1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Militan Islam Bunuh 130 Warga Sipil di Mali

21 Juni 2022

Kelompok jihadis diyakini ingin membalas dendam kepada warga setelah sebelumnya bertempur dengan pasukan pemerintah. Celakanya, perang diplomasi antara Rusia dan Eropa mengancam perpanjangan misi damai PBB di Sahel

Pasukan Prancis di Mali
Pasukan Prancis di MaliFoto: Philippe De Poulpiquet/MAXPPP/dpa/picture alliance

Pembunuhan sistematis oleh kelompok bersenjata awalnya dilaporkan pejabat pemerintah lokal di kota Diallassagou dan dua kota lain di Distrik Bankass, Mali Tengah. Kawasan subur di tepi Delta Niger itu sejak lama dikenal sebagai sarang teroris.

"Mereka datang dan mengatakan kepada warga dalam bahasa Fulani bahwa kami bukan muslim,” kata Nouhoum Togo, seorang politisi lokal di Bankass. "Mereka lalu membawa pergi laki-laki, dan seratusan orang dibawa bersama mereka,” kata dia.

"Kira-kira setelah dua kilometer, mereka menembak secara sistematis,” imbuhnya, sembari mengklaim jumlah warga yang tewas lebih tinggi ketimbang angka 132 korban jiwa yang dilaporkan pemerintah. 

Kepada AFP, dia mengatakan pasukan pemerintah bertempur dengan kelompok jihadis di wilayah itu dua pekan lalu. Jumat (17/6) Mereka lalu kembali ke desa dengan mengendarai puluhan sepeda motor untuk membalas dendam, kisahnya. 

Kengerian serupa dikisahkan pejabat lokal lain yang tidak ingin membocorkan identitasnya. "Mereka juga membakari rumah, gubuk dan mencuri hewan ternak. Mereka bebas melakukan apapun.” Dia dan seorang pejabat lain berhasil selamat setelah melarikan diri .

Hingga Senin (20/6), petugas dikabarkan masih berusaha mengumpulkan dan mengidentifikasi korban jiwa.

Pemerintah di Bamako menuduh kelompok jihadis Fulani pimpinan Amadou Koufa sebagai dalang pembantaian di Distrik Bankass. PBB mencatatnya sebagai emir Katiba Macina, sayap bersenjata Jama'a Nusrat ul-Islam wa al-Muslimin (JNIM). Selain itu, Koufa juga diklaim memangku jabatan fungsioner di Al-Qaida in the Islamic Maghreb (AQIM).

Prahara diplomasi internasional

Kawasan Sahel dan Mali Tengah menjelma menjadi ladang jihad global menyusul kemunduran al-Qaida dan Islamic State di Timur Tengah. Teror mulai marak sejak 2015, ketika sejumlah kelompok bersenjata di Mali berbaiat kepada al-Qaida.

Pertempuran dan kekerasan yang berawal di utara Sahel itu, saat ini sudah menyebar ke jiran Burkina Faso dan Niger. 

Celakanya, di tengah eskalasi kekerasan, Dewan Keamanan PBB justru terbelah antara Rusia dan AS seputar perpanjangan masa tugas misi damai, MINUSMA, yang akan berakhir bulan ini. 

Wilayah Sahel di Afrika

Misi di Afrika Barat itu merupakan operasi damai terbesar dan paling muskil yang dikerjakan PBB. Bulan ini saja, tiga petugas kemanusiaan PBB dikabarkan tewas ditembak kelompok bersenjata. 

Perselisihan di DK PBB berpusar pada peran Prancis yang hingga beberapa bulan lalu masih menempatkan pasukannya di Sahel. Kedekatan itu merenggang setelah rezim di Bamako meminta bantuan Rusia yang mengirimkan tentara bayaran, Wagner Group.

"Situasinya menjadi sangat rumit untuk negosiasi,” kata Rama yade, direktur Africa Centre di Atlantic Council, sebuah lembaga wadah pemikir di AS. Menurutnya, "konteks internasional berperan” besar dalam perang melawan teror di Sahel. "Dan Mali adalah bagian dari permainan Rusia di panggung internasional,” imbuhnya.

rzn/hp (afp,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait