Berakhirnya misi pasukan internasional di Afghanistan - ISAF pada akhir tahun 2014, seperti menutup satu pasal dari sejarah panjang negara itu dengan rangkaian invasi dan intervensi asing. Komentar Florian Weigand.
Iklan
"Mission accomplished"? Istilah ini terdengar sinis. Realitanya panen opium di Afghanistan malahan mencapai rekor tertinggi. Juga serangan Taliban mencapai angka tertinggi baru. Bahkan di Kundus, di kawasan operasi pasukan Jerman Bundeswehr, pertengahan tahun ini Taliban secara simbolis sempat menaikkan benderanya.
Sudah dari awal ditakutkan, Taliban akan menjalin pembicaraan pertama dengan milisi Islamic State. Sebagian besar kawasan Afghanistan, tidak lagi berada dalam kendali pemerintah pusat yang terkenal korup. Di sini paea "war lords" yang berkuasa. Bahkan ibukota Kabul yang diamankan ketat, tidak luput dari berbagai serangan pembunuhan. Sukses misi NATO tidak terlihat.
Tapi, dibilang misinya gagal total, juga keliru. Di bawah bayangan misi ISAF dibangun banyak rumah sakit dan sekolah. Jumlah anak perempuan yang bersekolah juga mencapai rekor. Di garis depan, semua adalah jasa para petugas bantuan pembangunan sipil. Tapi jangan lupa, tanpa jaminan keamanan pasukan NATO, pembangunan tersebut juga tidak akan terwujud. Pada pokoknya, Afghanistan mengalami perubahan.
Khusus meninjau penugasan pasukan Jerman, Bundeswehr 13 tahun lalu di Hindukush, kita menyadari betapa naifnya pendapat pemerintah di Berlin kala itu. Mereka mengira tugasnya tidak terlalu berat, sama seperti di Balkan. Mereka menduga Taliban sudah dibom habis oleh Amerika. Afghanistan dikira bisa segera dibebaskan, sama seperti Bosnia atau Kosovo. Bahkan di awal misi, pasukan Bundeswehr berani masuk ke basar di Kundus dengan mobil biasa tanpa lapis baja pelindung.
Tiba-tiba saja pasukan Bundeswehr harus terlibat baku tembak dengan gerilyawan lokal. Ada korban tewas dan cedera. Serdadu yang pulang ke Jerman dengan trauma psikologis, membawa kisah mengerikan ke kamar keluarga. Di Afghanistan sebetulnya berkecamuk perang. Para politisi tidak mau buka mulut, hingga makin banyak peti mati berisi jasad serdadu Jerman kembali ke tanah airnya. Dukungan warga terhadap misi tersebut terus merosot.
Politik menarik pelajaran, dengan menolak ikut campur dalam serangan udara terhadap Libya dan juga terhadap Islamic State di Suriah dan Irak. Jerman menyatakan diri sebagai pasifis. Tapi dengan misi Bundeswehr di Afghanistan muncul dinamika baru. Masyarakat internasional kini terus mengharapkan peranan aktif Bundeswehr di Afghanistan pasca penarikan pasukan, yakni sebagai pelatih pasukan keamanan.
Tapi pemerintah Jerman juga menyadari, betapa cepatnya pasukan dapat kembali terjerumus ke dalam pertempuran. Bagaimana pemerintah di Berlin menyiasati antara sikap damai pasifis dengan tanggung jawab politik internasionalnya, ditunggu dengan tegang.
Sebaliknya bagi Afghanistan, negara itu sudah berulangkali dikuasai kekuatan asing, mulai dari pasukan Persia, Yunani, Mongol, Arab, Inggris, Uni Sovyet dan hingga terakhir pasukan ISAF. Semua meninggalkan jejak mendalam di sana. Tapi arus sejarah selalu menunjukkan, semua warga asing harus hengkang. Dan Afghanistan tetaplah Afghanistan.
Hidup dan Perang di Afghanistan
Fotografer Majid Saeedi menunjukkan lewat karyanya, dampak perang puluhan tahun atas rakyat Afghanistan. Jejak-jejak konflik dan kekerasan terlihat jelas, bahkan di tempat yang tidak disangka.
Foto: Majid Saeedi
Anak-Anak Afghanistan
Rakyat Afghanistan sangat terpengaruh perang puluhan tahun. Saeedi merangkum hidup mereka dalam seri foto terbarunya, yang diberikan kepada DW. Banyak foto berfokus pada anak-anak, seperti anak laki-laki yang kehilangan lengannya akibat ledakan ranjau.
Foto: Majid Saeedi
Boneka Lambang Tragedi
Dua anak perempuan bermain dengan sebuah tangan palsu di Kabul. Foto seperti ini yang membuat jurnalis foto seperti Majid Saeedi dari Teheran memenangkan banyak penghargaan.
