Dengan kedatangan sekitar satu juta pengungsi Ukraina dan 200.000 pencari suaka, migrasi ke Jerman tahun ini diprediksi akan melampaui krisis migran 2015.
Iklan
Akan ada lebih banyak orang yang mencari perlindungan dan suaka di Jerman pada tahun 2022 dibandingkan pada saat puncak krisis migran Eropa tahun 2015 lalu, terutama pengungsi dari Ukraina. Demikian laporan surat kabar Jerman, Welt am Sonntag, Minggu (04/12).
Welt am Sonntag mengatakan, Jerman akan kedatangan sekitar 1,2 juta migrasi dan pengungsi sampai akhir tahun ini. Jumlah ini meningkat 35% daripada angka tahun 2015, ketika Jerman menerima kedatangan 890.000 migran dan pengungsi, terutama mereka yang melarikan diri dari perang Suriah.
Angka untuk tahun ini termasuk lebih dari satu juta pengungsi Ukraina yang diterima di Jerman sejak invasi Rusia pada Februari 2022, serta jumlah pencari suaka yang pada akhir tahun jumlahnya diperkirakan akan mencapai sekitar 200.000 orang.
Pada akhir Oktober, tercatat ada 181.612 permohonan suaka, Welt am Sonntag melaporkan, sebagian besar dari warga Suriah, Afghanistan, Turki, dan Irak.
Kota-kota mulai kewalahan
Kota-kota Jerman dilaporkan telah mencapai batas kapasitasnya dalam memproses sejumlah besar pendatang baru. Hal ini memicu kekhawatiran para politisi.
Iklan
"Kita mendekati 200.000 pencari suaka tahun ini," kata seperti Armin Schuster, menteri dalam negeri negara bagian Sachsen kepada Welt am Sonntag. Jumlah ini sebelumnya sudah ditetapkan sebagai batas atas, jelasnya.
Anggota Parlemen Eropa dari Jerman, Manfred Weber, memperingatkan kemungkinan meningkatnya jumlah pengungsi secara dramatis pada musim dingin. Ia mengacu pada perkiraan peningkatan kedatangan migran dan pengungsi selama bulan-bulan musim dingin.
Sejumlah analis telah memperingatkan bahwa ratusan ribu warga Ukraina kemungkinan masih akan terus mengungsi dari negara itu karena pasukan Rusia terus menargetkan infrastruktur energi yang memicu meluasnya pemadaman listrik selama musim dingin.
Bulan lalu, badan pengungsi Uni Eropa mengatakan permohonan suaka telah mencapai titik tertinggi baru sejak 2015.
Pencari Suaka di Indonesia: Mencari Kebebasan, Malah 'Terpenjara'
Februari 2019 seorang pengungsi asal Afghanistan di Manado tewas bakar diri setelah ditolak untuk masuk ke negara tujuan imigrasi. Bagaimana kehidupan pengungsi dan pencari suaka ini di Indonesia?
Foto: Monique Rijkers
Menanti Nasib
Dari 14 ribu imigran ilegal (pengungsi dan pencari suaka) terdapat 700 anak-anak. Gadis muda ini baru berumur 14 tahun dan sudah mengungsi dari Afghanistan. Saat ini ia tinggal di tenda pengungsi di pinggir jalan di Jakarta Barat.
Foto: Monique Rijkers
Tenda Pinggir Jalan
Hampir seratus orang umumnya asal Afghanistan tidak bisa ditampung dalam rumah detensi di Kalideres, Jakarta Barat sehingga mereka terpaksa tinggal di bawah tenda biru ini di pinggir jalan. Sudah lebih dari satu tahun mereka ada di sini.
Foto: Monique Rijkers
Perempuan dan Anak Menjadi Korban
Imigran ilegal terbagi dalam dua kategori yaitu pengungsi dan pencari suaka. Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap iba pada nasib imigran gelap yang ada di depan rumah detensi yang dipimpinnya, apalagi sebagian besar perempuan dan anak,namun mereka tidak dapat ditampung karena status tidak jelas. Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan UNHCR berdasarkan rekam jejak imigran tersebut.
