Militer Suriah, Rusia, Secara Sistematis Serang Rumah Sakit
11 Mei 2020
Pasukan pemerintah Suriah dan militer Rusia secara sengaja menyerang rumah sakit dan sekolah, kata Amnesty Internasional dan menuduh Damaskus dan Moskow melakukan "kejahatan perang".
Iklan
Antara April 2019 sampai Februari 2020 ada 18 serangan terarah ke sekolah-sekolah dan rumah sakit di kawasan konflik di barat laut Suriah, kata Amnesty International dalam laporan yang dirilis hari Senin (11/5). Kebanyakan serangan itu dilakukan antara Januari dan Februari tahun ini. Kelompok hak asasi manusia itu menuduh rezim Suriah dan militer Rusia telah melakukan "kejahatan perang."
Amnesty International menyatakan Suriah dan Rusiajuga melakukan "segudang pelanggaran serius hukum kemanusiaan internasional" di wilayah perang. Pasukan pemerintah Suriah yang didukung militer Rusia terlibat pertempuran sengit dengan pasukan pemberontak di kawasan Idlib, dekat perbatasan dengan Turki.
Amnesty International mengatakan 18 serangan udara dan darat antara April 2019 dan akhir Februari 2020 yang mereka selidiki ditujukan langsung untuk menghancurkan sekolah dan rumah sakit.
Untuk mendapat gambaran tentang kejadian di kawasan perang, Amnesty Internatuional mengklaim telah melakukan wawancara langsung dengan sekitar 70 orang, termasuk staf PBB, dan menggunakan citra satelit dan lalu lintas radio.
Direktur regional Amnesty International Heba Morayef meyakini, serangan terarah ke rumah sakit dan sekolah-sekolah itu "ditujukan untuk meneror penduduk sipil."
Sebagian besar serangan dilakukan tahun 2020
Kebanyakan serangan yang dilaporkan Amnesty International terjadi pada Januari dan Februari tahun ini. Selama operasi militer yang berlangsung sejak Desember 2019, sedikitnya 500 warga sipil dan hampir satu juta orang kehilangan tempat tinggal.
Laporan itu juga menyoroti serangan udara Rusia ke kota Ariha pada 29 Januari 2020 yang menghancurkan dua gedung perumahan dan menewaskan sedikitnya 11 warga sipil.
Dalam dua serangan lain, pasukan Suriah telah menggunakan metode barrel bombing, kata Amnesty International. Barrel bomb adalah bom rakitan berupa drum berisi minyak minyak, pecahan logam, peluru dan dinamit yang dijatuhkan dari pesawat.
Laporan itu mengatakan, rezim Suriah sengaja menyerang sekolah-sekolah dengan bom rakitan semacam itu. Amnesty Internasional menyebutnya sebagai "pola serangan yang menjijikkan" dan menyatakan rezim Bashar al-Assad menggunakan metode serangan semacam itu "secara luas dan sistematis".
Perang di Suriah sudah berlangsung sejak 2011 dan telah menewaskan lebih dari 380 ribu orang. Jutaan orang terlantar dan harus mengungsi. Sejak 2015, militer Rusia turut membantu pemerintahan Suriah memerangi kelompok-kelompok pemberontak.
hp/rzn (afp, dpa)
Idlib Hadapi Bencana Kemanusiaan
Pasukan Suriah yang disokong Rusia lancarkan pemboman kawasan Idlib, Suriah. Aliran pengungsi kini bergerak ke perbatasan Turki. PBB peringatkan kemungkinan terjadinya "pertumpahan darah."
Foto: picture-alliance/AA/E. Hacioglu
Melarikan diri
Jalan-jalan dipenuhi kendaraan yang bergerak dari kawasan Idlib di Suriah Utara menuju perbatasan Turki. Pasukan rezim Assad maju dari selatan dan timur, disokong sekutu Rusia dan Iran. Sebagian kelompok pemberontak didukung Turki, yang juga menempatkan serdadunya di daerah itu.
Foto: Reuters7K. Ashawi
"Kengerian berlipat ganda"
Hampir satu juta orang sudah berada di pengungsian sejak Desember. Menurut petugas urusan kemanusiaan PBB, Mark Lowcock, "kengerian sudah berlipat ganda" dalam dua pekan belakangan ini. Pertempuran semakin sengit dalam beberapa hari terakhir. Tentara Presiden Assad desak warga keluar dari provinsi Idlib dalam upaya menguasai daerah terakhir yang masih di tangan pemberontak.
Foto: Reuters/K. Ashawi
Dibom hingga luluh lantak
Maaret al Numan dan daerah sekitarnya jadi kawasan yang paling didera serangan. Kota itu dibom hingga luluh lantak dan ditinggalkan penduduknya. Jalan bebas hambatan M5 dari Damaskus menuju perbatasan dengan Turki melewati kawasan ini dan Aleppo. Para pengungsi berusaha mencapai perbatasan, tapi perbatasan sudah ditutup.
Foto: picture-alliance/AA/M. Said
Menunggu di perbatasan
Sekitar 100 orang, di antaranya 35 anak, tewas dalam paruh pertama Februari saja. Demikian keterangan PBB, yang juga mengatakan bahwa keselamatan warga sipil dengan sengaja tidak dipedulikan. Keluarga ini lari ke perbatasan dengan Turki beberapa bulan lalu. Mereka tinggal di kamp pengungsi Kafr Lusin, dengan harapan Turki akan membiarkan mereka masuk.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
500.000 anak menderita
Dari sekitar satu juta orang yang melarikan diri, diperkirakan separuhnya anak-anak. Dan sebagian besar dari separuh lainnya perempuan. Di dekat perbatasan tidak cukup banyak gubug untuk menampung mereka, sehingga sebagian tinggal di tenda-tenda. Orang-orang tidur hanya beralas karton, kadang dalam suhu di bawah nol.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Hanya sedikit makanan dan obat-obatan
Yang memiliki tenda biasanya tinggal di sana bersama lusinan anggota keluarga. Di banyak kamp pengungsi obat-obatan tidak ada lagi, sementara makanan dan pakaian sudah semakin berkurang. Menurut dokter yang bertugas, anak-anak menderita kekurangan makanan, dan sebagian bahkan terancam mati kelaparan. Sebagian orang sudah mati kedinginan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Mengungsi di sekolah
Banyak anak di daerah itu tidak bisa bersekolah lagi. Jadi banyak bangunan sekolah sudah dialihfungsikan. Kadang, bahkan kamp pengungsi jadi sasaran pemboman.
Foto: Getty Images/B. Kara
Berusaha selamat
Jika ingin menyeberangi perbatasan lewat rute ilegal, orang harus membayar mahal. Tidak semua orang bisa membayar. Penyelundup manusia meminta uang sekitar 29 juta Rupiah. Dan mereka yang nekad mempertaruhkan nyawa, karena penjaga perbatasan Turki memiliki kamera pencitraan termal yang bisa membantu mereka melacak pengungsi yang berusaha melintasi perbatasan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Ingin hidup yang bermartabat
Menurut PBB, situasi di Idlib bisa jadi bencana kemanusiaan terbesar di abad ke-21. Tidak ada yang tahu apakan akan ada gencatan senjata. Sementara bagi para pengungsi, siapa yang yang mengakhiri perang tidak terlalu penting. Mereka memerlukan keamanan, dan ingin hidup secara terhormat, juga untuk anak-anak mereka. (Ed.: ml/ap)