Sedikitnya 7 orang tewas dan 140 terluka dalam bentrokan antara tentara dan pengunjuk rasa setelah militer merebut kendali di Sudan. Dewan Keamanan PBB akan mengadakan pertemuan darurat untuk membahas krisis tersebut.
Iklan
Bentrokan pecah antara tentara dan warga sipil di Sudan setelah militer negara itu, di bawah Jenderal Abdel-Fattah Burhan, merebut kekuasaan pada Senin (25/10). Sedikitnya tujuh orang tewas akibat tembakan dan 140 terluka, demikian dilaporkan kantor berita Reuters mengutip Kementerian Kesehatan Sudan.
Selain mengumumkan keadaan darurat pada Senin (25/10), Jenderal tertinggi Sudan Abdel-Fattah Burhan juga membubarkan pemerintahan dan badan gabungan militer dan sipil yang disebut sebagai Dewan Penguasa di Sudan. Para pejabat yang digulingkan menyebut langkah itu sebagai kudeta militer.
Sebagian besar menteri kabinet dan pemimpin partai pro-pemerintah di Sudan ditangkap. Penangkapan para menteri terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara para pemimpin sipil dan militer di Sudan. Pejabat sipil dan militer yang membentuk pemerintahan transisi sejak kejatuhan mantan pemimpin Sudan Omar al-Bashir pada tahun 2019, kerap saling bersitegang. Padahal, mereka sedianya bertugas mengantar Sudan menuju pemerintahan sipil di bawah sistem demokrasi.
PM Sudan dibawa ke lokasi yang dirahasiakan
Menurut Kementerian Informasi Sudan, Angkatan Bersenjata telah menculik Perdana Menteri Abdalla Hamdok karena "menolak menjadi bagian dari kudeta.” Hingga saat ini, pihak militer belum mengkonfrimasi keberadaan perdana menteri Sudan itu.
Kementerian menambahkan bahwa Hamdok telah menyerukan kepada rakyat Sudan untuk melawan kudeta dan "mempertahankan revolusi mereka.” Pernyataan dari kementerian itu juga menyebutkan bahwa tentara telah menyerbu kantor pusat TV dan radio negara di kota Obdurman, dan menahan beberapa staf di sana.
Sementara itu, aksi unjuk rasa menentang kudeta dilaporkan terjadi di beberapa kota besar, seperti di Khartoum (ibu kota Sudan) dan di Obdurman. Rekaman dari TV Al-Jazeera menunjukkan para demonstran bergerak melewati barikade menuju gedung-gedung militer.
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)
Foto: REUTERS/J. Nazca
11 foto1 | 11
Apa kata militer?
Dalam pidato yang disiarkan melalui televisi, Jenderal Burhan mengatakan bahwa pemerintah teknokratis baru akan memimpin negara itu hingga pemilihan umum pada Juli 2023. Menurutnya, pertempuran antara berbagai faksi politik Sudan telah mendorong militer untuk campur tangan dan membubarkan pemerintah.
Burhan sebelumnya telah menjadi kepala negara de facto negara itu sebagai bagian dari dewan transisi militer-sipil.
Dalam pidatonya, Burhan juga bersumpah akan menyelesaikan transisi negara menuju demokrasi.
"Angkatan Bersenjata akan terus menyelesaikan transisi demokratis hingga penyerahan kepemimpinan negara kepada pemerintah sipil terpilih,” katanya.
Iklan
Bagaimana reaksi dunia?
Jeffrey Feltman, utusan khusus AS untuk Tanduk Afrika (Horn of Africa) menyebut kudeta itu "sama sekali tidak dapat diterima.” Feltman sebelumnya turut berupaya menyelesaikan perselisihan antara pemimpin sipil dan militer itu pada pekan lalu.
Pada Senin (25/10), AS mengumumkan akan menangguhkan bantuan ke Sudan sampai pemerintahan sipil dipulihkan.
Volker Perthes, perwakilan khusus PBB untuk Sudan, mengaku "sangat prihatin” dengan situasi tersebut. "Laporan penahanan perdana menteri, pejabat pemerintah, dan politisi tidak dapat diterima,” katanya.
Dalam sebuah pernyataan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengutuk "kudeta militer yang sedang berlangsung di Sudan.”
Dewan Keamanan PBB dilaporkan telah menjadwalkan pertemuan darurat tertutup untuk membahas perkembangan terakhir di Sudan pada Selasa (26/10). Pertemuan dilakukan setelah beberapa negara anggota, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Norwegia, meminta konsultasi.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas juga mengecam kudeta yang terjadi di Sudan. Maas menyerukan transisi politik yang damai di negara itu.
"Para pemimpin politik harus menyelesaikan perbedaan mereka melalui dialog damai. Mereka berhutang hal ini kepada rakyat Sudan yang telah berjuang untuk mengakhiri kediktatoran dan juga untuk perubahan demokratis,” katanya.
Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengutuk kudeta dan menyerukan pembebasan Perdana Menteri Hamdok.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin telah mendesak semua faksi politik di Sudan "untuk menyelesaikan perbedaan mereka melalui dialog untuk menjaga perdamaian dan stabilitass negara.”
Ketua komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat juga menyerukan untuk "segera dimulainya kembali” pembicaraan antara pimpinan militer dan sipil Sudan.