Foto: Monique Rijkers
Rumah Detensi
Di rumah detensi ini hanya ada 51 kamar tetapi jumlah penghuni 1634 orang. Umumnya sudah berada di rumah detensi ini tiga-empat tahun. Rumah detensi berfungsi menampung pelanggaran keimigrasian dan tidak dimaksudkan untuk pemenjaraan. Kebutuhan makan mereka selama tinggal di sini adalah 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan perorang. Biaya ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Kamar Rumah Detensi
Paling tidak seorang penghuni rumah detensi membutuhkan biaya makan selama tinggal di sini sebesar 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan per hari. Total sekitar 1,2 juta rupiah perorang yang ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Mirip “Kos-kosan”
Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang namun kamar-kamar masih tertutup rapat dan tidak ada kegiatan. Menjadi imigran gelap memang menyesakkan. Umumnya ingin kebebasan sehingga memilih kabur dari negara mereka tetapi justru berada dalam “penjara” karena pelanggaran keimigrasian. Ibaratnya imigran gelap seperti penghuni kos tanpa kepastian untuk kebebasan.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Rumah Detensi
Pemerintah memiliki 13 rumah detensi yang tersebar di Indonesia. Di Kalideres ini terdapat klinik jika penghuni sakit. Jika harus dibawa ke rumah sakit, sudah ada RS rujukan yakni di RS Pengayoman.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Gigi
Selain klinik untuk penyakit ringan, terdapat klinik gigi di dalam rumah detensi untuk penghuni. Dokter gigi menolak untuk difoto.
Foto: Monique Rijkers
Suplai Air
Untuk memenuhi kebutuhan air penghuni rumah detensi setiap hari didatangkan air bersih sebanyak 8000 liter untuk mandi, cuci dan kakus. Menurut Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap, setiap hari untuk membeli air keluar ongkos 400 ribu rupiah.
Foto: Monique Rijkers
Proses Wawancara Suaka
Bagi pencari suaka yang sudah lolos urusan administrasi maka diseleksi pihak negara ketiga, negara calon penerima pencari suaka. Pekan lalu ada 29 pencari suaka asal Somalia yang ditahan di rumah detensi Medan diterbangkan ke Jakarta untuk proses wawancara oleh satu kedutaan besar di Indonesia. Mereka diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Pusat atas biaya Organisasi Pengungsi Internasional (IOM).
Foto: Monique Rijkers
Menunggu Jawaban Suaka
Pria asal Afghanistan ini sudah menghuni kamar hotel di Jakarta Pusat selama 8 bulan. Ia sedang menunggu jawaban penempatan ke negara ketiga jika ia beruntung, ia bisa menjadi imigran legal dan memulai hidup baru di negara baru. Pria ini berkata, “Negara apa saja yang mau menerima saya, saya mau. Saya tidak mau tinggal di negara perang Afghanistan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Monique Rijkers
Masakan Kampung Halaman
Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pencari suaka asal Afghanistan ini sedang menyiapkan adonan roti khas negerinya (pita bread). Di hotel yang disewa IOM ini, pengungsi bebas memasak dan keluar dari hotel. Mereka tidak akan melarikan diri karena mereka menunggu ditempatkan ke negara penerima suaka.
Foto: Monique Rijkers
12 foto1 | 12
Negara bagian butuh lebih banyak dana
Welt am Sonntag mengutip sejumlah pejabat yang tidak ingin disebutkan namanya dari berbagai otoritas imigrasi negara bagian, yang mengatakan bahwa banyak wilayah di negara bagian telah mencapai batas maksimum, dan bahwa dukungan lebih lanjut dari pemerintah federal sangat dibutuhkan.
Pemerintah federal di Berlin mengatakan, mereka mendukung negara bagian dan kota-kota dengan anggaran tambahan senilai €3,5 miliar tahun ini. Sedangkan untuk tahun 2023 disediakan anggaran sebesar €2,75 miliar, dan telah menyediakan lebih dari 67.000 ruang untuk akomodasi.
Armin Schuster mengatakan, kebijakan migrasi Jerman membutuhkan lebih dari sekedar "kata-kata hangat" dan menyerukan upaya nyata untuk meredam arus migrasi ke wilayah UE melalui Turki dan Yunani.
Hari Jumat lalu (2/12), parlemen Jerman Bundestag mengesahkan undang-undang untuk mempercepat prosedur suaka dan pemberian izin tinggal permanen. Mereka yang telah tinggal di Jerman selama lima tahun dan tidak melakukan tindak pidana akan memenuhi syarat mendapat izin tinggal jangka panjang.