1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiAfrika

Migran Afrika Banjiri Mauritania dalam Rute Baru ke Eropa

Anne-Fleur Lespiaut
13 Juni 2024

Ribuan migran Afrika berusaha mencapai Eropa melintasi gurun dan samudera melalui Mauritania. Negeri di barat Afrika itu belakangan menjadi pusat transit, menuju rute penyelundupan paling berbahaya di dunia.

Bangkai kapal pengungsi di Desa Calhau di Sao Vicente, Mauritania
Menurut PBB, tahun 2023 adalah tahun paling mematikan bagi migran dalam satu dekade terakhir.Foto: QUEILA FERNANDES/REUTERS

Dibesarkan di Senegal dan Mauritania, Afrika, Lala telah lama memimpikan kehidupan yang lebih baik di seberang benua.

Akhirnya ia punya cukup banyak uang tabungan, untuk ikut menumpang di atas pirogue, perahu nelayan tradisional yang biasa digunakan para penyelundup manusia di pesisir Mauritania.

Kapal nelayan kecil itu akan membawanya dari ibu kota, Nouakchott, ke Kepulauan Canary milik Spanyol, demi meraih masa depan di Uni Eropa.

"Namun perjalanan itu berbahaya," kata Lala kepada DW. "Bermacam-macam negara asal para imigran itu," ujarnya. "Mali, Kamerun, Nigeria, Mauritania, Senegal. Polisi sendiri yang datang membawa kami ke pantai," kata Lala.

Menurutnya, perahu kecil yang dibawa untuk menjemput para migran itu sangat kecil hanya mampu mengangkut 20 orang, jauh lebih sedikit ketimbang yang hendak menumpang.

Pertaruhan mati hidup di laut

"Tidak semua orang bisa ikut karena jumlah kami sangat banyak, lebih dari 100 orang. Hanya 80 orang yang cukup beruntung untuk bisa mendapat tempat,” katanya.

"Saya melihat bagaimana sebagian orang hampir menjadi gila. Kadang-kadang ada yang berkelahi satu sama lain. Tapi para kapten punya pisau besar, dan menyuruh mereka tutup mulut dengan ancaman akan menurunkan penumpang ke pantai. Mereka tidak bercanda."

Mauritania sees rise in African migrants heading for Europe

05:01

This browser does not support the video element.

Namun cobaan yang dialami Lala belum berakhir setelah berhasil menaiki perahu. Setelah empat hari di laut, terombang-ambing tanpa bahan bakar, Lala dan migran lainnya terdampar di sebuah pantai di utara Mauritania, di mana mereka ditahan oleh pihak berwenang.

Migran berkerwarganegaraan asing langsung dideportasi, namun Lala, sebagai warga Mauritania, dibebaskan.

"Saya belum bisa tidur sejak saya kembali. Saat saya tidur, saya merasa seperti masih berada di perahu yang bergoyang di laut. Bahkan saat saya memejamkan mata seperti ini, saya merasa seperti sedang berayun,” kata dia kepada DW.

Penyeberangan laut yang dia coba arungi saat ini tercatat sebagai salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia.

Intervensi Uni Eropa

Pada bulan April lalu, Uni Eropa menjanjikan akan memberikan bantuan sebesar USD226 juta kepada Mauritania. Dari dana tersebut, sekitar USD64 juta akan diinvestasikan dalam perang melawan penyelundupan manusia ke Eropa.

Menurut catatan Brussels, Antara bulan Januari dan Maret tahun ini saja, sekitar 12,393 migran tiba di kepulauan Spanyol. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, hanya 2.178 migran yang tiba di Kepulauan Canary. Lebih dari 80 persen kapal yang membawa para migran bertolak dari Mauritania atau transit melalui perairannya.

Kendati begitu, UE kesulitan bersepakat dengan negara-negara Afrika seperti Tunisia atau Niger, yang di masa lalu pernah membantu menutup rute migrasi di wilayahnya.

Selain itu, banyak migran, sebagian besar dari Sahel Tengah dan Teluk Guinea, memilih Nouadhibou di barat laut Mauritania sebagai  kota transit. Di kota berpenduduk 140.000 jiwa ini, sekitar 30.000 di antaranya adalah migran asing.

Ali, seorang nelayan Mauritania, mengaku menyaksikan keberangkatan sekitar 50 migran pada malam hari, berjejalan di dalam perahu nelayan yang dirancang hanya menampung enam orang awak, katanya kepada DW.

Di ponselnya, dia menunjukkan foto-foto jenazah migran yang tewas saat mencoba mencapai Eropa.

Malian refugees give back to Mauritanian farmers

02:13

This browser does not support the video element.

"Lihat, ada yang mengirimi saya gambar orang mati. Ini adalah mayat. Lihat, ada bayi kecil di sini," katanya.

Segalanya berawal di pelabuhan Nouadhibou yang menjadi pusat perdagangan perahu nelayan tradisional untuk penyelundup manusia.

Kepada DW, salah seorang penyelundup mengatakan, otoritas berusaha menerapkan pembatasan dan kontrol terhadap pergerakan kapal.

"Kami bisa memasukkan lebih banyak orang ke dalam perahu nelayan. Untuk pirogue semacam ini ada kontrol untuk melihat apakah untuk memancing ikan, atau untuk tujuan lain," kata pria yang memilih menyembunyikan identitasnya itu.

Politik imigrasi berperikemanusiaan

Tumenta Kennedy, seorang analis migrasi di Eropa, mengatakan kepada DW bahwa UE perlu meninjau ulang kebijakan migrasinya agar lebih ramah terhadap generasi muda Afrika, yang saat ini memilih jalur berbahaya menuju Eropa.

Bagi banyak kaum muda berkulit hitam Afrika, "merantau ke Jerman, Prancis atau Belgia untuk belajar adalah sebuah mimpi buruk,” kata Kennedy. "Bukan karena mereka ditolak, tapi karena proses untuk membuat janji ke kedutaan untuk diwawancarai, hanya untuk mendapat kesempatan berekspresi, adalah mimpi buruk.”

Sebabnya, setiap tahun ribuan migran terus berdatangan di Mauritania, berharap dapat melakukan perjalanan ke Eropa meski risiko yang tinggi..

Dan Lala, terlepas air mata dan uang yang telah dikucurkan, tetap bertekad untuk kembali mencoba menyebrang ke Eropa. Meski kenangan buruk saat berada di laut, dia mengaku akan melakukan segalanya lagi untuk sampai ke Eropa, dan mendapatkan penghidupan yang layak.

rzn/as

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait