidap risiko 20 kali lebih besar untuk terjangkit bakteri penyebab tuberkulosis. Di Afrika, tuberkulosis adalah penyebab kematian nomor satu di antara penderita HIV.
Foto: Alexander Joe/AFP/Getty Images
Ramuan Tersendiri
Kebijakan Afrika Selatan untuk menangani HIV mengejutkan dunia untuk waktu yang cukup lama. Tahun 2008, menteri kesehatan di bawah pemerintahan Presiden Thabo Mbeki menganjurkan bawang putih, ubi bit merah dan minyak zaitun untuk mengobati infeksi. Obat-obatan antiretroviral ditolak. Untungnya masa-masa itu sudah berlalu.
Foto: Fotolia/Sebastian Duda
10 foto1 | 10
Indonesia memiliki masalah yang kompleks dengan HIV/AIDS
Diperkirakan, pada 2016, jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia sebanyak 640.443 orang. Namun yang sudah dilaporkan sampai Maret 2018 baru 291.129 orang.
Artinya, sebagian besar orang yang sudah terinfeksi HIV belum terdeteksi dan belum mendapatkan layanan kesehatan. Dari jumlah yang sudah terdeteksi, sebanyak 288.009 orang sudah mendaftar ke program perawatan. Namun yang pernah menjalani pengobatan hanya 225.483 orang. Yang masih menjalani pengobatan ARV (anti-retroviral) sampai Desember 2017 sebanyak 93.938 orang. Dan yang terdeteksi putus obat sebanyak 43.707 orang.
Persoalan-persoalan di atas terjadi akibat silang-sengkarut antara rendahnya komitmen pemerintah (terutama pemerintah daerah), minimnya anggaran, terbatasnya kemampuan aparat negara, minimnya kampanye pencegahan dan pengobatan, semakin berkurangnya kemampuan organisasi masyarakat sipil untuk terus aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS, masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), juga persekusi terhadap populasi-populasi kunci (terutama kepada gay, transgender, pekerja seks komersil, dan pengguna napza suntik).
Indonesia saat ini duduk di peringkat 14 di dunia dalam jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS, dan nomor 3 di Asia, setelah India dan Tiongkok. Dalam angka kematian akibat AIDS, Indonesia berada di posisi 62 di dunia dengan jumlah kematian 12,90 dari setiap 100.000 orang.
Kasensero - Awal Wabah AIDS di Dunia
Kutukan menimpa Kasensero di Uganda ketika wabah AIDS pertama di dunia merebak di desa itu. Hingga kini sepertiga penduduk masih mengidap AIDS. Desa inipun menjadi pusat penelitian AIDS di dunia
Foto: DW/S. Schlindwein
Kutukan Desa Nelayan Kasensero
Kasensero adalah desa kecil dan miskin di tepi danau Viktoria, Uganda Barat. Ia berada di dekat perbatasan Tanzania. 1982 silam desa ini menuai sorotan dunia. Cuma dalam beberapa hari ratusan penduduk meninggal dunia setelah mengidap penyakit misterius. Kasus yang melibatkan virus HIV sebenarnya sudah muncul di AS, Tanzania dan Kongo. Namun belum pernah sebelumnya AIDS mewabah.
Foto: DW/S. Schlindwein
Penyakit Misterius Renggut Ratusan Nyawa
Kasensero 1982: Thomas Migeero adalah korban pertama. Awalnya ia kehilangan nafsu makan, lalu rambutnya rontok. Bobot tubuhnya pun menyusut drastis, kenang saudaranya Eddy. "Sesuatu merusaknya dari dalam." Ayah Migeero menolak menyentuh peti matinya saat penguburan. Penduduk percaya Thomas Migeero dikutuk. Sementara Eddie Migeero yang kini bekerja untuk LSM AIDS tahu saudaranya tewas karena AIDS
Foto: DW/S. Schlindwein
Kasensero setelah AIDS
Ketika AIDS mulai mewabah dan merenggut nyawa ratusan orang cuma dalam beberapa pekan, penduduk berbondong-bondong melarikan diri. Puluhan keluarga meninggalkan lahan pertanian dan hewan ternak begitu saja. Hingga kini Kasensero terkesan seperti desa mati. Cuma penduduk miskin yang masih bertahan.
