Dirjen WHO: Tigray Diabaikan Karena Perbedaan “Warna Kulit”
18 Agustus 2022
Tedros Adhanom Ghebreyesus mengeluhkan rasisme menyebabkan negara maju melupakan krisis kemanusiaan di Tigray. Menurut Dirjen WHO itu, bencana akibat konflik di utara Etiopia itu lebih parah ketimbang Perang Ukraina.
Iklan
Dalam sebuah jumpa pers, Kamis (18/08), Direktur Jendral Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, secara emosional mengecam sikap geming negara-negara barat terkait dampak perang yang dilancarkan pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmed.
Tedros, yang sendirinya beretnis Tigray, mengatakan sebanyak enam juta warga etnis minoritas itu berada dalam kondisi "terkepung” oleh pasukan pemerintah sejak 21 bulan terakhir.
"Saya belum mendengar dalam beberapa bulan terakhir bahwa ada kepala negara yang membahas situasi di Tigray di mana pun di negara maju. Di mana pun. Kenapa?” tanyanya, "mungkin alasannya adalah warna kulit bangsa Tigray.”
Komentar pedas terkait minimnya respons internasional bukan pertama kali dia lontarkan. April silam, Tedros juga mempertanyakan apakah kuatnya solidaritas Barat terhadap Ukraina lebih karena didorong sentimen rasial.
Ethiopia: Satu Tahun Krisis Tigray Bergejolak
Perang yang telah berlangsung selama satu tahun di Ethiopia tidak juga menunjukkan tanda-tanda mereda. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas krisis kemanusiaan yang semakin parah.
Foto: AP Photo/picture alliance
Sebuah kota terbakar
Penduduk ibu kota Tigray, Mekele, mengais reruntuhan setelah serangan udara oleh pasukan pemerintah pada 20 Oktober. Militer mengatakan pihaknya menargetkan fasilitas manufaktur senjata yang dioperasikan oleh Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang kemudian dibantah oleh pasukan pemberontak Tigray.
Foto: AP Photo/picture alliance
Kabut perang membubung tinggi
Asap dari serangan udara militer mengepul di langit Mekele. Pejuang Tigray menuduh pemerintah membunuh warga sipil, sementara pemerintah federal mengklaim pihaknya menargetkan depot senjata. Penduduk setempat mengkonfirmasi bahwa setidaknya satu kompleks industri besar di Mekele telah hancur.
Foto: Million Haileselassie/DW
Pasukan yang ditangkap
Tentara pemerintah Ethiopia yang ditangkap oleh pasukan Tigray duduk berbaris dan menunggu untuk dibawa ke pusat penahanan pada 22 Oktober. Tentara tersebut diarak di jalan-jalan Mekele dengan truk terbuka sebagai bentuk unjuk kekuatan menyusul serangan udara hari keempat di ibu kota.
Foto: picture alliance/AP
Bantuan dalam perjalanan
Kendaraan Masyarakat Palang Merah Ethiopia berjalan melalui Mekele, menyusul serangan udara pemerintah. Palang Merah berupaya untuk memberikan perawatan medis dan tempat penampungan di wilayah Tigray. Di tengah pemadaman telekomunikasi regional, organisasi ini merupakan kunci untuk membantu menghubungkan kembali keluarga yang terpisah oleh konflik.
Foto: Million Haileselassie/DW
Bantuan yang langka
Sebuah pesawat kargo dari organisasi bantuan Samaritan's Purse menyalurkan bantuan di Bandara Mekele pada Maret lalu. Aliran bantuan kemanusiaan ke Tigray sejak itu mengalami gangguan akibat penghalang jalan di rute-rute utama yang menghentikan konvoi untuk melewatinya dan serangan udara yang memaksa penerbangan bantuan dibatalkan.
