Militer Filipina mengatakan mereka menewaskan 36 anggota militan yang terkait ISIS dalam serangan tiga hari dari udara dan darat.
Iklan
Bentrokan terakhir antara militer Filipina dan anggota kelompok militan berlangsung di Pulau Mindanao. Pertempuran terjadi sejak hari Jumat (21/4) ketika pasukan Filipina menyerang sebuah markas faksi militan yang dikenal sebagai Maute, yang dijaga oleh sekitar 150 pejuang.
"Kami berhasil merebut basis utama mereka," kata komandan divisi militer Brigadir Jenderal Roland Bautista kepada wartawan. Markas itu dijaga sekitar 150 anggota militan.
Pasukan pemerintah menggunakan tembakan artileri dan serangan udara untuk menggempur basis militan tersebut, kata dia. Hanya tiga tentara pemerintah yang terluka, tambahnya.
Seorang juru bicara faksi militan Maute yang dihubungi kantor berita Reuters tidak bersedia memberikan komentar atau memverifikasi keterangan militer.
Jenderal Roland Bautista mengatakan bahwa militan yang masih hidup berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil dan melarikan diri.
Kelompok Maute telah berjanji setia kepada ISIS dan dituduh melakukan beberapa serangan bom, salah satunya di kampung halaman Presiden Rodrigo Duterte di Davao City bulan September lalu yang menewaskan 14 orang.
Bautista mengatakan, militer menduga anggota kelompok militan dari negara tetangga Indonesia dan Malaysia juga bersembunyi di tempat itu, karena di sana ditemukan paspor Indonesia, beserta senjata dan bahan peledak.
Militer Filipina sejak beberapa bulan terakhir melancarkan serangan ke markas-markas militan. Konflik di Mindanao sudah berlangsung selama beberapa dekade. Selama beberapa tahun terakhir dilakukan berbagai upaya perdamaian. Namun beberapa kelompok kecil menolak prakarsa itu dan meningkatkan serangan-serangan mereka.
Pertaruhan Maut Presiden Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte nekat meninggalkan sekutu lama Amerika dan bermain mata dengan Cina dan Rusia. Langkahnya itu bukan tanpa risiko terutama dalam isu Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Poros Tandingan
Duterte sudah jengah dengan Amerika Serikat. Sebab itu ia ingin membangun poros baru antara Manila, Beijing dan Moskow. "Saya tidak ingin bersama AS lagi, saya ingin bergabung dengan Cina dan Rusia," tukasnya. Untuk membuktikan ucapannya itu Duterte menghentikan latihan perang bersama dengan militer AS yang telah digelar selama 36 tahun dan mengabaikan keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional
Foto: picture-alliance/Newscom
Berpaling dari ASEAN
Sebaliknya Duterte mengundang Cina dan Rusia untuk menggelar latihan militer bersama di Laut Cina Selatan. Ia juga mulai mengadopsi narasi Beijing, bahwa konflik seputar jalur laut paling gemuk di dunia itu adalah "murni masalah bilateral. "Saya tidak akan membawanya ke forum internasional, termasuk ASEAN." Dengan cara itu Duterte diyakini berharap bakal mendapatkan ganjaran setimpal dari Beijing.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Misi Ekonomi
Pasalnya kebijakan baru sang presiden bukan tanpa kalkulasi. Filipina sedang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur. "Ia melihat Cina adalah sumber terbesar dana investasi yang sangat dibutuhkan buat menggenjot perekonomian," kata Nick Bisley, Pakar Hubungan Internasional di Universitas La Trobe, Australia. Ironisnya saat ini AS dan Jepang adalah mitra dagang terbesar Filipina.
Foto: Imago
Kalkulasi Beijing
Namun begitu Cina juga tidak bebas dari rasa curiga. "Beijing masih berusaha menebak kemauan Duterte. Tapi jika sudah ketahuan, mereka akan memainkannya sesering mungkin buat melawan Washington," kata akademisi Filipina Walden Bello kepada Financial Times. Cina diyakini tidak akan memberikan konsensus di Laut Cina Selatan dengan mudah. Kesepakatan dengan Manila akan menjadi preseden di kawasan.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Bumerang di Dalam Negeri?
Sikap keras Cina bisa menjadi bumerang buat Duterte. Saat ini mayoritas penduduk FIlipina cendrung bersikap antipati terhadap Beijing. AS sebaliknya mencatat popularitas sebesar 91% dalam jajak pendapat PEW Research Centre tahun lalu. Kegagalan perundingan dengan Cina bisa mencederai reputasinya di mata masyarakat dan Filipina terancam isolasi diplomatik.
Foto: picture-alliance/dpa/Photoshot
Petaka di Perbatasan
Manila kini berupaya mendekati Cina agar bersedia menunda aktivitas pembangunan di Gosong Scraborough dan mengizinkan nelayannya menangkap ikan di perairan sekitar. Beijing belakangan mulai aktif menyulap pulau-pulau kecil di Spratly buat dijadikan pangkalan militer.
Titian Diplomasi
Pelik buat Duterte. Mayoritas penduduk Filipina juga tidak bersedia membuat konsensus dalam isu Laut Cina Selatan. Sebab itu ia mengklaim, "Tidak seorangpun akan menyerahkan sesuatu di sana," ujarnya merujuk pada LCS. Jelang lawatannya ke Cina, Duterte diwanti-wanti oleh Hakim Mahkamah Agung, Antonio Carpio, agar tidak tunduk pada kemauan Beijing. "Dia benar. Saya bisa dilengserkan," jawabnya.