Foto: DW/S. Schlindwein
Maut dari Perbatasan dan Prostitusi
Kemungkinan besar virus HIV merambah Kasensero melalui East-African-Highway. Umumnya supir truk menginap di perbatasan Kasensero, mabuk dan memesan jasa prostitusi, seperti perempuan berbusana merah yang tidak ingin disebut namanya ini. Para lelaki itu membayar empat kali lipat agar diperbolehkan tidak mengenakan kondom. Wanita 30 tahun ini tidak peduli. Ia pun mengidap HIV AIDS.
Foto: DW/S. Schlindwein
Keseharian dalam Bayangan AIDS
Joshua Katumba positif mengidap AIDS. Pemuda 23 tahun ini setiap hari mempertaruhkan nyawanya buat mencari duit. Kebanyakan ia habiskan untuk alkohol. Katumba belum pernah bersekolah. Ia tidak bisa membaca atau menulis. Katumba, seperti sepertiga penduduk Kasensero, tidak memiliki prespektif juga lantaran AIDS - jumlah terbanyak di seluruh dunia.
Foto: DW/S. Schlindwein
Obat-obatan Gratis, Rumah Sakit Kewalahan
Presiden Yoweri Museveni adalah presiden pertama Afrika yang mengakui AIDS sebagai penyakit. Sejak saat itu Uganda menjadi contoh penanggulangan AIDS. Peneliti berdatangan ke Rakai. Duit bantuan dikucurkan. Di rumah sakit daerah mengantri penderita AIDS untuk mendapat obat-obatan gratis.
Foto: DW/S. Schlindwein
Kehidupan Normal Berkat Obat Antiretroviral
Judith Nakato sejak lima tahun menderita AIDS. Menurutnya, ia terjangkit penyakit mematikan tersebut ketika diperkosa dan kemudian hamil. Setelah melahirkan ia mendapat kepastian dari tim dokter. Beruntung Nakato tidak mewariskan AIDS kepada anaknya. Setiap hari ia meminum obat antiretroviral.
Foto: DW/S. Schlindwein
Obat-obatan Gratis di Uganda
Dulu Judith Nakato bahkan tidak mampu berdiri. Namun sejak mengkonsumsi obat-obatan antiretroviral, ia bisa kembali bekerja. Obat yang disebut ARV itu meredam virus AIDS did alam tubuh pengidapnya. Dibayar oleh Dana AIDS Global, obat-obatan tersebut dibagikan secara gratis di Uganda, kendati sering mengalami kelangkaan. Nakato misalnya harus berjalan ratusan kilometer untuk mendapat obat ARV.
Foto: DW/S. Schlindwein
Contoh Penanggulangan AIDS?
Uganda dianggap sebagai negara panutan dalam hal penanggulangan AIDS. Miliaran US Dollar disumbangkan untuk negeri tersebut. Awalnya Uganda berhasil mengurangi penyebaran AIDS hingga 70 persen. 1990-an pengidap AIDS di Uganda turun menjadi 6,4 persen tahun 2005. Namun sejak sepuluh tahun silam penyebaran AIDS kembali marak. 2013 jumlahnya mencapai 7,3 persen.
Foto: DW/S. Schlindwein
Kasensero, Laboraturium Terbuka buat Pakar Virologi
Selama bertahun-tahun Kasensero menjadi Mekkah buat pakar Virologi dari seluruh dunia. Pada setiap penduduk mereka melakukan studi jangka panjang. Penelitian semacam itu pertama kali digelar 1996. Sejak saat itu Kasensero menjadi laboraturium percobaan untuk penelitian AIDS di seluruh dunia. Hasil studi terbaru: risiko infeksi AIDS pada pria yang disunat 70 persen lebih rendah.
Foto: DW/S. Schlindwein
Obat-obatan Melangka, Pasien Meregang Nyawa
Tubuh Olive Hasal mengering hingga tulang. Ibu 50 tahun ini bernafas ala kadarnya. Kulit di sekitar matanya menghitam. Satu buah tablet dibungkusnya rapih di dalam kain, "ini adalah yang terakhir," katanya. Hasal menyaksikan suami dan kedua anaknya meninggal dunia karena AIDS. Jika tidak ada yang mengambilkan obat dari kota terdekat berjarak 140 kilometer, hidup Hasal tinggal menghitung hari.
Foto: DW/S. Schlindwein
11 foto1 | 11
Dari mana dananya?
Untuk mengatasi rumitnya persoalan HIV/AIDS tersebut, sampai saat ini Indonesia masih mengandalkan bantuan luar negeri yang mencakup 57 persen dari total anggaran penanggulangan HIV/AIDS. Sementara Indonesia sendiri baru menunjukkan peningkatan kemampuan dalam penyediaan ARV melalui pendanaan dalam negeri dari 27 persen pada 2006 menjadi 43 persen pada 2012. Selebihnya—termasuk untuk program penjangkauan dan pendampingan—masih mengandalkan bantuan luar negeri.
Selama ini kebutuhan anggaran bersumber luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS tersebut dipenuhi oleh Global Fund, Departemen Luar Negeri Negara Australia, Dana Dukungan Amerika Serikat (USAID), Pemerintah Inggris, badan-badan PBB, dan organisasi-organisasi nonpemerintah internasional. Diperkirakan, sumber-sumber pendanaan luar negeri tersebut akan berkurang pada periode 2015-2019.
Pertanyaannya sekarang, di tengah persoalan rumit yang merentang dari masalah anggaran sampai penjangkauan dan pendampingan, kenapa bantuan luar negeri untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia akan berkurang, bahkan mungkin hilang sama sekali setelah 2020?
Jawabannya sederhana
Karena Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara yang pendapatan per kapitanya menengah atau istilahnya Middle Income Country (MIC). Dengan masuknya Indonesia ke dalam kelompok MIC, maka negara ini akan dikurangi jatah bantuannya atau tidak dibantu sama sekali. Jika melihat contoh di Eropa Timur dan Asia Tengah, negara-negara di kawasan itu yang sudah masuk ke dalam kelompok MIC harus menanggung 60 persen sampai 100 persen biaya untuk pasien HIV/AIDS dan Tuberculosis (TB).
Siapa yang menetapkan sebuah negara masuk kategori MIC? Lembaga yang paling bertanggung jawab atas pengategorian itu adalah World Bank (Bank Dunia).
Pengategorian itu sudah jadi persoalan sejak pertama kali diberlakukan pada 1989, ketika World Bank menetapkan pengategorian negara-negara menjadi Low Income Countries, Middle Income Countries, dan High Income Countries berdasarkan Gross National Income (GNI) atau Pendapatan Nasional Bruto (PNB). Banyak pengamat menilai GNI tidak bisa digunakan sebagai ukuran kemampuan nyata penduduk sebuah negara, karena yang dihitung adalah adalah total pendapatan warga negara domestik dan asing yang diklaim oleh penduduk, yang terdiri atas Produk Domestik Bruto (PDB) ditambah faktor pendapatan yang diterima oleh warga asing, dikurangi pendapatan yang diperoleh dalam ekonomi domestik oleh orang non-penduduk.
Dengan penghitungan seperti itu, akan banyak penduduk yang berpenghasilan di bawah GNI "hilang” dari pengamatan.