Foto: Majid Saeedi
Berharga Ribuan Kata
Majid Saeedi mulai membuat foto ketika berusia 16 tahun. Lebih dari dua dasawarsa terakhir ia memfokuskan diri pada sisi kemanusiaan pada konflik Timur Tengah dan daerah itu. Foto-fotonya dipublikasikan dalam berbagai majalah dan surat kabar bergengsi, misalnya majalah Jerman Der Spiegel, juga harian AS, Washington Post dan New York Times.
Foto: Majid Saeedi
Di Antara Reruntuhan
Tidak hanya rakyat Afghanistan yang menyuarakan masa lalu negara itu, melainkan juga banyak reruntuhan bangunan.
Foto: Majid Saeedi
Kontras Kuat
Luka-luka akibat perang dan pemandangan mengesankan. Kontras kuat antara sisi perang yang manusiawi dan tidak. Inilah salah satu topik dokumentasi foto Saeedi.
Foto: Majid Saeedi
Masalah Sehari-Hari
Kecanduan obat terlarang adalah masalah terbesar Afghanistan. Negara itu jadi penyedia sekitar 90% kebutuhan dunia akan opium. Jumlah orang yang kecanduan opium juga tinggi. Tidak ada data resmi tentang jumlah anak yang jadi pecandu, tetapi PBB menduga, jumlahnya sekitar 300.000.
Foto: Majid Saeedi
Panggilan Upacara
Di sini, para kadet berbaris di pagi hari di sebuah akademi di Kabul, untuk memulai latihan mereka. Angkatan bersenjata Jerman, Bundeswehr telah membantu Afghanistan melatih aparat keamanannya sejak lebih dari 10 tahun lalu. Tujuannya adalah agar Afghanistan punya sistem mililter dan kepolisian yang berfungsi untuk memastikan stabilitas negara setelah tentara asing ditarik 2014.
Foto: Majid Saeedi
Masa Kecil Menyedihkah
Di foto ini tampak seorang anak laki-laki sedang dihukum gurunya. Afghanistan tidak punya sistem pendidikan yang bagus, dan banyak anak terpaksa berhenti sekolah dalam usia dini dan mencari uang bagi keluarga mereka. Itupun jika mereka pernah bersekolah.
Foto: Majid Saeedi
Tidak Ada Akses untuk Pendidikan
Dekade sejak 1979 punya efek drastis pada pendidikan. Menurut statistik yang dipublikasikan pemerintah Jerman tahun 2011, sekitar 72% pria dan 93% perempuan tidak punya pendidikan formal. Tingkat buta huruf sekitar 70%.
Foto: Majid Saeedi
Burka dan Barbie
Foto ini menunjukkan sejumlah perempuan yang ikut pelajaran membuat boneka, yang dibiayai sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Malaysia. Setiap kelas terdiri dari sekitar 80 murid. Tujuannya untuk membuat mereka bisa berdiri sendiri.
Foto: Majid Saeedi
Dendam Taliban
Setelah serangan Taliban di awal tahun 2011, segera setelah pembunuhan Osama bin Laden, empat orang tewas dan 36 luka-luka. Foto ini menunjukkan dua dari korban cedera di rumah sakit.
Foto: Majid Saeedi
Olah Raga
Dalam foto ini tampak dua atlet beristirahat setelah berlatih. Binaragawan adalah salah satu olah raga paling populer di Afghanistan.
Foto: Majid Saeedi
Memanen Perang
30 tahun terakhir sangat mempengaruhi kehidupan warga Afghanistan. Ini kenyataan yang bisa dilihat di lokasi-lokasi yang sama sekali tidak terduga.
Foto: Majid Saeedi
Madrasah
Ini foto anak-anak di sebuah madrasah di Kandahar, tahun 2011.
Foto: Majid Saeedi
Dilatih untuk Membunuh
Adu anjing sangat populer di Afghanistan. Anjing-anjing yang diadu sebelumnya dilatih untuk agresif dan membunuh lawannya.
Foto: Majid Saeedi
Terisolasi
Mereka yang sakit psikis kerap ditahan dalam kondisi tidak manusiawi, terisolasi dari masyarakat. Dalam foto ini tampak para pasien berbaring dan dirantai di kota Herat, Afghanistan barat.
Foto: Majid Saeedi
Nasib Menyedihkan
Akram kehilangan kedua lengannya. Ia menanggalkan tangan palsunya jika hendak tidur. Ia hanya satu dari banyak anak bernasib sama di Afghanistan.
Foto: Majid Saeedi
Misi Jelas
Majid Saeedi berusaha menangkap masalah sosial yang tidak dibicarakan, dalam foto-fotonya. Demikian halnya dengan kekerasan dan ketidakadilan.
Foto: Maryam Ashrafi
18 foto1 | 18
*Florian Weigand dikenal sebagai pakar Afghanistan. Pria yang pernah bekerja di bagian humas militer Jerman, Bundeswehr di Hindukush itu kini menjabat Kepala Redaksi bahasa Dari/Pashtu di Deutsche Welle