Foto: AA/picture alliance
Permohonan yang putus asa
Pekerja kesehatan menggelar protes di luar kantor PBB di Mekele, mengutuk kematian pasien karena kekurangan makanan dan obat-obatan. Stok pasokan vital berkurang di ibu kota, dengan tingkat malnutrisi di antara anak-anak meroket. PBB belum lama ini mengumumkan akan menarik setengah pekerjanya dari Ethiopia.
Foto: Million Haileselassie /DW
Korban perang
Seorang korban serangan udara Togoga dirawat di rumah sakit. Pada tanggal 22 Juni, Angkatan Udara Ethiopia melancarkan serangan udara di kota Tigray dan menewaskan 64 warga sipil, melukai 184 orang. Ambulans yang berusaha mencapai tempat kejadian awalnya diblokir oleh tentara sebelum konvoi lain berhasil melewatinya dan membawa 25 korban ke rumah sakit di Mekele.
Foto: Million Haileselassie/DW
Protes internasional
Di sisi lain dunia, ratusan orang berunjuk rasa di Whitehall, London pada 19 Oktober lalu dengan membawa bendera dan slogan. Mereka menyerukan diakhirinya kekerasan dan blokade bantuan di Tigray. Banyak dari pengunjuk rasa adalah anggota diaspora Tigray, Ethiopia, dan Eritrea.
Foto: Tayfun Salci/picture alliance/ZUMAPRESS
Kemarahan di kedua sisi
Demonstran di ibu kota Addis Ababa berkumpul di luar kantor Program Pangan Dunia PBB pada September, untuk memprotes pengiriman bantuan ke wilayah Tigray. TPLF ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Ethiopia. Pejabat dan kelompok hak asasi juga menuduh pejuang Tigray melakukan kekejaman, termasuk merekrut tentara anak. (rs/ha)
Foto: Minasse Wondimu Hailu/AA/picture alliance
9 foto1 | 9
"Kekejaman” tiada banding dialami warga Tigray
Perang di Etiopia mulai berkecamuk pada November 2020 silam. Ia dipercik oleh konflik politik antara pemerintah pusat dan partai politik Tigray, yang juga memiliki pasukan bersenjata.
Sejak awal konflik, aliran bantuan kemanusiaan berulangkali terhenti dan seringkali berjumlah terbatas. Bantuan terutama mulai berdatangan sejak beberapa bulan terakhir. Meski demikian, jutaan warga Tigray masih terancam bencana kelaparan.
Tedros mengatakan, penduduk lokal tidak diizinkan keluar, tidak punya obat-obatan dan akses telekomunikasi seluler.
"Tidak di mana pun di dunia Anda akan bisa melihat tingkat kekejaman seperti ini, di mana sebuah pemerintah menghukum enam juta warganya sendiri selama lebih dari 21 bulan,” kata dia.
Insiatif damai di Etiopia cuma "mengulur waktu”
"Satu hal yang kami tanyakan adalah, ‘mampukah dunia kembali ke akal sehatnya dan menegakkan kemanusiaan?'” Tedros mendesak pemimpin dunia bergegas mengakhiri perang di Tigray dan Ukraina.
"Jika mereka menginginkan damai, mereka bisa mencapainya dan saya mendesak mereka untuk mengatasi masalah ini,” kata dia.
Rabu (17/08) kemarin, Kementerian Luar Negeri Etiopia mengatakan komite damai yang dibentuk pemerintah sudah mengadopsi proposal damai, "yang akan mengarah kepada gencatan senjata.”
Adapun layanan dasar seperti suplai bahan pangan dan obat-obatan, perbankan dan telekomunikasi, akan dilanjutkan setelah tercapainya damai, kata Kemenlu di Addis Abeba.
Namun klaim tersebut dibantah juru bicara Tigray, Getachew Reda. Dalam sebuah unggahan di Twitter, dia menulis betapa langkah pemerintah hanya membuktikan "rejim Abiy Ahmed kembali menegaskan bahwa mereka tidak punya niat melakukan negosiasi damai, kecuali taktik mengulur waktu.”