GNI—yang secara bertahap menggantikan Gross National Product (GNP)/Produk Nasional Bruto dalam perhitungan statistik internasional—mungkin berguna sebagai alat analisis ekonomi makro. Tapi ketika GNI dijadikan ukuran bagi hal lainnya, misalnya untuk mengkategorikan negara mana yang masih harus dibantu atau tidak, atau negara mana yang boleh membuat/menjual obat generik atau tidak, persoalan jadi merembet ke mana-mana, apalagi ketika batas terendah MIC adalah negara yang penduduknya berpendapatan 1045 dolar AS/tahun atau 2,86 dolar AS/hari.
Misalnya Indonesia, yang diketahui memiliki GNI sebesar 3.540 dolar AS atau sekitar Rp 53 juta/tahun. Jika dihitung rata-rata, penduduk Indonesia akan dilihat memiliki pendapatan rata-rata per hari 9,6 dolar AS atau Rp 147.416. Tentu saja Indonesia langsung masuk kategori MIC karena GNI-nya lebih dari tiga kali lipat batas terendah MIC. Tapi apakah benar semua orang Indonesia berpendapatan Rp 147.516/hari?
Jangan Lakukan Ini Sebelum Berhubungan Seks
Ada beberapa kesalahan yang kadang-kadang tidak disadari pasangan suami istri saat berhubungan intim. Akibatnya bisa mengganggu kesehatan. Hal-hal berikut ini sebaiknya dihindari sebelum melakukan hubungan seksual.
Foto: Fotolia/fotogestoeber
Buang air kecil
Buang air kecil sesudah berhubungan intim dapat membuat semua bakteri penyebab infeksi keluar. Namun jangan lakukan itu sebelum berhubungan seks, karena penyebab utama infeksi saluran kencing adalah kebiasaan 'pipis' sebelum berhubungan seksual. Demikian saran Urolog New York, David Kaufman.
Foto: imago/mm images/Berg
Minum antihistamin (anti alergi)
Antihistamin baik untuk meredakan efek alergi, karena mengeringkan selaput lendir di hidung yang berair, namun obat ini juga mengeringkan organ intim. Tentu, vagina yang kering membuat hubungan seks terasa tidak nyaman. Selain itu, secara umum, antishistamin juga menurunkan libido.
Foto: Colourbox/Syda Productions
Mabuk-mabukan (kebanyakan alkohol)
Alkohol kadang bisa membantu memicu gairah seksual. Namun minuman beralkohol dalam takaran berlebihan justru mengakibatkan hambatan bagi pria untuk ereksi.
Foto: Fotolia/eyetronic
Salah ukuran kondom
Ukuran karet pengaman dalam berhubungan seksual amat penting. Pemilihan ukuran kondom yang pas mengurangi risiko selip dan terlepas disaat sedang melakukan hubungan seksual.
Foto: Fotolia/Sergejs Rahunoks
Mencukur rambut di sekitar organ intim
Bebas bulu halus di sekitar area intim mungkin sedang tren, tapi dapat berisiko infeksi akibat luka gesekan saat berhubungan badan. Pakar klinis juga memperingatkan, area intim yang dicukur menjadi salah satu penyebab infeksi herpes, sebab luka kecil pun dapat menularkan virus.
Foto: Fotolia/PhotographyByMK
Lupa bersihkan alat permainan seks
Selain tubuh yang bersih, alat permainan seks pun sebaiknya dalam kondisi bersih sebelum digunakan. Jangan pernah lupa membersihkan sex toy sebelum berhubungan seks, karena dapat menyebabkan infeksi. Untuk melindungi diri, cucilah dulu alat permainan itu dan bersihkan dulu dengan tisu anti bakteri.
Foto: picture-alliance/dpa
Menggunakan pelumas mengandung mentol
Perempuan yang telah menopause mengalami penipisan jaringan vagina. Memakai pelumas yang mengandung mentol bisa menyebabkan iritasi. Khusus untuk perempuan sekitar usia menopause, menurut ginekolog Cheryl Iglesia, sebaiknya gunakan pelumas berbasis air tanpa mentol untuk menghindari ketidaknyamanan.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Wuestenhagen
7 foto1 | 7
"Hilang” dari pengamatan
Kenyataannya, 9,82 persen orang Indonesia, atau sebanyak 25.578.000 jiwa, pendapatannya hanya Rp 401.220/bulan atau Rp 13.374/hari atau setara 0,87 dolar AS. Saya yakin jika ada penghitungan berapa jumlah warga Indonesia yang berpendapatan di bawah 2,86 dolar AS per hari, jumlahnya akan jauh lebih banyak lagi dari 25,5 juta jiwa. Merekalah yang saya sebut "hilang” dari pengamatan, dan kelompok warga inilah yang paling rentan mendapatkan masalah kesehatan, termasuk HIV/AIDS dan TB.
Dengan potret seperti itu, berbagai kalangan di seluruh dunia memprotes penetapan kategori MIC dengan 2,86 dolar AS per hari oleh World Bank. Pertama karena GNI tidak menunjukkan kenyataan kemampuan ekonomi warga yang sebenarnya. Kedua, kategori itu pula yang digunakan oleh lembaga-lembaga donor untuk menetapkan negara-negara mana yang masih bisa mendapat bantuan dan mana yang tidak. Ketiga, banyak pihak menduga kategori itu juga digunakan oleh perusahaan-perusahaan farmasi dunia melalui kerangka WTO untuk menetapkan harga obat dan boleh/tidaknya sebuah negara memproduksi/menjual obat-obat generik yang berharga murah.
Karenanya, pengategorian GNI 1.045 dolar AS/tahun atau 2,86 dolar AS/hari diprotes oleh banyak pihak, antara lain oleh koalisi 530 organisasi masyarakat sipil dari 45 negara, yang diinisiasi AIDS Healthcare Foundation (AHF) sejak 2015.
Dalam pertemuan tahunan World Bank-International Monetary Fund di Nusa Dua, Bali, pada 8-14 Oktober 2018, koalisi itu juga menyampaikan protes, melalui perwakilan AHF, namun nyaris tidak ditanggapi oleh World Bank.
Pemerintah Indonesia sendiri tidak mempertanyakan atau mengeluarkan pernyataan apa pun terkait MIC dan dampak-dampak yang bisa terjadi di tahun-tahun mendatang. Bahkan sebaliknya, upaya aksi protes terhadap Word Bank dan IMF di Bali telah lebih dulu diberangus aparat keamanan Indonesia. Padahal, aksi protes berupa demonstrasi biasanya terjadi di setiap aktivitas pertemuan World Bank di berbagai negara di dunia, dan World Bank maupun IMF sendiri tidak menunjukkan penentangan terhadap aksi seperti itu.
Kembali lagi ke persoalan HIV/AIDS di Indonesia, potretnya dalam masa mendatang sepertinya akan suram. Pemerintah Indonesia sendiri belum menunjukkan komitmen yang kuat, dengan alasan anggaran yang tidak mencukupi.
Berdasarkan analisis kebutuhan anggaran penanggulangan HIV/AIDS yang tercantum di dalam Strategi Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2015-2019, Indonesia akan membutuhkan dana sebesar 184,7 juta dolar AS untuk tahun 2019 saja. Namun, negara ini hanya akan mampu membiayai 75,5 juta dolar AS saja. Artinya, kita masih kekurangan 109,1 juta dolar AS, yang entah akan diperoleh dari mana.
Sementara itu bantuan luar negeri akan terus dikurangi sampai berhenti sama sekali, tapi Indonesia tak terdengar menyatakan keberatan apa pun baik kepada World Bank, maupun kepada negara-negara kaya dan industri farmasi dunia. Mungkin, karena kita terlampau bangga untuk disebut sebagai negara kelas menengah baru, walau hal itu semata semu dan bisa mencelakai warganya sendiri.
Zaky Yamani, jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.
8 Virus Paling Berbahaya
Virus tetap jadi ancaman kesehatan bagi manusia. Walaupun ilmuwan sudah berhasil temukan vaksin untuk sejumlah virus, beberapa tetap menjadi ancaman. Berikut 8 virus yang paling berbahaya.
Foto: Christian Ohde/CHROMORANGE/picture alliance
Corona SARS-CoV-2
Virus corona SARS-CoV-2 yang memicu pandemi Covid-19 tiba-tiba muncul di kota Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019. Ketika itu ratusan orang diserang penyakit misterius mirip pneumonia dengan angka fatalitas sangat tinggi. Virus corona menyebar cepat ke seluruh dunia, menjadi pandemi yang mematikan. Hingga akhir Juli 2021, sedikitnya 205 juta orang terinfeksi dan 4,32 juta meninggal akibat Covid-19.
Foto: Christian Ohde/CHROMORANGE/picture alliance
Marburg
Virus paling berbahaya adalah virus Marburg. Namanya berasal dari kota kecil di sungai Lahn yang tidak ada hubungannya dengan penyakit tersebut. Virus Marburg adalah virus yang menyebabkan demam berdarah. Seperti Ebola, virus Marburg menyerang membran mukosa, kulit dan organ tubuh. Tingkat fatalitas mencapai 90 persen.
Foto: picture alliance/dpa
Ebola
Ada lima jenis virus Ebola, yakni: Zaire, Sudan, Tai Forest, Bundibugyo dan Reston. Virus Ebola Zaire adalah yang paling mematikan. Angka mortalitasnya 90%. Inilah jenis yang pernah menyebar antara lain di Guinea, Sierra Leone dan Liberia. Menurut ilmuwan kemungkinan kalong menjadi hewan yang menyebarkan virus ebola zaire ke kota-kota.
Foto: picture-alliance/NIAID/BSIP
HIV
Virus ini adalah salah satu yang paling mematikan di jaman modern. Sejak pertama kali dikenali tahun 1980-an, lebih dari 35 juta orang meninggal karena terinfeksi virus ini. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, dan melemahkan pertahanan terhadap infeksi dan sejumlah tipe kanker. (Gambar: ilustrasi partikel virus HIV di dalam darah.)
Foto: Imago Images/Science Photo Library
Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue. Ada beberapa jenis nyamuk yang menularkan virus tersebut. Demam dengue dapat membahayakan nyawa penderita. Antara lain lewat pendarahan, kebocoran pembuluh darah dan tekanan darah rendah. Dua milyar orang tinggal di kawasan yang terancam oleh demam dengue, termasuk di Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa
Hanta
Virus ini bisa diitemukan pada hewan pengerat seperti tikus. Manusia dapat tertular bila melakukan kontak dengan hewan dan kotorannya. Hanta berasal dari nama sungai dimana tentara AS diduga pertama kali terinfeksi virus tersebut saat Perang Korea tahun 1950. Gejalanya termasuk penyakit paru-paru, demam dan gagal ginjal.
Foto: REUTERS
H5N1
Berbagai kasus flu burung menyebabkan panik global. Tidak heran tingkat kematiannya mencapai 70 persen. Tapi sebenarnya, resiko tertular H5N1 cukup rendah. Manusia hanya bisa terinfeksi melalui kontak langsung dengan unggas. Ini penyebab mengapa kebanyakan korban ditemukan di Asia, di mana warga biasa tinggal dekat dengan ayam atau burung.
Foto: AP
Lassa
Seorang perawat di Nigeria adalah orang pertama yang terinfeksi virus Lassa. Virus ini dibawa oleh hewan pengerat. Kasusnya bisa menjadi endemis, yang artinya virus muncul di wilayah khusus, bagian barat Afrika, dan dapat kembali mewabah di sana setiap saat. Ilmuwan memperkirakan 15 persen hewan pengerat di daerah Afrika barat menjadi pembawa virus tersebut. (Sumber tambahan: livescience, Ed.: ml)